Kisah Nestapa Demonstran Penolak Junta Myanmar Usai Tertembak Peluru 

Demonstran takut dirawat di RS militer walau gratis

Jakarta, IDN Times - Para demonstran di Myanmar, yang tertembak selama demonstrasi menentang junta militer, menolak untuk mendapat penanganan di rumah sakit (RS) milik militer. Mereka takut perawatan menjadi modus bagi junta untuk menangkap seseorang.

Dilansir The Straits Times, mereka lebih memilih dirawat oleh dokter yang simpatik secara rahasia. Sementara, mereka juga tidak memiliki uang demi mendapat perawatan di rumah sakit swasta, yang harus merogoh kocek sekitar Rp13,5 juta untuk operasi patah tulang.

“Saya tidak punya uang karena saya tidak bekerja. (Sehingga) saya tidak bisa tidur nyenyak setiap hari (untuk menahan sakit),” kata Maung Win Myo, pengemudi becak di Kota Yangon, yang kakinya tertembak saat mengikuti unjuk rasa.

Dia hanya bisa meringis, sembari bercerita di atas kasur di apartemen satu lantainya yang dihuni bersama istri dan dua anak. Lelaki 24 tahun itu hanya mengandalkan sumbangan makanan untuk bertahan hidup.

Baca Juga: Jepang Ancam Setop Bantuan kepada Myanmar Kalau Junta Militer Bandel

1. Takut ditahan ketika mendapat perawatan di RS milik junta militer

Kisah Nestapa Demonstran Penolak Junta Myanmar Usai Tertembak Peluru Kepala junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta pada 1 Februari, memimpin parade militer pada Hari Angkatan Bersenjata di Naypyitaw, Myanmar, Sabtu (27/3/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Sejauh ini, asosiasi pemantau setempat melaporkan, lebih dari 850 orang meninggal dunia sejak pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing melancarkan kudeta atas kekuasaan Aung San Suu Kyi.

Tidak sedikit pengunjuk rasa yang mencari pengobatan gratis di RS pemerintah. Namun, lebih banyak yang takut mendapat perawatan di sana karena luka yang menunjukkan keterlibatan dalam gerakan protes.

“Tidak semua orang mau pergi. Mereka takut ditangkap," kata Marjan Besuijen, kepala misi Medecins Sans Frontieres (MSF) di Myanmar, kepada AFP.

Dalam situasi yang sangat terdesak, seperti yang sempat dihadapi Maung Win Myo, dia lebih memilih mengunjungi RS swasta sekalipun tidak memiliki uang. “Kami tidak berani ke rumah sakit militer,” ujarnya.

2. Masyarakat Myanmar mulai pesimis dengan situasi dalam negeri

Kisah Nestapa Demonstran Penolak Junta Myanmar Usai Tertembak Peluru Situasi di Myanmar sampai saat ini sejak kudeta militer Myanmar awal Februari 2021 lalu. (Twitter.com/TostevinM)

Rumah sakit militer biasanya tidak terbuka untuk umum, tetapi junta telah memperluas cakupan RS setelah banyak dokter keluar dari pekerjaannya pasca-kudeta.

Aksi mogok yang dilakukan oleh pegawai negeri dan pegawai pemerintah memaksa penutupan hampir semua rumah sakit umum Myanmar. Hal itu berdampak pada lumpuhnya ekonomi negara.

Di tengah situasi yang mencekam, masyarakat mulai pesimis tentang bagaimana cara melanjutkan hidup, sesuatu yang juga dirasakan oleh keluarga Ngew Nu Nu. Pada akhir April, matanya ditembak oleh pasukan keamanan saat hendak bekerja sebagai penadah beras di Kota Myingyan.

Ngew Nu Nu sempat menjalani perawatan di Mandalay, sebelum akhirnya meninggal dunia. "Saya mencoba yang terbaik untuk menyelamatkan hidupnya. Sekarang saya tidak tahu bagaimana bertahan hidup tanpa dia," tutur istri Ngew Nu Nu.

3. Pasokan medis yang terhambat

Kisah Nestapa Demonstran Penolak Junta Myanmar Usai Tertembak Peluru Pengunjuk rasa membuat salam tiga jari sambil berdiri di belakang spanduk saat berunjuk rasa mengecam kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu (17/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Kini kudeta memasuki bulan kelima. Tantangan yang dihadapi masyarakat semakin meluas, termasuk krisis pangan dan pasokan medis. Sebab, pejabat bea cukai juga terlibat dalam gerakan pembangkangan sipil.

"Kami mengalami kesulitan dalam mendapatkan beberapa bahan medis untuk operasi dalam sebulan terakhir. Jika ini berlangsung lebih lama, akan berdampak serius terhadap pasien,” kata dokter yang enggan disebutkan namanya.

Meski peluru kapan saja bisa menghujam tubuh para demonstran, ancaman itu tidak menciutkan nyali untuk tetap menolak kekuasan junta  militer.

“Saya akan keluar lagi untuk berjuang, karena kita harus berjuang untuk generasi berikutnya dan untuk negara kita sampai pertempuran ini berakhir,” kata May Win, ibu tiga anak berusia 50 tahun yang tangannya tertembak dua bulan lalu.

Baca Juga: Singapura Berharap Junta Militer Myanmar Bisa Diajak Kompromi

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya