Kisah Nani Keluar dari Ukraina di Tengah Perang: Kok Cepat Banget Ya!?

"Terima kasih KBRI dan pemerintah!"

Jakarta, IDN Times – Nani bermukim di Ukraina sejak Desember 2012. Dia hijrah dari Jakarta menuju Kiev untuk mengikuti suaminya. Keluarga kecilnya kini sudah dianugerahi seorang putri kecil.

Universitas Indonesia (UI) menjadi saksi bisu pertemuan Nani dengan suaminya, yang saat itu sedang mengikuti program Darmasiswa untuk belajar bahasa Indonesia. Suratan takdir mempersatukan Nani dengan bule asal Ukraina yang sempat tinggal satu tahun di Depok.

“Waktu itu saya kuliah di Fisip UI, nah suami saya di sastra. Di situlah kenalnya,” kata Nani, yang juga baru hijrah ke Jakarta sejak kuliah.

Dua tahun pertama, perempuan berdarah Padang itu sempat mengajar bahasa Indonesia di Universitas Taras Shevchenko. Nani memutuskan resign sejak melahirkan putrinya, dan mendedikasikan hidupnya sebagai ibu rumah tangga.

“Jadi sudah tinggal 10 tahun di Ukraina,” kata dia, kepada IDN Times, melalui saluran Zoom.

Selama hidup di ibu kota, Nani tidak mendapati kebijakan yang diskirminatif terhadap penutur bahasa Rusia, tuduhan yang kerap dilayangkan oleh Kremlin terhadap pemerintahan Ukraina. Faktanya, banyak warga Kiev yang berbicara dengan bahasa Rusia.

“Gak ada itu sentimen anti-Rusia. Orang di sini cenderung bicara dua bahasa, Rusia dan Ukraina. Anak saya yang tujuh tahun sehari-hari juga pakai bahasa Rusia,” kata Nani.

Secara identitas, Nani memahami bahwa warga Ukraina dan Rusia berasal dari rumpun yang sama. Seperti suaminya yang masih memiliki saudara di Rusia. Sehingga, di akar rumput, hampir tidak ada alasan bagi dua bangsa ini untuk saling berperang.  

“Sampai sebelum invasi ya hidup normal-normal saja,” tambahnya.

Dengan mengabaikan faktor historis dan sosiologis, warga Ukraina ternyata sangat ingin melepas belenggu yang selama ini diikat Rusia. Mereka ingin lebih dekat dengan negara-negara Barat melalui Uni Eropa (UE) dan NATO. Nani mengutip survei yang mengatakan bahwa 60 persen warga Ukraina setuju untuk bergabung dengan UE.

Tetapi, Viktor Yanukovych yang saat itu memimpin Ukraina ‘mengabaikan’ suara rakyat. Itulah yang melatarbelakangi Revolusi Ukraina 2014, yang juga dikenal dengan Euromaidan.

Awalnya, tuntutan masyarakat adalah integrasi Ukraina dengan UE. Kemudian snowball effect terjadi. Skala protes meluas karena masyarakat jengah dengan oligarki, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Puncak Euromaidan terjadi pada Februari 2014, ketika Yanukovych kabur ke Rusia kemudian parlemen memutuskan untuk memakzulkannya. Bagi rakyat Ukraina, lengsernya sang presiden Pro-Rusia adalah sebuah kemenangan, meski harus ditukar dengan lebih dari 120 nyawa imbas bentrokan dengan aparat.

“Sampai sekarang rumah Yanukovych dijadikan sebagai museum korupsi. Setelah itu (pelengseran) perekonomian mulai meningkat, dan kehidupan kembali seperti biasa,” kata Nani.  

“Saya kira ada keluarga meninggal”

Kisah Nani Keluar dari Ukraina di Tengah Perang: Kok Cepat Banget Ya!?Anggota tentara Rusia menembakkan peluncur granat berpeluncur roket (RPG) saat latihan militer di Kuzminsky di selatan Rostov, Rusia, Jumat (21/1/2022). Foto diambil tanggal 21 Januari 2022. ANTARA FOTO/REUTERS/Sergey Pivovarov/WSJ.

Dua hari sebelum perang, Nani masih sempat berkumpul dengan diaspora Indonesia lainnya. Mereka berdiskusi seputar ancaman perang dan menyimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh media Barat adalah sesuatu yang berlebihan.

Nani merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena otoritas setempat ataupun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kiev belum memberikan imbauan. Kendati begitu, Nani tidak bisa membohongi dirinya bahwa dia was-was.

“Waktu kumpul itu kita bilang, patokannya China aja, mereka kan sekutu Rusia. Kalau seandainya ada perang, mereka pasti yang pertama dievakuasi. Setelah dicari tahu, ternyata gak ada evakuasi apa pun. Ya berarti gak ada-apa kan, walaupun beberapa embassy sudah evakuasi,” katanya.

Nani menyambung, “orang di sini juga santai-santai saja, karena merasa gak mungkin Rusia akan menyerang. Jadi sampai H-1, kami masih berpikir kalau orang-orang ini lebay.”

Gelisah kian menggentayangi Nani. Lebih-lebih karena keluargannya di Indonesia berulang kali menelepon menanyakan kabar dan situasi.

“Tapi suami bilang gak usah dengerin itu berita, gak usah khawatir. Makanya kita santai,” katanya.

Pada awal Februari, Duta Besar Republik Indonesia untuk Ukraina Ghafur Akbar Dharmaputra sempat menyapa WNI di Ukraina melalui saluran Zoom. Pada kesempatan itu, tidak ada peringatan khusus seputar perang. Namun, para diaspora sempat diberi saran seputar apa yang harus dipersiapkan jika situasi memburuk. 

“Cuma diinfo kalau gak boleh bawa koper besar. Hanya tas backpack kecil, satu orang satu. Dan yang dibawa hanya dokumen-dokumen penting. Terus ada juga formulir mengenai skema (evakuasi) untuk skenario terburuk,” ungkap Nani.

Dua minggu setelah pertemuan virtual dengan KBRI, tepatnya pada 24 Februari 2022, ketakuran terburuk akhirnya menjadi nyata. Ancaman rudal dan tank tidak lagi sebatas rumor. Mereka kini berseliweran di Ukraina. Rusia benar-benar datang dengan segudang pasukan dan alutsistanya.

Saat rudal pertama diluncurkan, sekitar waktu subuh, Nani sebenarnya tidak mendengar apa pun. Dia sedang tidur bersama anaknya di kamar yang memang didesain kedap suara. Rentetan notifikasi dari gawainya yang justru membuat Nani terbangun pagi itu.

Nani pun terjaga dengan rasa gelisah. Khawatir. Sebab kali terakhir hapenya dibanjiri notifikasi, dia mendapati kabar ayahnya meninggal dunia.

Sama sekali tidak terbesit dalam benaknya bahwa Rusia benar-benar melakukan serangan. Selain itu, dia juga tidak mendengar dentuman atau lengkingan roket dari kamarnya, sebagai penanda bahwa perang telah dimulai.  

Nani menceritakan, “pas buka WhatsApp, saya kira ada keluarga meninggal, tapi orang kok malah nanya kabar saya bagaimana. Saya kan bingung. Akhirnya saya disamperin suami yang kebangun karena dengar ledakan.”

“Bangun, kita sudah diserang,” kata Nani, menirukan suaminya.

Dalam keadaan panik, sekitar pukul 6 pagi, Nani langsung membuka grup WhatsApp KBRI untuk mencari tahu apa yang harus dia lakukan.  

“Ternyata WA KBRI sudah banyaaak banget pesan masuk. Di situ ada imbauan supaya jam 7 atau jam 8 segera berkumpul di KBRI. Teman-teman juga pada ngajakin ke KBRI,” tutur Nani, yang kebingungan karena belum mengepak pakaian atau pun dokumen penting sebagaimana imbauan KBRI tempo hari.

Di saat Nani mulai sibuk mengemas barang, sang suami justru berkata sebaliknya. Dia meminta Nani untuk tetap tenang, mengamati perkembangan terkini, dan tidak asal mengambil keputusan. Padahal seisi kota mulai panik. Warga Kiev berbondong-bondong meninggalkan kota.

Jarak antara rumah Nani dengan KBRI sekitar 45 menit dengan mobil. Selain karena kemacetan, si suami juga berpikir bahwa berkumpul di pusat Kiev bukanlah ide bagus. Dia bahkan heran, mengapa KBRI memilih Kiev sebagai titik kumpul?

“Saya udah ambil backpack, obat-obatan, baju, dokumen, tapi suami saya nyuruh nunggu. Itu sampai siang kami masih di rumah. Saya panik minta buru-buru ke KBRI, karena semuanya sudah kumpul di sana,” tutur Nani.

“Terus suami saya lihat berita kalau Chernobyl sudah dikuasai. Waktu itulah dia bilang, ‘kita harus kelular dari Kiev sekarang! Besar kemungkinan mereka konvoi ke Kiev. Kita gak bisa ke KBRI karena posisinya di pusat. Kiev pasti jadi target berikutnya’. Jadi dia sudah memprediksi,” kata Nani.

Penjelasan sang suami ternyata belum membuat Nani tenang. Dia masih keras hati ingin berkumpul dengan teman-temannya di KBRI.

“Gak bisa. Kita harus keluar Kiev hari ini juga,” kata Nani, menirukan dialog suaminya saat itu.

Tak lama berselang, Nani tiba-tiba mendengar dua kali suara ledakan. Keinginannya untuk pergi ke KBRI langsung melunak seketika.

“Oke, kita harus keluar dari Kiev sekarang,” ungkap Nani sambil melirik suaminya.   

“Oh my god. Situasinya bakal serius banget”

Kisah Nani Keluar dari Ukraina di Tengah Perang: Kok Cepat Banget Ya!?Tentara Angkatan Bersenjata Ukraina mengendarai kendaraan peluncur roket otomatis saat berlatih di wilayah Kherson, Ukraina, dalam foto handout yang dirilis pada Selasa (1/2/2022). ANTARA FOTO/Ukrainian Armed Forces Press Service/Handout via REUTERS/FOC.

Sebelum pergi dari Kiev, Nani sempat bertanya kepada Danna, salah satu diaspora Indonesia, tentang apa yang mereka lakukan di KBRI. Ternyata di sana belum ada apa-apa.

Sekitar pukul 14.00, Nani bersama suami dan anaknya pergi meninggalkan Kiev menuju Cherkasy, tempat mertuanya tinggal. Sang suami yakin Cherkasy adalah tempat yang paling aman dan tidak akan diserang oleh Rusia, setidaknya pada masa awal perang.

Secara geografis, kediaman Nani berada di pinggiran kota, sehingga tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di perbatasan. Tapi, tetap saja, kepadatan lalu lintas hari itu tidak terbendung. Setiap keluarga membawa mobil berebut untuk keluar dari Kiev.

Nani melihat ada kepanikan di masyarakat. Namun, dia tetap takjub dengan kedisiplinan dan ketertiban warga Ukraina. Walau ada rush money dan panic buying, semua orang tetap antre. Saat kendaraan berebut keluar Kiev, tidak ada pengemudi yang menggunakan lajur arah berlawanan. 

“Pas saya keluar Kiev, jalan sebelah kami kosooooong banget. Saking teraturnya itu sampai gak diisi, padahal orang-orang panik,” kata Nani.

Di tengah perjalanan, sang anak tiba-tiba kepo kenapa banyak mobil yang meninggalkan kota. Sebelum pergi, Nani memang sempat berkata bahwa mereka hendak berkunjung ke rumah nenek. Di perjalanan, Nani kemudian mengatakan bahwa semua orang juga hendak mengunjungi rumah neneknya.

“Kami gak mau perang merusak memori masa kecilnya. Makanya saya bilang semua orang mau berlibur ke rumah babushka (nenek),” katanya.

Kiev-Cherkasy seharusnya bisa ditempuh dalam waktu dua jam. Imbas kepadatan lalu lintas, butuh waktu empat jam untuk tiba di tempat tujuan. Mereka pun tiba sekitar pukul 8 malam.

Pada hari pertama invasi, belum ada kebijakan pembatasan bensin. Sebaliknya, pemerintah justru menyerukan agar seluruh pom bensin tetap beroperasi, salah satunya untuk menghindari penimbunan di masa krisis.

Meski tidak ada pom bensin yang tutup, antreannya tetap saja mengular. Lantaran tidak punya pilihan, akhirnya Nani ikut mengantre juga.  

Sepanjang perjalanan, Nani memang tidak melihat secara langsung rudal, jet, ataupun tentara Rusia. Sesekali dia melihat jet Ukraina yang melintas. Di perbatasan, Nani juga melihat konvoi tank dan kendaraan perang menuju Kiev.

“Di situ saya bilang ‘oh my god’ bakal serius banget ini situasinya. Saya langsung bilang ke Danna untuk segera cari bunker terdekat,” ungkapnya. 

Hari itu yang panik bukan hanya Nani. Seluruh keluarganya di Indonesia juga menantikan kabar darinya. Sebab tidak bisa membalas setiap pesan, dia akhirnya membuat Instagram Story untuk memberikan update situasi di Ukraina.

“Ketakutan saya saat itu adalah gak selamat. Tapi saya heran, kok suami saya tenang-tenang aja. Apa dia nutupin atau emang santai. Kan saya malah panik jadinya,” kata Nani.

Nani sebenarnya belum menginformasikan kepada KBRI bahwa dia hari itu bertolak ke Cherkasy. Saat dia hendak mengabari, ternyata di WhastApp Grup KBRI sudah beredar formulir evakuasi, yang harus diisi apabila para WNI tidak ingin meninggalkan Ukraina.

Nani semula mengira WNI yang hendak dievakuasi harus berkumpul di kantor KBRI. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan Ukraina. Tetapi, pemerintah Ukraina pada 24 Februari sore telah mengeluarkan kebijakan yang melarang pria berusia 18-60 tahun meninggalkan negeri.

Beruntungnya, di saat yang sama, Nani mendapat kabar bahwa KBRI telah menyiapkan safe house di Lviv.

“KBRI kasih info, kalau bisa menjangkau Lviv, nanti di sana disediakan safe house dan nanti akan segera dijemput oleh KBRI Polandia. Malam itu di rumah mertua saya bilang kalau mau ke Kiev. Tapi suami dan mertua keras bilang harus ke Lviv,” jelas dia, yang pada akhirnya memilih manut dan memutuskan untuk pergi ke Lviv keesokan harinya.

“Paling cepat mobil melaju 40 kilometer per jam”

Kisah Nani Keluar dari Ukraina di Tengah Perang: Kok Cepat Banget Ya!?Warga mengantri di terminal bus untuk menuju bagian barat negara, setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengesahkan operasi militer di bagian timur Ukraina, di Kyiv, Ukraina, Kamis (24/2/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Umit Bektas.

Setelah melepas lelah semalaman, pada Jumat, 25 Februari 2022 sekitar pukul 07.00, Nani melanjutkan perjalanannya ke Lviv. Kendati sudah jauh dari pusat kota, kemacetan tetap menjadi hambatan utama mereka.

Normalnya, Cherkasy-Lviv bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 10 jam. Tapi, hari itu begitu gila, hingga Nani membutuhkan waktu 24 jam untuk tiba di rumah aman.

“Kita tidur di jalan. Kalau ngantuk istirahat, tidur satu jam, habis itu lanjut lagi,” katanya.

Nani merasa beruntung karena sepanjang jalan dia sama sekali tidak mendengar jet berdengung atau rudal yang lalu lalang. Dia hanya melihat tentara Ukraina yang bertugas, tentu dilengkapi dengan senjata laras panjang. Interaksi mereka dengan militer hanya saat melewati pos pemeriksaan.

“Waktu itu suami memilih lewat Barat. Kita lewat Vinnytsia, bukan lewat Odessa. Jadi jalur kami memang aman,” ungkap Nani.

Kepada sang anak yang penasaran dengan kepadatan lalu lintas padahal sudah melewati Kiev, Nani kembali berkilah bahwa semua orang kini ingin pergi berlibur.

“Kita waktu itu pernah berlibur ke Lviv pas tahun baru. Jadi saya bilang kalau kita mau ke sana,” kata Nani, dan anaknya pun mengiyakan dengan antusias. 

Pada hari itu, pemerintah sudah membatasi setiap mobil hanya boleh mengisi bensin paling banyak 20 liter. Supaya tidak mogok dalam perjalanan sejauh 700 kilometer, Nani pun berhenti untuk mengisi bahan bakar setiap kali bertemu pom bensin.

Bukan hal aneh jika Nani membutuhkan waktu sehari semalam untuk menjangkau Lviv, karena rata-rata kecepatan mereka adalah 20 kilometer per jam.

“Paling cepat itu 40 kilometer per jam. Karena memang macet banget,” sahutnya. 

Saat memasuki perkampungan, Nani sempat berhenti karena mendengar sirine, yang berarti ada serangan udara. Sang suami mengajak anak dan istrinya segera bersembunyi di ladang gandum. Lagi-lagi Nani merasa beruntung, karena target serangan bukan di wilayah sekitar ladang tersebut.

Selang 30 menit sirine tidak lagi berbunyi, mereka pun memutuskan melanjutkan perjalanan.

“Kenapa ke ladang? Karena mungkin dari atas (dari jet) bisa kelihatan seandainya macet. Tapi saya heran juga, karena waktu itu hanya kami yang melipir. Mungkin suami saya sudah berpikir lebih jauh ya,” kata Nani, sembari tertawa saat menceritakan kisah ini.

Usai melewati malam yang sangat panjang, mereka akhirnya tiba di Lviv sekitar pukul 7 pagi. Mereka disambut oleh diaspora Indonesia yang tiba lebih awal dari Kharkiv, yang telah melewati lebih dari seribu kilometer selama tiga hari.

Meski ada aturan yang melarang lelaki meninggalkan negeri, namun ada pengecualian bagi suami dari keluarga tersebut.

“Syarat laki-laki bisa keluar adalah single father, atau punya tiga anak, atau punya anak difabel yang dibiayai oleh ayahnya. Nah, dia ini (diaspora Indonesia) kebetulan punya anak tiga. Jadi dia (suaminya) bisa ikut evakuasi,” tutur Nani.

Nani kemudian mendapat telepon dari KBRI Polandia, menanyakan soal kabar, ada berapa orang di safe house, barang apa saja yang dibawa, hingga bagaimana situasi selama perjalanan.

Menurut Nani, kondisi di Lviv aman. Sema sekali tidak ada kepanikan. Namun, ada satu momen yang membuatnya sedikit was-was di perjalanan, ketika dia melihat banyak mobil memutar balik.

“Suami saya tanya (ke pengendara lainnya), kenapa kok putar balik. Ternyata ada info kalau jembatan di depan sudah dibom, akhirnya gak bisa lewat. Terus dia tanya ke penduduk sekitar. Dijawab, katanya sudah dibom. Katanya lho ya,” tutur Nani.

Dia menambahkan, “terus suami cek Google Maps, ternyata kalau muter bakalan jauh banget. Akhirnya dia putuskan untuk jalan terus. Eh ternyata, gak ada apa-apa tuh di depan. Jembatannya aman. Mungkin rumor itu juga salah satu kepanikan ya.”

Malam di Lviv menjadi detik-detik terakhir Nani dan anaknya sebelum meninggalkan sang suami. Sebab, dia tidak termasuk dari tiga kategori yang diizinkan meninggalkan Ukraina.

“Terima kasih pemerintah dan KBRI”

Kisah Nani Keluar dari Ukraina di Tengah Perang: Kok Cepat Banget Ya!?Infografis almarhum Duta Besar Ghafur Akbar Dharmaputra (IDN Times/Aditya Pratama)

Pagi harinya, Minggu, 27 Februari 2022, tim evakuasi dari KBRI Warsawa tiba. Tanpa berlama-lama, mereka bertujuh, Nani dan anaknya bersama lima orang dari Kharkiv, langsung meluncur ke Polandia.

Sang anak pun bingung, kenapa ayahnya tidak ikut melanjutkan ‘liburan’ ke Polandia.

“Papa ada kerjaan di sini. Nanti papa nyusul. Kamu senang-senang sama mama dulu ya, liburan, berenang, ke pantai,” kata Nani, menirukan dialog sang ayah kepada anaknya. 

“Ya tetap dia nangis, karena papa orang yang dari Kharkiv ikut liburan, tapi papanya gak ikut,” tambah Nani.

Rombongan itu bertolak ke Polandia dengan mobil berkapasitas sembilan orang. Di bagian depan diisi oleh tim penjemput, bagian tengah dan belakang diisi para evacuee, dan belakangnya lagi menjadi tempat koper serta dirigen bensin.

Just in case kalau harus menginap atau macet parah di perbatasan, mereka sudah siap dengan bensinnya,” kata Nani.

Sesuai dugaan, jalanan menuju Polandia macet parah. Namun, hal yang tak diduga adalah khusus rombongan ini perjalanannya justru lempeng tanpa hambatan. Di sinilah Nani sangat kagum dengan perwakilan RI yang sudah menyiapkan segalanya dengan baik.

“Jadi mereka jemput pakai mobil Polandia, yang jemput dua diplomat kita di Polandia, terus ada tulisan evakuasinya di mobil kalau gak salah. Di setiap pos pemeriksaan, mereka keluarin kartu diplomat dan bilang kalau ini rombongan Indonesia. Mereka juga ambil jalur yang berseberangan. Jadi semuanya serba cepat,” tuturnya.

Nani menyambung, “sore kami sudah lewati perbatasan, mungkin sekitar empat jam. Saya juga heran kok cepat banget, padahal orang-orang itu lewati perbatasan bisa berhari-hari."

Mereka sekurangnya melewati tiga cek poin. Yang pertama sebelum perbatasan Lviv, kedua di perbatasan Lviv, ketiga di perbatasan Polandia. Hanya cek poin di perbatasan Lviv saja yang disyaratkan membuka bagasi, sisanya sebatas pemeriksaan dokumen.

Sepanjang perjalanan, Nani sama sekali tidak terganggu dengan suara pesawat atau tembakan.

Nani pun tiba di Krakow, Polandia pada sore hari, memasuki waktu Maghrib tepatnya. Rombongan itu menghabiskan malam di Krakow dan besoknya bertolak ke Warsawa.

“Begitu sampai Polandia, suasananya tenang banget. Kok bisa ya beda banget kayak begini. Tapi syukur karena semuanya lancar, anak saya jadi sama sekali gak tahu kalau ada perang,” kata Nani, yang keheranan lantaran perbedaan suasana, padahal negara tetanggaya sedang berperang. 

Sementara Nani pada Senin, 28 Februari 2022 sudah berjalan menuju Warsawa, diaspora Indonesia yang berkumpul di KBRI Kiev baru mau melakukan pergerakan. Mereka masih berusaha untuk keluar dari ibu kota. Saat itulah Nani sangat bersyukur mendengar penuturan suaminya.

“Tuh kan, apa aku bilang. Makanya percaya sama suami. Saya tuh diam-diam mikir,” kata Nani, menirukan bagaimana suaminya berucap kepada dia kala itu.

“Aku tuh heran kenapa KBRI malah kumpulin orang di kota, padahal semua orang mau keluar kota. Kalaupun orang baru berkumpul sore, harusnya sore itu juga orang-orang dibawa keluar,” tambah suami Nani.

Di sisi lain, sang suami yang kembali ke Cherkasy segera mengambil inisiatif menjadi relawan. Saat itu, pemerintah telah mengimbau warga sipil untuk menjaga kotanya masing-masing. Ada sebagian warga yang diberikan senjata, sebagian lainnya mambuat bom molotov sendiri.

Bukan hal aneh jika warga sipil Ukraina memiliki kemahiran bersenjata. Sebab, ketika berkuliah mereka diberi pilihan untuk bisa mengambil pendidikan semi-militer beberapa tahun. Suami Nani adalah satu dari banyak warga Ukraina yang mengambil pendidikan itu.

“Bukan wajib militer seperti Korea ya. Jadi sambil kuliah, sambil latihan militer. Orang yang punya pengalaman itu, mereka akan memiliki jaringan lebih luas, makanya banyak yang ikut. Suami saya juga ambil itu. Jadi ketika suami saya bertugas menjaga pos di kotanya (saat perang), itu bukan pengalaman militer pertamanya,” papar Nani.

Setelah bermalam di Warsawa, pada Rabu, 2 Maret 2022, rombongan Lviv melanjutkan perjalanan ke Bukares, Rumania. Di sana sudah menunggu sebagian WNI yang telah dievakuasi dan siap dipulangkan ke Indonesia. Ini menjadi perjalanan terakhir Nani dari rangkaian evakuasinya yang dimulai dari Kiev sejak 24 Februari.

Singkat cerita, pada Kamis, 3 Maret 2022, sebanyak 80 WNI dan 3 warga asing tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 17.10 WIB. Kedatangan mereka disambut langsung oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi.

"Selamat datang di Tanah Air dan selamat berkumpul dengan keluarga,” demikian sambutan Retno.

Nani mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan KBRI. Bukan saja KBRI Kiev, melainkan KBRI Warsawa dan Bukares. Nani juga terkesan dengan Duta Besar RI di Polandia Anita Lidya Luhulima, yang memantau secara langsung proses evakuasi di lapangan.

“Saya puas, saya sangat berterima kasih kepada pemerintah dan KBRI,” kata dia.

“Apalagi KBRI Polandia. Luar biasa atensi dan perhatian kepada kami. Waktu saya sampai perbatasan, saya kan disediain hotel, ternyata di situ Ibu Dubes sudah menunggu dan ikut menginap di sana. Sampai kita ke Rumania benar-benar gak dilepas, jadi dikawal terus,” tambahnya.

New normal di Ukraina

Kisah Nani Keluar dari Ukraina di Tengah Perang: Kok Cepat Banget Ya!?Seorang anggota tentara Rusia menembakkan sebuah howitzer dalam latihan militer di Kuzminsky di selatan Rostov, Rusia, Rabu (26/1/2022). ANTARA FOTO/Sergey Pivovarov/File Photo.

Kurang lebih enam bulan Nani dan anaknya menghabiskan waktu di Indonesia. Usai menimbang situasi Kiev yang mulai kondusif dan sekolah yang memasuki semester baru, Nani memutuskan kembali ke Ukraina pada pertengahan Agustus.

Sang suami, yang bekerja di salah satu badan usaha milik negara Ukraina, juga sudah kembali berkantor setelah dua bulan meninggalkkan mejanya untuk ikut menjaga pertahanan negara.

“Kondisi sudah normal. Di sini setiap 1 September adalah hari pertama sekolah, dan sekolah anak saya adalah salah satu yang diizinkan aktif kembali,” kata Nani.

Nani sadar bahwa keadaan di Kiev sangat dinamis. Bila hari ini suasana tenang, kata dia, bukan berarti besok rudal tidak akan datang.

Sejak kembali ke Ukraina, Nani harus mengakrabkan diri dengan situasi "new normal". Saat sirine berbunyi, yang menandakan ada aktivitas militer di udara, bisa jadi rudal atau jet melintas, semua orang harus bergegas ke luar ruangan dan mencari tempat terbuka.

“Waktu itu saya lagi di supermarket, saya langsung keluar, supermarket langsung ditutup,” kata Nani, menegaskan bahwa warga Kiev saat ini lebih mawas diri dan makin paham dengan protokol keselamatan.

Pemerintah pun merangkai protokol keselamatan sedemikian rupa, agar ramah anak hingga orang lanjut usia. Hanya sekolah dengan bunker saja yang diizinkan beroperasi kembali. Para guru juga diwajibkan untuk mengajari anak-anak prosedur evakuasi mandiri.

“Anak saya itu diajarkan, kalau sirine berbunyi, langsung diam dan hentikan aktivitas. Letakkan semuanya di meja, turun dari kursi, pegang tangan temannya dan jalan pelan-pelan. Turun teratur ke bawah bunker. Itu pun harus bunker yang ramah anak, bukan bunker asal-asalan,” tutur Nani, menambahkan bahwa anak-anak baru boleh keluar saat sirine sudah tak lagi mengaung.

Pemerintah juga merilis aplikasi yang memperingatkan warga jika ada aktivitas militer yang perlu diwaspadai. Lantaran sadar banyak orang lanjut usia tidak memahami cara menggunakan ponsel pintar, akhirnya peringatan semacam itu juga disebar melalui SMS.

Nani pun mengamati ada perubahaan sosio-kultural akibat perang. Sebelum invasi terjadi, berbicara dengan bahasa Rusia dan Ukraina adalah hal yang lazim. Namun, Nani mulai jarang mendapati orang-orang di sekitarnya yang berkomunikasi dengan bahasa Rusia.

“Jadi nasionalismenya semakin muncul. Warga semakin cinta dengan negara dan (Presiden Volodymyr) Zelenskyy, terutama karena dia tidak kabur ke luar negeri.”

Meski Nani tidak pernah melihat langsung tentara, jet, ataupun rudal Rusia, tidak dimungkiri bahwa dia juga merasakan dampak langsung dari peperangan ini.  

“Ada kenaikan harga sampai dua kali lipat. Kalau saya biasanya belanja sekitar Rp300-Rp500 ribu, sekarang saya harus menghabiskan Rp800 ribu. Sayur dan buah makin mahal, karena perang terjadi di Kherson yang merupakan daerah pertanian,” tuturnya.

Nani juga berdoa agar dia tidak harus menyaksikan langsung, dengan mata dan kepalanya, pasukan Rusia dan Ukraina yang berperang.  

“Duh jangan sampai deh ngelihat rudal, tank Rusia secara langsung. Amit-amit,” demikian harapan Nani.

Artikel ini didedikasikan khusus untuk almarhum Dubes Ghafur Akbar Dharmaputra bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November. Ghafur meninggal karena kanker pada 12 Mei 2022, setelah mengabdi selama 35 tahun di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 

Baca Juga: Kisah Danna Terjebak 4 Hari di KBRI Kiev: Hari Itu Menegangkan!

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Retno Rahayu

Berita Terkini Lainnya