PBB: Dunia Sudah Kehabisan Waktu untuk Mengatasi Krisis Iklim

Krisis klim merugikan ekonomi hingga puluhan miliar dolar

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan, dunia telah kehabisan waktu untuk mengatasi krisis iklim. Situasi diperburuk dengan pandemik COVID-19 yang menyebabkan agenda-agenda perubahan iklim terhenti.
 
Lelaki kelahiran Portugal itu mendesak agar 2021 menjadi tahun aksi untuk melindungi populasi dunia dari bencana perubahan iklim. Seruan tersebut disampaikan oleh Guterres menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim yang dihelat oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, pada Kamis-Jumat mendatang.
 
Nantinya, 40 pemimpin dunia akan menghadiri diskusi virtual sebagai upaya menggalang negara-negara besar untuk mengatasi krisis iklim.
 
"Ini adalah tahun untuk bertindak. Negara-negara harus berkomitmen untuk mencapai nol emisi pada 2050," kata dia, Selasa (20/4/2021), sebagaimana dikutip dari ABS-CBN.

Baca Juga: AS dan Tiongkok Sepakat Kerja Sama Perubahan Iklim

1. Pemanasan global mempengaruhi kehidupan dan pendapatan

PBB: Dunia Sudah Kehabisan Waktu untuk Mengatasi Krisis IklimJoe Biden dalam Pengumuman Resmi Tim Iklim dan Energi di Queen Theatre, Wilmington, Delaware, 19 Desember 2020 (twitter.com/JoeBiden)

Dalam Laporan Keadaan Iklim Global 2020 yang dirilis Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, tercatat bahwa tahun lalu merupakan salah satu tahun terpanas. Catatan lainnya adalah konsentrasi gas rumah kaca meningkat, padahal terjadi perlambatan ekonomi imbas pandemik COVID-19.  
 
Menurut Guterres, merujuk laporan tersebut, cuaca ekstrem pada 2020 dipicu oleh perubahan iklim antropogenik. “(Perubahan cuaca) mempengaruhi kehidupan, menghancurkan mata pencaharian, dan memaksa jutaan orang meninggalkan rumah mereka,” ujar dia.
 
"Waktu hampir habis untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris. Kita perlu berbuat lebih banyak, dan lebih cepat, sekarang. Untuk melindungi orang-orang dari efek bencana alam,” tambah Guterres.

2. Upaya menstabilkan suhu harus dimulai dari sekarang

PBB: Dunia Sudah Kehabisan Waktu untuk Mengatasi Krisis IklimIlustrasi banjir (IDN Times/Arief Rahmat)

Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim menyerukan pembatasan pemanasan global di bawah dua derajat Celcius, di atas tingkat pra-industri. Sementara negara-negara akan berupaya untuk membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat celcius.
 
WMO meyakini setidaknya ada satu dari lima kemungkinan suhu global rata-rata meningkat melebihi 1,5 derajat celcius pada 2024.
 
Laporan utama badan tersebut, yang terdiri dari 56 halaman, mencatat indikator-indikator sistem iklim, termasuk peningkatan suhu darat dan laut, kenaikan permukaan laut, pencairan es dan gletser, serta cuaca ekstrem.
 
Laporan juga menyoroti dampak pada pembangunan sosial-ekonomi, migrasi dan perpindahan, ketahanan pangan, dan ekosistem darat serta laut.
 
"Semua indikator iklim utama dan informasi dampak yang diberikan dalam laporan ini menunjukkan perubahan iklim yang tanpa henti, peningkatan kejadian dan intensifikasi peristiwa berdampak tinggi, dan kerugian parah serta kerusakan yang mempengaruhi orang, masyarakat, dan ekonomi,” terang Kepala WMO Petteri Taalas.
 
Dia menyambung, "menstabilkan suhu rata-rata global pada 1,5-2 derajat celcius pada akhir abad ini akan membutuhkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang ambisius, yang harus mulai terjadi selama dekade ini.”

3. Dibutuhkan perubahan yang radikal demi menjaga iklim

PBB: Dunia Sudah Kehabisan Waktu untuk Mengatasi Krisis IklimWikimedia.org/U.S. Mission Photo by Eric Bridiers

Statistik menunjukkan bahwa 2020 adalah salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat. Suhu mencapai 38 derajat celcius di Verkhoyansk, Rusia pada 20 Juni, suhu tertinggi yang tercatat di mana pun di utara Lingkaran Arktik.
 
Tren kenaikan permukaan laut semakin cepat, sementara penyimpanan panas laut dan pengasaman meningkat, mengurangi kapasitas laut untuk memoderasi perubahan iklim.
 
Dikatakan bahwa batas es laut minimum Arktik pada September 2020 adalah yang terendah kedua dalam catatan.
 
Selama 2020, jumlah 30 badai Atlantik yang belum pernah terjadi sebelumnya menyebabkan setidaknya 400 kematian dan kerugian sebesar 41 miliar dollar AS (Rp596 triliun). Gelombang panas ekstrem, kekeringan parah, dan kebakaran hutan juga menyebabkan kerugian ekonomi puluhan miliar dolar dan banyak kematian.
 
Sekitar 9,8 juta pengungsi, sebagian besar karena bahaya dan bencana hidrometeorologi, tercatat selama paruh pertama 2020.
 
"Tahun ini sangat penting. Pada konferensi iklim PBB COP26 pada November, kami perlu menunjukkan bahwa kami mengambil dan merencanakan tindakan berani untuk mitigasi dan adaptasi," kata Guterres.
 
Dia menegaskan, "itu berarti perubahan radikal di semua lembaga keuangan, publik dan swasta, untuk memastikan bahwa mereka mendanai pembangunan yang berkelanjutan dan tangguh untuk semua dan menjauh dari ekonomi abu-abu dan tidak adil."

Baca Juga: Hadiri KTT CAS, Jokowi Sampaikan 4 Langkah Atasi Perubahan Iklim 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya