Kelompok Sipil Mau Dialog dengan Junta Jika Aung San Suu Kyi Bebas

Akankah Min Aung Hlaing membebaskan Aung San Suu Kyi?

Jakarta, IDN Times - Persatuan Nasional Myanmar (NUG), pemerintah tandingan yang didirikan oleh Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD), menegaskan bahwa mereka enggan terlibat dialog hingga junta membebaskan semua tahanan politik.  
 
Dilansir The Straits Times, pemimpin junta sekaligus dalang kudeta Jenderal Min Aung Hlaing berjanji akan mempertimbangkan “konsensus lima poin” hasil ASEAN Leaders Summit. Inti dari konsensus adalah mendesak Min Aung untuk segera menyudahi kekerasan dan membebaskan para tahanan politik.
 
Namun, hingga saat ini, belum terlihat indikasi Min Aung akan berkomitmen dengan kesepakatan yang dibuat bersama para pemimpin Asia Tenggara.
 
"Sebelum dialog konstruktif dapat dilakukan, bagaimanapun harus ada pembebasan tanpa syarat dari tahanan politik termasuk Presiden U Win Myint dan Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi," kata Perdana Menteri NUG, Mahn Winn Khaing Thann, dalam sebuah pernyataan, Rabu (28/4/2021).

Baca Juga: Indonesia-Jepang Sepakat Mencari Solusi untuk Krisis Myanmar

1. Junta hanya mau dialog jika kondisi dalam negeri sudah stabil

Kelompok Sipil Mau Dialog dengan Junta Jika Aung San Suu Kyi BebasPengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Di sisi lain, junta mensyaratkan stabilitas dalam negeri sebagai kondisi mutlak untuk dimulainya dialog. Pernyataan itu disampaikan seiring meningkatnya aktivitas etnis pemberontak bersenjata di perbatasan timur Myanmar, salah satunya adalah Persatuan Nasional Karen (KNU).

Dewan Administrasi Negara, sebutan untuk rezim darurat yang dipimpin fraksi militer, juga berjanji untuk mewujudkan “konsensus lima poin” dengan catatan ASEAN memfasilitasi implementasi konsensus sesuai dengan road map yang mereka miliki.

Mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Myanmar Scot Marciel mengatakan, sikap junta terhadap konsensus lima poin menunjukkan sebuah kemunduran dalam proses deeskalasi konflik yang sedang diupayakan ASEAN.

"ASEAN tidak bisa berkutat di sini, karena junta bergerak mundur, bahkan setelah kesepakatan yang dicapai. Harus ada tindak lanjut yang mendesak dan biaya yang dibebankan kepada junta untuk penundaan. Ada alasan tidak ada seorang pun di Myanmar yang mempercayai Tatmadaw," tulis Marciel melalui akun Twitter-nya.

2. Persidangan Suu Kyi ditunda kembali

Kelompok Sipil Mau Dialog dengan Junta Jika Aung San Suu Kyi BebasPara demonstran angkat poster Suu Kyi saat mereka melawan kudeta militer dan tuntut pembebasan Suu Kyi di Yangon, Myanmar, Sabtu (13/2/2021). ANTARA FOTO/Reuters-Stringer/hp. Sumber: antaranews.com

Sejak ditetapkan sebagai tahanan politik, Suu Kyi telah dijerat dengan berbagai pasal pidana. Mulai dari pelanggaran terhadap undang-undang komunikasi karena mengimpor walkie-talkie ilegal, melanggar undang-undang darurat karena menyebabkan kerumunan di tengah pandemik COVID-19, hingga dituduh menerima suap dalam sejumlah proyek pembangunan.
 
Pada Senin (26/4/2021), pemerintah Myanmar kembali menunda proses pengadilan terhadap Suu Kyi. Berdasarkan penuturan kuasa hukum Suu Kyi, Min Min Soe, persidangan akan dilanjutkan pada 10 Mei.
 
Setelah 12 minggu sejak Suu Kyi ditahan, Min Soe mengeluh sebab tim kuasa hukum belum diizinkan untuk bertemu langsung dengan kliennya.
 
"Ketika hakim bertanya (kepada polisi) tentang tahapan kasus, mereka menjawab bahwa mereka tidak bisa memberi tahu secara spesifik," katanya kepada AFP, seraya menambahkan bahwa Suu Kyi frustrasi dengan proses hukum yang lambat.
 
"Saya pikir dia tidak mendapatkan akses untuk menonton berita dan TV. Saya kira dia tidak tahu situasi yang terjadi saat ini di negara ini," sambung dia.

3. Pemberontakan mulai terjadi di perbatasan

Kelompok Sipil Mau Dialog dengan Junta Jika Aung San Suu Kyi BebasPengunjuk rasa memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu (17/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Sejak kudeta dilancarkan pada 1 Februari 2021, gerakan anti-kudeta telah meluas ke berbagai daerah. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik melaporkan, sedikitnya 750 orang meninggal dunia akibat represivitas aparat dan lebih dari 3.400 orang ditangkap kemudian ditetapkan sebagai tahanan politik.
 
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan, sedikitnya 250 ribu orang mengungsi atau kehilangan tempat tinggal imbas bentrokan dengan otoritas bersenjata.
 
Selain masyarakat sipil, sejumlah etnis pemberontak bersenjata juga menegaskan penolakan terhadap rezim militer. Pertempuran antara tentara dengan pemberontak Karen sedang berlangsung di timur dekat perbatasan Thailand, dan bentrokan dengan pemberontak Kachin di utara dekat perbatasan Tiongkok.  
 
Bentrokan juga terjadi di Negara Bagian Chin, yang berbatasan dengan India, antara aktivis anti-kudeta dengan pasukan keamanan.
 
Sejumlah media lokal melaporkan, aparat telah mengerahkan mortar darat dan pasukan udara untuk menumpas gerakan perlawanan.

Baca Juga: Junta Militer Myanmar Berjanji Hentikan Kekerasan, Tapi Ada Syaratnya

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya