Tuai Polemik, Mengapa RI Tolak Resolusi Pencegahan Genosida di PBB?

Kemenlu menjelaskan apa itu resolusi genosida dan prosesnya

Jakarta, IDN Times - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) angkat bicara soal voting against atau keputusan Indonesia yang menolak terhadap resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) tentang Responsibility to Protect (R2P). Menurut Kemlu, resolusi tersebut lebih bersifat prosedural daripada substantif.

Resolusi yang diajukan oleh Kroasia itu mengusulkan agar R2P dibahas dalam forum tersendiri. Padahal, sejak 2009, sudah ada platform khusus untuk membahas R2P, yaitu World Outcome Summit, sebagaimana kesepakatan World Summit 2005.

“Pada 2021 muncul permintaan agar dibuat agenda sendiri. Di titik inilah ada perbedaan pandangan. Bagi Indonesia, sudah jelas R2P adalah mandat World Summit 2005 dan agendanya sudah ada. Jadi kita merasa, lebih baik membahas pada agenda yang sudah ada sejak 2009,” kata Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemlu, Febrian Alphyanto Ruddyard, melalui konferensi pers secara virtual, Kamis (20/5/2021).

Baca Juga: Indonesia Tolak Resolusi Pencegahan Genosida-Kejahatan Perang di PBB

1. Bagaimana awal kemunculan resolusi ini?

Tuai Polemik, Mengapa RI Tolak Resolusi Pencegahan Genosida di PBB?Presiden Rouhani berpidato dalam Rapat Besar Majelis Umum PBB, pada tahun 2019. twitter.com/HassanRouhani

Pada 2017, kata Febri, Australia bersama Ghana mengajukan agenda tambahan untuk membahas R2P. Namun, kala itu, gagasan yang diusulkan mereka adalah supplementary agenda hanya untuk tahun 2017.

“Itu kemudian diputuskan di General Committee, itu biro di Majelis Umum yang membahas agenda-agenda apa saja dalam masa sidang yang berjalan,” ulas Febri.

Tahun berikutnya, ternyata Australia dan Ghana kembali mengajukan supplementary agenda, dengan janji yang sama, yaitu hanya untuk tahun 2018 saja.

“Tapi 2019 diminta supplementary lagi, jadi memang ada janji yang terus-terusan tidak ditepati. Hingga 2021 muncul permintaan agar dibuat agenda sendiri dan dipermanenkan,” tambahnya.

2. Apa isi resolusi tersebut?

Tuai Polemik, Mengapa RI Tolak Resolusi Pencegahan Genosida di PBB?instagram.com/unitednations

Resolusi yang ditolak oleh 15 negara, termasuk Indonesia dan Korea Utara, berisi dua poin, yaitu membuat pertemuan khusus untuk membahas R2P dan meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk melaporkan agenda R2P.

Menurut Febri, permintaan tersebut justru memperlambat esensi dari pertemuan, yakni membahas seputar implementasi R2P. Sebab, supplementary agenda yang berlangsung selama tiga tahun terakhir ternyata tidak ada bedanya dengan pembahasan R2P pada World Outcome Summit.

“Apa yang dibahas di supplementary agenda bisa dibahas di pertemuan yang sudah berjalan belasan tahun. Jadi ini terlalu buang-buang tenaga, buat resolusi baru, apalagi situasi dunia sedang seperti ini,” paparnya.

Febri menyambung, “jadi keliru kalau dikatakan voting against, berarti Indonesia tidak mau membahas isu genosida. Sejak 2005 sampai 2020 Indonesia selalu ikut membahas R2P, bahkan Indonesia mendukung konsep R2P pada World Summit. Secara konsep semuanya sepakat, hanya di mana R2P seharusnya dibahas yang berbeda.”
 

Baca Juga: AS Diduga Akui Pembantaian Armenia adalah Tindakan Genosida

3. Apa yang dibahas dalam pertemuan tersebut?

Tuai Polemik, Mengapa RI Tolak Resolusi Pencegahan Genosida di PBB?Anggota Pasukan Keamanan Kosovo (KSF) dalam upacara pelepasan pasukan untuk misi perdamaian di ibukota Pristina, pada 9 Maret 2021. twitter.com/HqKosovo

Secara garis besar, R2P memiliki tiga pilar.

Pilar pertama menjelaskan tentang perlindungan terhadap masyarakat dari kejahatan perang, genosida, pembersihan etnis, dan pelanggaran kemanusiaan merupakan tanggung jawab negara.

Pilar kedua, apabila negara tidak mampu (unable) untuk memberikan perlindungan, maka komunitas internasional dapat atau wajib memberi bantuan kepada negara tersebut.

“Artinya, ada kerja sama internasional untuk membantu negara sebagai penanggung jawab utama,” terang Febri.

Pilar terakhir, apabila negara tidak mampu (unable) dan tidak mau (unwilling), maka masyarakat internasional dapat melakukan collective action untuk memberikan perlindungan sesuai Bab 7 Piagam PBB.

“Pilar satu dan kedua jelas. Pilar ketiga inilah yang butuh pembahasan lebih jauh, menyangkut collective action, kapan harus dilakukan, parameters unable dan unwilling itu apa, siapa yang mendanai. Itulah yang dibahas dalam pertemuan karena saat ini belum ada konsensus mengenai implementasi R2P,” beber Febri.

Dia menutup, “pembahasan itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, makanya Indonesia merasa tidak perlu dibuat resolusi baru.”

Baca Juga: AS Selalu Veto Resolusi DK PBB soal Israel, Ternyata Ini Alasannya

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya