Jepang Gunakan Tes Acak Demi Kendalikan Mutasi COVID-19

Varian COVID-19 Jepang lebih aktif, tapi tanpa gejala

Jakarta, IDN Times - Muncul varian COVID-19 baru hasil mutasi asal Jepang. Demi mengatasinya, Kementerian Kesehatan Jepang mulai memberlakukan pengujian secara acak dan sistematis kepada sejumlah komunitas masyarakat.

Pekan lalu sekitar 600 orang telah dites swab PCR secara acak, 300 sampel dipilih dari orang yang berjalan di kawasan kota dan 300 lainnya diambil dari sekolah-sekolah lokal.
 
Dilansir dari Channel News Asia, mutasi baru COVID-19 di Jepang berbeda dari varian asal Inggris dan Afrika Selatan. Mutasi COVID-19 Jepang diduga memiliki daya penularan lebih tinggi, namun tak menunjukkan gejala. Varian ini dianggap sebagai penyebab peningkatan kasus COVID-19 di Negeri Sakura yang berujung pengetatan karantina wilayah.
 
Dibandingkan dengan pengujian massal di Korea Selatan dan Tiongkok, angka pengujian di Jepang masih sangat kecil. Bahkan, untuk kapasitas tes harian, Kementerian Kesehatan hanya mengerahkan seperempat dari kemampuannya, atau sekitar 40 ribu tes dalam sehari.

1. Jepang menyia-nyiakan sumber daya yang ada

Jepang Gunakan Tes Acak Demi Kendalikan Mutasi COVID-19Ilustrasi Suasana Pandemik COVID-19 di Jepang (ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato)

Ahli genetika dan peneliti kanker terkemuka, Yusuke Nakamura, menyayangkan kebijakan pemerintah karena menghemat tenaga dan sumber daya rumah sakit dalam perkara testing serta tracing. “(Itu kebijakan) yang terbalik dan benar-benar salah,” kata Nakamura.
 
Dia menilai Jepang sebenarnya memiliki kapasitas untuk menurunkan infeksi, bahkan hingga nol kasus, dengan pengujian PCR ekstensif. Jepang seharusnya berinvestasi besar-besaran dalam sistem pengujian, terlebih Tokyo tengah bersiap untuk menjadi tuan rumah Olimpiade pada Juli 2021 nanti.
 
Peningkatan jumlah tes dirasa menjadi satu-satunya cara yang paling signifikan, mengingat program vaksinasi nasional baru saja diluncurkan. Sementara, stok vaksinnya sangat terbatas.  
 
Berdasarkan data Our World milik Universitas Oxford, Jepang hanya melakukan 60 tes COVID-19 per 1.000 orang. Angkanya terpaut cukup jauh dari Korea Selatan sekitar 130 per 1.000 penduduk.

Baca Juga: Long COVID, Gejala COVID-19 yang Bisa Menetap hingga Berbulan-bulan

2. Desakan untuk meningkatkan pengujian

Jepang Gunakan Tes Acak Demi Kendalikan Mutasi COVID-19Ilustrasi petugas uji swab. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Terkait pengujian harian, Jepang hanya membatasi tes untuk orang-orang dengan gejala atau mereka yang memiliki kemungkinan tinggi terinfeksi. Strategi Jepang saat ini adalah berkonsentrasi untuk menelusuri sumber klaster.
 
Angka 40 ribu tes per hari hanya diperuntukkan menjaga nilai pengujian agar sesuai dengan standar World Health Organization (WHO). Di samping itu, pemerintah juga menggalakkan instruksi kepada masyarakat untuk menghindari kerumunan dan tempat berventilasi buruk, mengampanyekan penggunaan masker, dan menutup pertokoan pada pukul 20.00.

Pemerintah mengklaim strategi itu efektif untuk menekan penularan kasus, yang selama sepekan terakhir ditemukan kurang dari 300 kasus baru dalam sehari, dibandingkan dengan rata-rata 2.000 kasus setiap hari pada awal Januari.
 
Pemimpin Partai Demokrat untuk Rakyat Yuichiro Tamaki justru berpendapat, saat kasus temuannya rendah, pengujian massal harus lebih ditingkatkan. "Sekarang kasusnya menurun, ini adalah kesempatan kami untuk memperluas pengujian," kata Yuichiro yang merupakan pemimpin partai oposisi.
 
Dia juga mendesak pemerintah untuk menyediakan alat uji mandiri berbasis antigen gratis untuk setiap warga negara. Tamaki mengaku telah mendapat dukungan dari anggota parlemen lain, termasuk dari Partai Demokrat Liberal yang berkuasa, karena pengujian yang meluas dapat meningkatkan kesempatan untuk memulai kembali kampanye pariwisata.

3 Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin sangat rendah

Jepang Gunakan Tes Acak Demi Kendalikan Mutasi COVID-19Ilustrasi vaksin atau jarum suntik (IDN Times/Arief Rahmat)

Dilansir CNN, kendala yang dihadapi Jepang saat ini untuk mencapai kekebalan komunitas adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap vaksin. Studi yang dijalani jurnal medis The Lancet pada 2015 hingga 2019 menemukan, kurang dari 30 persen populasi Jepang percaya vaksin itu aman, penting, dan efektif.
 
Persepsi buruk muncul karena serangkaian skandal vaksin yang terjadi dalam 50 tahun terakhir. Sebagai tuan rumah Olimpiade dan infrastruktur kesehatan yang hampir runtuh, Jepang memiliki semua alasan untuk menggalakkan vaksinasi. Namun, pemerintah baru meluncurkan program vaksinasi nasional pada pertengahan Februari setelah mendaftarkan hanya 18 ribu dosis.
 
Kenji Shibuya peneliti dari King’s College di London mengingatkan, semakin lama program vaksinasi tertunda, maka kian banyak korban jiwa.
 
Taro Kono selaku menteri yang bertanggung jawab atas peluncuran vaksin corona berjanji, pemerintah akan melakukan segala cara agar masyarakat tidak menolak divaksin, termasuk melakukan uji klinis di Jepang.  
 
"Saya pikir lebih penting bagi pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat, kami telah melakukan segala kemungkinan demi membuktikan kemanjuran dan keamanan vaksin. Pada akhirnya, kami mungkin memulai vaksinasi lebih lambat. Tapi, kami pikir itu akan lebih efektif," kata Kono.
 
Dilansir dari Worldometer per Rabu (3/3/2021), akumulasi angka positif di Jepang mencapai 433.504 kasus, dengan 7.933 kasus kematian.

Baca Juga: Varian COVID-19 B177 Masuk RI, Adakah Vaksin untuk Cegah Infeksinya?

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya