Tiga Demonstran Tewas, Ini 5 Fakta Terbaru Soal Kudeta Myanmar

Facebook take down laman resmi pemerintah militer Myanmar

Jakarta, IDN Times - Hampir tiga minggu sejak kudeta militer terjadi di Myanmar. Meski komunitas internasional telah mengecam tindakan inkonstitusional yang diinisiasi oleh Panglima Angkatan Darat Jenderal Min Aung Hlaing, fraksi militer tampak belum bersedia menyerahkan kekuasaannya.
 
Alih-alih mengabulkan tuntutan demonstran, aparat justru merespons kerumunan dengan tindakan represif. Mobil meriam air dibariskan. Akses internet dimatikan. Peluru karet ditembakkan. Semua disiapkan untuk memukul mundur massa yang menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi bersama sekitar 500 tahanan politik lainnya.
 
Berikut lima fakta terbaru soal kudeta militer di Burma, yang dihimpun dari berbagai sumber.

1. Tiga orang demonstran tewas

Tiga Demonstran Tewas, Ini 5 Fakta Terbaru Soal Kudeta MyanmarKendaraan bersenjata Tentara Myanmar berkendara melewati sebuah jalan setelah mereka mengambil kekuasaan dalam sebuah kup di Mandalay, Myanmar, Selasa (2/2/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Setelah gelombang demonstrasi yang berlarut-larut, polisi akhirnya menembakkan peluru tajam yang menyebabkan dua orang meninggal dunia. Dalam kejadian yang sama, 20 orang juga dilaporkan luka-luka.  
 
Dilansir dari BBC, identitas dua korban tersebut adalah seorang tukang kayu berusia 36 tahun yang tewas akibat peluru bersarang di dada dan anak-anak di bawah usia 18 tahun karena peluru ditembakkan ke kepalanya.
 
Beberapa hari sebelumnya, polisi telah menembakkan peluru karet kepada para demonstran. Sekurangnya empat orang terluka akibat tembakan tersebut, satu di antaranya meninggal dunia pada Jumat (19/2/2021) setelah peluru karet bersarang di kepala.
 

Baca Juga: Dino Patti: Kudeta Militer Myanmar Bertentangan dengan Piagam ASEAN

2. Kecaman dari komunitas internasional atas insiden penembakan

Tiga Demonstran Tewas, Ini 5 Fakta Terbaru Soal Kudeta MyanmarSekjen PBB Antonio Guterres berbicara dalam konferensi pers malam sebelum KTT Iklim PBB (COP25) di Madrid, Spanyol, pada 1 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Sergio Perez

Komunitas internasional dengan cepat merespons situasi terbaru di Myanmar. Kecaman datang dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang mengatakan, semua orang memiliki hak untuk berkumpul dan mengutarakan pendapat.
 
“Saya mengutuk penggunaan kekerasan mematikan di Myanmar.  Penggunaan kekerasan, intimidasi, dan pelecehan terhadap demonstran damai tidak dapat diterima. Setiap orang memiliki hak untuk berkumpul secara damai. Saya meminta semua pihak untuk menghormati hasil pemilu dan kembali ke pemerintahan sipil,” kata Guterres melalui akun Twitter-nya.
 
Uni Eropa juga mengeluarkan ungkapan senada, menyebut apa yang terjadi di Myanmar adalah tindakan yang sangat bermasalah.
 
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab juga mencuit, "penembakan pengunjuk rasa damai di Myanmar berada di luar batas. Kami akan mempertimbangkan tindakan lebih lanjut, dengan mitra internasional kami, melawan mereka yang menghancurkan demokrasi dan mencekik perbedaan pendapat."
 
Singapura, sebagai salah satu investor terbesar di Myanmar, turut memperingatkan dampak ekonomi dari peristiwa tersebut.

3. Para pengungsi mengkhawatirkan keluarganya

Tiga Demonstran Tewas, Ini 5 Fakta Terbaru Soal Kudeta MyanmarPrajurit Myanmar melihat saat mereka berdiri di dalam balai kota Yangon setelah mereka menduduki gedung tersebut, di Yangon, Myanmar, Senin (1/2/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/WSJ)

Diskriminasi terhadap etnis minoritas menjadi permasalahan akut di Myanmar. Bukan hanya etnis Rohingnya yang dipaksa mengungsi demi mencari penghidupan yang layak. Kap Ling Sang, warga Myanmar beretnis Chin, juga mengungsi ke Malaysia pada 2010 sejak militer melancarkan serangan di Negara Bagian Chin atau wilayah barat laut Myanmar.
 
Mendengar kudeta telah terjadi di Naypyidaw, Ling Sang mengkhawatirkan kondisi keluarganya yang masih bermukim di Myanmar. Kekhawatiran dan gelisah tak bisa dibendung karena militer menutup akses informasi ke luar.
 
“Saya memiliki orang tua dan nenek saya di Myanmar. Ketika saya dapat menghubungi mereka, pertanyaan pertama saya adalah selalu, apakah mereka aman? Setiap kali kehilangan kontak, saya khawatir apakah mereka ditangkap atau tidak. Saya kehilangan kedamaian di hati saya,” kata dia dilansir dari Channel News Asia.

4. Ketidakpastian yang dihadapi pengungsi semakin tinggi

Tiga Demonstran Tewas, Ini 5 Fakta Terbaru Soal Kudeta MyanmarEtnis Rohingnya di Myanmar telah menjadi korban atas perlakuan kejam militer Myanmar (twitter.com/The Rohingnya Post)

Bagi sebagian pengungsi, kudeta dapat menggagalkan proses untuk memperoleh kewarganegaraan di negara lain. Sementara, bagi yang lain, kudeta juga dapat mempersulit keinginan untuk kembali ke Myanmar dengan damai.
 
"Sekarang mereka (militer) kembali berkuasa, menurut Anda apakah para pengungsi ini akan bersedia kembali di bawah pemerintahan ini?" kata James Bawi Thang Bik dari komunitas Chin Independen, seraya mengingat trauma atas kekerasan yang dilakukan oleh fraksi militer.
 
Sekalipun Ling Sang dan pengungsi lainnya lebih merasa aman ketika bermukim di Negeri Jiran, tetapi mereka tetap menghadapi ketidakpastian karena Malaysia tidak berpartisipasi dalam Konvensi Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1951.
 
Hal itu menyebabkan kurangnya perlindungan hukum di Malaysia, sehingga para pengungsi rentan mengalami kriminalisasi, bersamaan dengan keterbatasan akses terhadap pekerjaan, perawatan kesehatan, pendidikan.
 
“Sulit untuk mendapat pekerjaan, kami hanya bisa bekerja dua hari dalam seminggu jadi sangat sulit untuk mencari nafkah. Kami memilih makanan termurah untuk menghemat uang,” keluh Ling Sang di tengah pandemik COVID-19 yang semakin menyiksa hidupnya.
 

5. Laman Facebook militer Myanmar di-take down

Tiga Demonstran Tewas, Ini 5 Fakta Terbaru Soal Kudeta MyanmarIlustrasi (IDN Times/Sunariyah)

Facebook yang dalam beberapa tahun terakhir terlibat dalam aktivisme politik di Myanmar, memutuskan untuk menghapus laman Tatmadaw (sebutan untuk militer Myanmar) pada Minggu (21/2/2021) karena dianggap melakukan penghasutan.
 
"Sejalan dengan kebijakan global, kami telah menghapus Halaman Tim Informasi Berita Sejati Tatmadaw dari Facebook karena pelanggaran berulang terhadap Standar Komunitas kami yang melarang hasutan kekerasan dan mengoordinasikan tindakan merugikan," kata seorang perwakilan Facebook dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dilaporkan Reuters.
 
 

Baca Juga: RI-Singapura Dorong Pertemuan Informal Menlu ASEAN untuk Bahas Myanmar

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya