Tiongkok, Jerman, Rusia, Prancis Berebut Ingin Bangun Pelabuhan Beirut

Pelabuhan Beirut meledak pada 2020

Jakarta, IDN Times - Delapan bulan setelah ledakan besar terjadi di Pelabuhan Beirut, Lebanon, sejumlah perusahaan asing kini bersaing untuk terlibat pada proyek pembangunan ulang. Di antara negara yang telah mengutarakan niatnya adalah Rusia, Tiongkok, Prancis, Turki, dan Jerman.

Ledakan besar di Pelabuhan Beirut terjadi pada 4 Agustus 2020, dipicu ratusan ton pupuk yang tidak disimpan dengan baik. Insiden tersebut menghancurkan sisi dermaga dan sebagian besar Kota Beirut serta menewaskan lebih dari 200 orang.

"Setiap pihak mengawasi pelabuhan, tapi untuk saat ini hanya pernyataan niat,” kata Direktur Pelabuhan sementara, Bassem al-Kaissi, dikutip dari South China Morning Post.

1. Jerman menawarkan Rp43,7 triliun

Tiongkok, Jerman, Rusia, Prancis Berebut Ingin Bangun Pelabuhan BeirutFoto udara memperlihatkan kerusakan menyusul ledakan pada hari Selasa di area pelabuhan Beirut, Libanon, Kamis (6/8/2020). Foto diambil dengan drone (ANTARA FOTO/REUTERS/Bader Helal)

Baca Juga: Kronologi Ribuan Ton Amonium Nitrat Masuk ke Beirut dan Meledak

Penawaran terbaru datang dari Jerman, yang pada Jumat pekan lalu meluncurkan proposal pembangunan ulang dengan nilai yang sangat fantastis, mencapai 30 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp43,7 triliun. Penawaran ini disampaikan delegasi Jerman dihadapan Duta Besar Lebanon.

Dalam rencana tersebut, atas rekomendasi Hamburg Port Consulting, Jerman berkeinginan memindahkan pelabuhan ke area timur dan merombak kawasan terdekat untuk memasukkan perumahan sosial, central park, dan bahkan pantai.

2. Prancis menawarkan pembangunan berkonsep smart port

Tiongkok, Jerman, Rusia, Prancis Berebut Ingin Bangun Pelabuhan BeirutKeadaan di wilayah pelabuhan yang mengalami kerusakan akibat ledakan yang terjadi kemarin di Beirut, Lebanon, Rabu (5/8/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Azakir)

Penawaran lain datang dari eks kolonialis, yaitu Prancis. Presiden Prancis Emmanual Macron sedikitnya sudah dua kali berkunjung ke lokasi ledakan tersebut, kunjungan terakhir berlangsung pada September 2020. Turut hadir pada rombongan kenegaraan adalah Kepala Perkapalan Prancis CMA-CGM berdarah Lebanon, Radolphe Saade.
 
Selama kunjungan, Prancis memberikan Lebanon proyek tiga fase untuk membangun kembali, memperluas dan memodernisasi lokasi pantai menjadi smart port. Dua tahap pertama akan menelan biaya antara 400 juta dollar AS-600 juta dollar AS (Rp5,8 triliun-Rp8,7 triliun).

Setengah dari biaya pembangunan ditanggung oleh perusahaan, sementara 50 persen lainnya ditanggung oleh perusahaan dan organisasi internasional yang ingin berpartisipasi.

CMA-CGM telah memperoleh konsesi untuk menjalankan terminal peti kemas di kota kedua Lebanon, Tripoli, hingga 2041. Mereka berharap segera memenangkan tawaran untuk pengoperasian peti kemas di Beirut.

3. Kepentingan geopolitik Rusia dan Tiongkok

Tiongkok, Jerman, Rusia, Prancis Berebut Ingin Bangun Pelabuhan BeirutSuasana memperlihatkan kerusakan setelah ledakan pada hari Selasa di area pelabuhan Beirut, Libanon, Rabu (5/8/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Azakir)

Di luar kepentingan komersial, analis politik Imad Salamey berasumsi pengaruh geopolitik juga berperan dalam persaingan pembangunan pelabuhan Beirut. Hal itu menjelaskan kenapa Rusia dan Tiongkok yang tengah memperluas pengaruhnya berkeinginan membangun pelabuhan.

Di sisi lain, posisi pelabuhan juga strategis bakal eksplorasi gas di lepas pantai Mediterania. Pada 2018, Lebanon menandatangani kontrak pertamanya untuk pengeboran minyak dan gas lepas pantai di dua blok dengan konsorsium yang masing-masing terdiri dari raksasa energi Prancis, Italia, Rusia, Total, ENI:Energi Company, dan Novatek.

Lebih jauh ke utara, sekutu Rusia telah mulai mengebor di lepas pantai Suriah yang dilanda perang sipil. Salamey bahkan meyakini Tiongkok akan memenangkan proyek pembangunan pelabuhan.

4. Amerika Serikat juga memiliki kepentingan di pelabuhan

Tiongkok, Jerman, Rusia, Prancis Berebut Ingin Bangun Pelabuhan BeirutKeadaan Port of Beirut, Lebanon setelah terjadi ledakan (ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Azakir)

Mantan utusan AS untuk urusan Timur Dekat, David Schenker, telah memperingatkan agar Beijing tidak memenangkan tawaran tersebut.

"Keengganan Beijing terhadap transparansi dan ambivalensinya terhadap Hizbullah akan membuat peran China dalam rekonstruksi menjadi kasus terburuk," tulisnya.

Schenker menambahkan, Washington harus bekerja erat dengan negara mana pun yang memenangkan tawaran Pelabuhan Beirut untuk memastikan proyek tersebut terikat pada prinsip reformasi.

Komunitas internasional bersikeras melakukan reformasi besar-besaran, termasuk di pelabuhan, sebelum memompa bantuan asing untuk menyelamatkan negara dari krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dekade.

Terlepas dari siapa yang nantinya akan membangun pelabuhan tersebut, pengamat ekonomi Jad Chaaban mengatakan bahwa proyek sebesar itu akan membutuhkan konsultasi nasional.

“Perusahaan asing sendiri tidak boleh memutuskan. Begitu pula halnya dengan negara Lebanon,” ucapnya.

Baca Juga: Pemilik Amonium Nitrat yang Meledak di Beirut Masih Jadi Misteri

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya