Kudeta Myanmar: 180 Demonstran Tewas dan Ratusan Hilang Tanpa Jejak
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan, hingga Selasa (16/3/2021) sedikitnya 149 demonstran yang menolak kudeta militer di Myanmar tewas akibat bentrokan dengan aparat. Sementara, angka yang dirilis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) lebih tinggi lagi, yaitu ada lebih dari 180 pengunjuk rasa Myanmar yang meninggal dunia.
PBB dan AAPP meyakini angka kematian yang sesungguhnya jauh lebih tinggi dari laporan. Sebab, mereka mendapati ratusan orang hilang sejak demonstrasi meledak di Myanmar mulai 1 Februari 2021.
"Jumlah korban tewas melonjak selama sepekan terakhir di Myanmar, di mana pasukan keamanan telah menggunakan kekuatan mematikan secara agresif terhadap pengunjuk rasa damai," kata juru bicara kantor hak asasi PBB, Ravina Shamdasani, sebagaimana dilaporkan Channel News Asia.
Baca Juga: Junta Militer Myanmar Umumkan Keadaan Darurat di Yangon
1. Lebih dari 2.084 ditetapkan sebagai tahanan politik
Selain pembunuhan, Shamdasani turut memperingatkan pasukan keamanan yang terus melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang. Data PBB menunjukkan, sedikitnya 2.084 orang telah ditetapkan sebagai tahanan politik.
"Laporan penyiksaan yang sangat menyedihkan di dalam tahanan juga telah muncul," ujar dia.
Di hadapan awak media, PBB juga mengecam represivitas aparat karena menyiksa para tahanan di penjara. "Setidaknya lima kematian dalam tahanan telah terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Dua tubuh korban telah menunjukkan tanda-tanda penganiayaan fisik yang parah, menunjukkan bahwa mereka disiksa.”
2. Ratusan orang hilang tak terkonfirmasi
Editor’s picks
Rezim darurat di bawah kepemimpinan Jenderal Min Aung Hlaing menindak keras para demonstran yang tidak patuh atas dalih stabilitas nasional. Hak warga untuk menyampaikan pendapat dibungkam secara terang-terangan, baik melalui tembakan gas air mata hingga patroli siber untuk membungkam aktivisme dunia maya.
Jutaan warga Myanmar berbondong-bondong turun ke jalan menuntut restorasi demokrasi dan pembebasan penasihat negara Aung San Suu Kyi serta Presiden Win Myint.
Shamdasani menambahkan, militer juga melakukan penghilangan paksa untuk membungkam para demonstran. Hingga saat ini, ratusan demonstran tidak ditemukan jejaknya dan otoritas militer juga tidak mengakui laporan orang hilang.
“(Itu) sama dengan penghilangan paksa,” katanya.
Baca Juga: PBB Laporkan Sedikitnya 138 Demonstran Myanmar Tewas Sejak Februari
3. Sulit memperoleh data yang presisi
Terkait data kematian antar lembaga yang tidak sama, Shamdasani menjelaskan bahwa PBB menghadapi kesulitan untuk memverifikasi informasi yang diterima dari lapangan. Tantangan utamanya datang dari pemberlakuan darurat militer di Burma.
Selain itu, banyak lingkungan kelas pekerja, lingkaran orang-orang yang terbunuh, telah terputus komunikasinya akibat negara membatasi jalur komunikasi. Tindakan keras terhadap media juga mempersulit penyebaran informasi. Setidaknya 37 jurnalis telah ditangkap dan lima outlet berita utama Myanmar telah dicabut izinnya.
Meski komunitas internasional ramai-ramai mengutuk kudeta militer, pernyataan resmi telah dikeluarkan Dewan Keamanan PBB dan beberapa negara sudah menjatuhkan sanksi, fraksi militer masih enggan untuk menyerahkan kekuasaannya.
Mereka mengklaim bila kudeta militer adalah suatu keharusan untuk menyelamatkan negara. Sebab, pemerintahan sipil melalui Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) yang berhasil memenangkan pemilu 2020 dituduh melakukan kecurangan demi memperoleh kekuasaan.
Baca Juga: Pemimpin Sipil Myanmar Minta Warga Lindungi Diri Sendiri