Lika-Liku 23 Tahun Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura

Dibahas sejak 1998, disahkan pada 2022

Jakarta, IDN Times – Indonesia akhirnya menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada Selasa (25/1/2022). Bintan, Kepulauan Riau menjadi saksi bisu betapa perjanjian ini mengakhiri penantian selama lebih dari 23 tahun.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H. Laoly, mengatakan bahwa perjanjian itu bermanfaat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.

Yasonna menambahkan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

“Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” kata Yasonna, yang juga guru besar ilmu kriminologi.

Baca Juga: Akhirnya Indonesia Punya Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura 

1. Berikut linimasa perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura

Lika-Liku 23 Tahun Perjanjian Ekstradisi Indonesia-SingapuraPenandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura (Dok. Setpres)

Perjanjian yang sudah dibahas oleh kedua pemerintah sejak 1998 ini baru disepakati pada 2022. Untuk lebih jelasnya, berikut lika-liku perjalanan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura.

  • Indonesia mulai berdialog dengan Singapura soal perjanjian ekstradisi sejak 1998. Hal itu selalu ditekankan oleh Indonesia dalam berbagai pertemuan, baik pada tingkat bilateral maupun regional.
  • Pada 16 Desember 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Thong bertemu di Istana Bogor. Tema utama pada pertemuan bilateral itu adalah pengembangan kerja sama kedua negara dalam berbagai bidang. Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah tercapainya kesepakatan bahwa Indonesia-Singapura akan menyusun rencana aksi pembentukan perjanjian ektradisi.
  • Pada 27 April 2007, Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo menandatangani Perjanjian Ekstradisi Indonesia–Singapura di Tampaksiring, Bali. Kegiatan itu disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.

Perlu digarisbawahi, perjanjian yang sudah ditandatangani pada 2007 belum bisa diberlakukan karena Indonesia-Singapura belum meratifikasi perjanjian tersebut. Salah satu alasannya adalah kedua negara ingin agar pengesahan perjanjian ekstradisi dilakukan secara pararel dengan pengsahan Perjanjian Kerja Sama Keamanan Indonesia-Singapura.

Kemudian, Komisi I DPR RI Periode 2004-2009, dalam Rapat Kerja dengan Menteri Luar Negeri tertanggal 25 Juni 2007, menolak untuk mengesahkan Perjanjian Kerja Sama Keamanan yang telah ditandatangani. Alhasil, proses ratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura jadi terhambat.

  • Pada 8 Oktober 2019, Leaders’ Retreat Indonesia–Singapura membahas kembali tentang Persetujuan Penyesuaian Batas Wilayah Informasi Penerbangan Indonesia-Singapura (Realignment Flight Information Region/FIR) dan Perjanjian Kerja Sama Keamanan.

Leaders’ Retreat adalah pertemuan tahunan antara Presiden Indonesia dengan Perdana Menteri Singapura guna membahas kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua negara. Leaders’ Retreat dimulai sejak 2016 hingga saat ini.

  • Menindaklanjuti hasil Leaders’ Retreat 2019, Menkumham RI mengusulkan supaya Perjanjian Ekstradisi yang sejak awal diparalelkan dengan Perjanjian Kerja Sama Keamanan juga dibahas kembali dalam framework for discussion.
  • Setelah serangakain korespondensi, konsultasi dan perundingan, pada 22 Oktober 2021, Pemerintah Singapura menerima usulan Indonesia tersebut di atas. Perjanjian Ekstadisi Indonesia-Singapura akhirnya ditandatangani di Bintan, Kepulauan Riau, pada 25 Januari 2022.

Baca Juga: Pengemplang BLBI yang Ubah Kewarganegaraan Tetap Bisa Ditangkap!

2. Kenapa perjanjian ekstradisi sangat penting?

Lika-Liku 23 Tahun Perjanjian Ekstradisi Indonesia-SingapuraPenandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura (Dok. Setpres)

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura terbilang cukup lambat jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Dengan Malaysia, perjanjian ekstradisi telah disepakati sejak 1973, dengan Filipina sejak 1976, dan dengan Thailand sejak 1978.

Lantas, apa urgensi dari perjanjian ekstradisi?

Perjanjian ekstradisi merupakan sarana untuk memudahkan suatu negara mengembalikan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke negara lain. Tanpa perjanjian ini, proses pengembalian pelaku kejahatan ke negara peminta, yaitu negara yang merugi karena tindak kriminalnya, akan sangat sulit.

Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura berjumlah 31 jenis, di antaranya korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

Baca Juga: Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura, Kapolri: Penegakan Hukum Makin Optimal

3. Deretan koruptor yang melarikan diri ke Singapura

Lika-Liku 23 Tahun Perjanjian Ekstradisi Indonesia-SingapuraIlustrasi Koruptor (IDN Times/Mardya Shakti)

Banyak pelaku kriminal melarikan diri ke Singapura karena alasan geografis yang dekat. Tanpa perjanjian ekstradisi, penegak hukum Indonesia tidak bisa meminta bantuan kepada Singapura untuk menangkap para pelaku kriminal tersebut.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch, berikut di antara koruptor yang melarikan diri ke Singapura:

  1. Sjamsul Nursalim kasus BDNI dengan kerugian negara Rp6,9 triliun dan 96,7 juta dolar AS.
  2. Bambang Sutrisno kasus Bank Surya dengan kerugian negara Rp1,5 triliun.
  3. Adrian Kiki Irawan kasus Bank Surya dengan kerugian negara Rp1,5 triliun.
  4. David Nusa Wijaya kasus Bank Sertivia dengan kerugian negara Rp1, 26 triliun.
  5. Samadikun Hartono kasus Bank Modern dengan kerugian negara Rp169 miliar.
  6. Agus Anwar kasus Bank Pelita dengan kerugian negara Rp1,9 triliun.
  7. Irawan Salim kasus Bank Global dengan kerugian negara 500 ribu dolar AS.
  8. Sudjino Timan kasus BPUI dengan kerugian negara 126 juta dolar AS.
  9. Hartono Tjahdjaja kasus BRI Senen dengan kerugian negara Rp180 miliar.
  10. Nader Taher kasus Bank Mandiri dengan kerugian negara Rp24,8 miliar.
  11. Maria Pauline Lumowa kasus Bank BNI dengan kerugian negara Rp1,9 triliun.
  12. Atang Latief kasus Bank Bira dengan kerugian negara Rp155 miliar. 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya