Membentengi Myanmar secara Digital, Strategi Militer Menguasai Negeri

Militer meniru langkah Tiongkok untuk menjinakkan internet

Jakarta, IDN Times - Bukan hanya senjata dan alutsista yang tentara Myanmar kerahkan ketika melancarkan kudeta pada Senin (1/2/2021) dini hari. Seorang saksi mata melaporkan bahwa mereka juga membawa gunting untuk memotong segala jenis kabel, bahkan tanpa mengetahui apa fungsi dari kabel tersebut. Teknisi di operator telekomunikasi juga diperintahkan untuk mematikan jaringan internet.

Selain menyergap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi bersama elit Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) di kediamannya, militer juga melakukan penggerebakan pusat data di Yangon dan kota-kota lainnya. Strategi penguncian online dan offline, dengan menahan para petinggi pemerintahan, mereka terapkan untuk meminimalisir kebocoran informasi soal perebutan kekuasaan yang dilakukan secara inkonstitusional.

Sejak kudeta, militer telah berulang kali mematikan internet dan memutus akses ke media sosial, salah satunya adalah Facebook yang merupakan sumber penyalur informasi terbesar di Burma.

Dilansir dari The New York Times, selama ini Tatmadaw, sebutan untuk militer Myanmar, mengandalkan kontrol informasi dengan todongan senjata. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, militer mulai mempertimbangkan untuk membuat benteng api digital yang lebih agresif dalam memanajemen informasi di dunia maya. Rezim militer juga telah melayangkan undang-undang yang dapat mengkriminalisasi penyampaian opini secara daring.

Mengembangkan firewall memakan waktu bertahun-tahun, dan kemungkinan membutuhkan bantuan dari Tiongkok atau Rusia. Para ahli juga memperkirakan, Myanmar harus mengalokasikan anggaran lebih besar untuk membangun benteng digital yang komprehensif.

"Militer takut dengan aktivitas online orang sehingga mereka mencoba memblokir dan mematikan internet," kata presiden cabang lokal dari Asosiasi Profesional Komputer Myanmar Zaw Thurein Tun.

Baca Juga: Jalan Berliku ASEAN Menyudahi Kudeta Militer Myanmar

1. Myanmar meniru langkah Tiongkok untuk membatasi internet

Membentengi Myanmar secara Digital, Strategi Militer Menguasai NegeriPengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Untuk merealisasikan angan tersebut, Jenderal Min Aung Hlaing cs terhalang kemorosotan ekonomi imbas kudeta yang ditentang komunitas internasional. Terlebih lagi, demonstrasi masyarakat sipil telah merenggut sekurangnya tiga korban nyawa.

Singapura mengingatkan bahwa hal itu bisa memperburuk situasi ekonomi, yang sudah diperburuk oleh pandemik COVID-19. Belum lagi sejumlah negara, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada, telah membekukan bisnis dan aset para jenderal di luar negeri.

"Tapi sekarang transaksi bank internasional telah berhenti, dan ekonomi negara sedang merosot. Sepertinya air kencing mereka mengairi wajah mereka sendiri," tambah Zaw Thurein.

Strategi pemblokiran menunjukkan bukti baru bahwa banyak negara yang menjadikan Tiongkok sebagai kiblat entitas otoriter dalam menjinakkan internet atas dalih stabilitas. Bahkan pembuat kebijakan di AS dan Eropa, yang notabennya menganut demokrasi, turut melakukan hal serupa, meskipun aturannya tidak seketat Tiongkok.

Para ahli teknologi khawatir langkah seperti itu pada akhirnya dapat menghancurkan internet, karena secara efektif merusak jaringan yang menghubungkan dunia.

Warga Myanmar mungkin memiliki akses internet yang lambat, tetapi hal itu tidak membungkam antusiasime mereka terhadap dunia maya. Komunikasi di Facebook dan Twitter, bersama dengan aplikasi perpesanan yang lebih aman, telah menyatukan jutaan orang untuk menentang kudeta tersebut.

2. Militer menekan operator telekomunikasi

Membentengi Myanmar secara Digital, Strategi Militer Menguasai NegeriKendaraan bersenjata Tentara Myanmar berkendara melewati sebuah jalan setelah mereka mengambil kekuasaan dalam sebuah kup di Mandalay, Myanmar, Selasa (2/2/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Demonstrasi yang telah berlangsung selama lebih dari tiga pekan memperlihatkan tren baru tentang bagaimana memanfaatkan internet sebagai media konsolidasi. Intelektual terkemuka Myanmar, Thant Myint U memaparkan bahwa para aktivis saling berkomunikasi memanfaatkan Bridgefy, sebuah pesan aplikasi berbasis Bluetooth.

Hal itu cukup menjelaskan mengapa massa sangat terorganisir sekalipun militer membatasi akses internet. Facebook juga mengambil sikap dalam isu ini, dengan memblokir akun Tatmadaw atas tuduhan provokasi yang melanggar standar penggunaan aplikasi.

“Otoritas militer sepertinya terkejut, tidak hanya dengan skala protes, tapi juga cara mereka yang terorganisir. Tidak diorganisir oleh NLD atau Aung San Suu Kyi, tapi oleh jaringan-jaringan aktivis yang lebih muda,” kata Myint U, sebagaimana dikutip dari laman Foreign Policy.

Aksi untuk rasa mulai menyasar kantor diplomatik Tiongkok di Myanmar, mereka menuduh Beijing mengekspor perangkat untuk memperkuat cengkraman otoritarianisme Tatmadaw.

Tuduhan itu tidak lepas dari Huawei dan ZTE, dua perusahaan besar Tiongkok, yang membangun sebagian besar jaringan telekomunikasi Myanmar, terutama ketika sanksi keuangan Barat menyulitkan perusahaan asing lainnya untuk beroperasi di negara tersebut.

Di sisi lain, Telenor dan Ooredo, dua operator asing di Myanmar, terpaksa untuk memenuhi tuntutan militer untuk memutus internet setiap malam dalam sepekan terakhir, termasuk memblokir situs tertentu, seperti Facebook, Twitter dan Instagram.

Militer turut menempatkan perwira dari Korps Sinyal untuk mengambil alih Departemen Pos dan Telekomunikasi, sebagaimana laporan dua orang yang mengetahui tentang kepegawaian institusi tersebut.

Baca Juga: Pemerintah Myanmar Minta Facebook Diblokir Sementara

3. Militer berupaya meloloskan Undang-Undang Keamanan Siber

Membentengi Myanmar secara Digital, Strategi Militer Menguasai NegeriIlustrasi warga Myanmar berunjuk rasa di Yangoon, Myanmar pada Sabtu, 30 Januari 2021 (ANTARA FOTO/REUTERS/Shwe Paw Mya Tin)

Sepakan pascakudeta, militer telah mendistribusikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Siber setebal 36 halaman kepada sejumlah penyedia layanan internet. Aturan itu memberi wewenang kepada militer untuk memblokir situs web serta memutus akses ke pengguna internet yang dianggap merepotkan. RUU tersebut juga akan mengizinkan pemerintah untuk mengakses data pengguna secara luas.

"Undang-undang keamanan siber hanyalah undang-undang untuk menangkap orang yang sedang online. Jika berhasil diloloskan, ekonomi digital di negara ini akan hilang " kata Ma Htaike Htaike Aung, selaku Direktur Eksekutif MIDO, kelompok masyarakat sipil yang melacak teknologi di Myanmar.

Ketika RUU itu dikirim untuk dikomentari oleh telekomunikasi asing, pihak berwenang menegaskan bahwa mereka tidak memiliki opsi untuk menolak skema beleid tersebut.

Tanpa aturan tersebut, Myanmar tercatat sebagai negara yang memberlakukan pembatasan internet (internet shutdown) terlama dalam sejarah dunia, yaitu selama 19 bulan di negara bagian Rakhine dan Chin.  

Zaw Thurein Tun dari Asosiasi Profesional Komputer Myanmar merupakan salah satu korban represifitas digital rezim. Ketika dia sedang duduk di rumah, berselancar di dunia maya saat kudeta berlangsung, sejumlah pria datang untuk menangkapnya. Beruntung dia masih sempat meloloskan diri. Adapun sejumlah aktivis lainnya berhasil diamankan.  

Dia sekarang bersembunyi sembari membantu mengarahkan kampanye pembangkangan sipil melawan militer. Zaw Thurein mengatakan dia prihatin bahwa Tatmadaw sedang merakit benten digitalnya sendiri. "Kalau begitu kita semua akan berada dalam kegelapan total lagi," katanya.

Sejumlah entitas internasional telah memberikan terkait situasi termutakhir di Myanmar. Myint U mewanti-wanti agar instrumen sanksi diterapkan secara proporsional, sebab militer Myanmar adalah institusi yang terisolasi. Jika tidak tepat sasaran, maka sanksi justru memperberat keberlangsungan hidup 54 juta penduduk Myanmar.

“Kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa asing, tidak memiliki aset di luar negeri. Bahkan lebih terisolir dari orang miskin di negara berkembang. Menjatuhkan sanksi kepada mereka tidak akan berdampak signifikan terhadap sikap politiknya,” tutur dia.

Baca Juga: Militer Myanmar Blokir Internet saat Demo Tolak Kudeta Membesar 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya