Junta Militer Myanmar Berjanji Hentikan Kekerasan, Tapi Ada Syaratnya

Akankah Min Aung Hlaing berkomitmen dengan konsensus 5 poin

Jakarta, IDN Times - Junta militer Myanmar menyampaikan bahwa mereka akan mengindahkan permohonan ASEAN untuk menghentikan kekerasan, dengan catatan negara tersebut sudah dalam keadaan stabil. Ungkapan tersebut merujuk pada pertempuran antara aparat dengan kelompok pemberontak di perbatasan timur yang terjadi baru-baru ini.  

Sejak militer melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, negara itu dilanda kekacauan yang menyebabkan sedikitnya 750 orang meninggal akibat represivitas aparat. Kerusuhan juga menyebabkan lebih dari 250 ribu orang menjadi pengungsi dan lebih dari 3.000 pengunjuk rasa ditetapkan sebagai tahanan politik.

Krisis kemanusiaan memaksa pemimpin kawasan Asia Tenggara menggelar ASEAN Leaders Summit sebagai upaya mencegah jatuhnya korban lebih banyak. Meski menuai kontroversi, pemimpin junta sekaligus dalang kudeta Jenderal Min Aung Hlaing hadir pada acara yang digelar di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Indonesia.

Baca Juga: ASEAN Capai Konsensus soal Krisis Myanmar, Ini Respons Pemimpin Junta

1. Dewan Administrasi Negara berjanji akan menghentikan kekerasan

Junta Militer Myanmar Berjanji Hentikan Kekerasan, Tapi Ada SyaratnyaPanglima Militer Myanmar Jendral Min Aung Hlaing tiba di Indonesia (IDN Times/Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)

Setelah pertemuan usai, para pemimpin kawasan mencapai “konsensus lima poin” yang pada intinya menyerukan Burma untuk segera menghentikan kekerasan, membebaskan tahanan politik, dan membuka akses terhadap utusan khusus ASEAN untuk Myanmar.

Dilansir dari Channel News Asia, Dewan Administrasi Negara, sebutan untuk rezim darurat yang dipimpin junta, pada Selasa (27/4/2021) mengatakan bahwa mereka menghormati seruan konstruktif yang disampaikan para pemimpin kawasan.

Mereka juga akan mempertimbangkan diterapkannya konsensus lima poin dengan sejumlah catatan, yakni ASEAN memfasilitas implementasi konsensus sesuai dengan road map junta dan situasi Myanmar sudah stabil.

2. Keraguan terhadap kapasitas ASEAN

Junta Militer Myanmar Berjanji Hentikan Kekerasan, Tapi Ada SyaratnyaPresiden Jokowi sampai di Sekretariat ASEAN untuk menghadiri ASEAN Leaders Meeting (dok. Biro Pers Kepresidenan)

Sejumlah pihak meragukan kapasitas ASEAN untuk menekan Myanmar. Termasuk mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Myanmar Scot Marciel, yang menyebut sikap junta terhadap konsensus lima poin menunjukkan tidak adanya progres signifikan usai pertemuan para pemimpin kawasan.

"ASEAN tidak bisa berkutat di sini, karena junta bergerak mundur, bahkan setelah kesepakatan yang dicapai. Harus ada tindak lanjut yang mendesak dan biaya yang dibebankan kepada pada junta untuk penundaan. Ada alasan tidak ada seorang pun di Myanmar yang mempercayai Tatmadaw," tulis Marciel melalui akun Twitter-nya.

Pengamat Asia Tenggara Mutiara Pertiwi menyoroti ketidakhadiran Perdana Menteri (PM) Thailand Prayut Chan-O-Cha pada ASEAN Leaders Summit. Menurut dia, ASEAN juga harus mendesak Thailand agar PM Chan-O-Cha menekan Min Aung untuk menghentikan kekerasan.

Sebab, Thailand merupakan salah satu negara di kawasan yang beranggapan bahwa pelengseran kekuasaan merupakan isu domestik Myanmar yang tidak patut diintervensi. Di sisi lain, Chan-O-Cha juga diketahui memberikan bantuan teknis sebagai bentuk dukungan terhadap rezim Min Aung.

“Tapi Chan-O-Cha adalah key person. Maka meng-address ketidakhadiran dia bisa jadi (isu) yang lebih penting dari pada summit ini,” ujar Muti, sapaan hangatnya, kepada IDN Times.

Baca Juga: Dukung Penyetopan Kekerasan di Myanmar, Australia Suntik ASEAN $5 Juta

3. Bentrokan terjadi di timur Myanmar

Junta Militer Myanmar Berjanji Hentikan Kekerasan, Tapi Ada SyaratnyaPengunjuk rasa memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu (17/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Gerakan antikudeta telah mendulang dukungan luas di seluruh negeri, termasuk beberapa kelompok pemberontak bersenjata yang selama beberapa dekade berkonfrontasi dengan junta untuk memperoleh otonomi daerah.

Salah satu pemberontak yang paling aktif adalah Persatuan Nasional Karen (KNU), yang telah memerangi militer di perbatasan timur selama berminggu-minggu sejak kudeta meletus.

Pada Selasa, pertempuran terjadi di perbatasan negara bagian Karen dekat Sungai Salween. Masyarakat Thailand melaporkan bahwa mereka sempat mendengar suara tembakan dan ledakan.

Juru bicara Junta Zaw Min Tun membenarkan serangan atas Brigade Kelima KNU, dengan dalih pemberontak tidak mendengarkan seruan dari pemerintah pusat.

"Kami akan terus melakukan tindakan demi keamanan," ucapnya.

Menanggapi pernyataan itu, Padoh Saw Taw Nee selaku kepala urusan luar negeri KNU menyampaikan, keterangan junta tidaklah masuk akal. Dia juga mengaku bila pasukannya telah menghancurkan pangkalan militer Tatmadaw.

Beberapa penduduk desa telah meninggalkan rumah mereka ke kota-kota lain karena takut akan pembalasan dari militer Myanmar, kata Hkara, warga etnis Karen yang sudah lama tinggal di Mae Sam Laep, desa di sisi perbatasan Thailand.

Pertempuran selama beberapa pekan terakhir telah membuat lebih dari 24.000 warga sipil mengungsi, termasuk sekitar 2.000 orang yang menyeberangi sungai untuk mencari perlindungan di Thailand.

Baca Juga: Kudeta Myanmar: ASEAN Problem Solver atau Hanya Event Organizer?

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya