Zionis, Yahudi, Israel dan Miskonsepsi di Indonesia

Wawancara IDN Times dengan pengamat TimTeng Eva Mushoffa

Jakarta, IDN Times - Konflik Israel-Hamas, yang meletus pada 7 Oktober 2023, memicu kembali perdebatan soal Yahudi, zionsime, dan Yahudi. Banyak warga Indonesia yang masih salah memahami tiga konsep tersebut. 

Untuk menjelaskan perbedaan tiga hal tersebut, berikut IDN Times tampilkan kembali cuplikan wawancara khusus dengan dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang menggeluti isu Timur Tengah, Eva Mushoffa.

Bagaimana Anda memahami Zionisme?

Zionis, Yahudi, Israel dan Miskonsepsi di IndonesiaIlustrasi Yahudi (IDN Times/Mardya Shakti)

Zionisme sifatnya ideologis. Mulai dibawa oleh Theodor Herzl, yang ingin menghidupkan kembali tanah yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama. Kalau menurut saya, zionisme ini terbilang modern, bukan sesuatu yang mengakar dari tradisi Yahudi secara umum.

Ketika terjadi konflik ideologi di Eropa, Theodor Herzl itu baru menghidupkan kembali ajaran tentang misi. Zionisme itu punya misi yang sangat ideologis sekali dengan keyakinan bahwa Tuhan sudah menjanjikan negara atau tanah yang tidak bisa ditawar. Maka dia mendapat banyak pengikut di Eropa, karena saat itu kondisi Eropa sangat tidak mendukung bagi orang-orang Yahudi.

Dan zionisme berbeda dengan Yahudi. Saya melihat Yahudi sebagai komunitas agama, agama samawi, pengikut ajaran Nabi Musa yang lebih banyak fokus pada kehidupan agamanya. 

Baca Juga: Ini 4 Skenario Akhir Perang Israel-Hamas 

Jika misinya mendirikan negara berdasarkan agama, apakah itu sama dengan khilafah?

Dari sisi ideologi iya, sangat kuat ideologinya, mendirikan sebuah negara dengan teritori yang jelas berdasarkan suatu ajaran tertentu.

Tapi kalau khilafah itu cakupannya lebih luas, dan khilafah mana dulu? Debatable. Bahwa khilafah yang dipahami ada satu pemerintahan sentral, kalau itu mungkin bisa kita samakan dengan zionisme, yaitu pemerintahan sentral yang berdasarkan Perjanjian Lama tentang bagaimana kehidupan bernegara diatur.

Apakah semua Yahudi mendukung zionisme?

Yahudi tidak selalu berafiliasi dengan misi-misi politik seperti zionisme. Tidak semua Yahudi mendukung zionisme, bahkan di Amerika sendiri di dalam kelompok AIPAC (American Israel Public Affairs Committee/kelompok lobi di Amerika Serikat yang membawa kepentingan Israel) terpecah, antara orang-orang yang mendukung kebijakan Amerika untuk memperkuat posisi kepemimpinan zionisme di Israel sekarang dengan mereka yang lebih mild.

Dalam arti cita-cita zionisme, sebetulnya bisa juga dinegosiasikan dalam konteks Israel yang sekarang, karena resistensi global ketika Israel berdiri, itu membuat mereka berpikir untuk merevisi cita-cita zionisme. Bagaimana caranya agar Israel bisa diterima.

Apakah Yahudi non-zionisme berarti tidak mendukung berdirinya Israel sebagai negara agama?

Secara de jure orang-orang Yahudi yang berada di Israel pasti mendukung, walaupun yang dipersoalkan siapa yang memimpin Israel sekarang. Yang terjadi sekarang, Netanyahu menghadapi kelompok yang lebih progresif, yang mau bernegosiasi dengan Palestina. Jadi kalau bicara support orang Yahudi di Israel, pasti mendukung.

Tapi kalau komunitas Yahudi internasional, saya gak punya data ya, tapi paling tidak mereka melihat perkembangan konflik di Israel tidak membawa perubahan apa pun yang penting untuk misi zionisme internasional. Apalagi orang-orang yang terbuka pikirannya, mungkin karena mereka diaspora, mereka mendukung tapi tidak memberi dukungan yang solid terhadap zionisme

Baca Juga: 5 Fakta Penggunaan Terowongan dalam Perang, Dipakai Hamas Juga!

Apakah miskonsepsi antara Yahudi, Israel, dan zionisme adalah fenomena global?

Zionis, Yahudi, Israel dan Miskonsepsi di IndonesiaIlustrasi Yahudi (IDN Times/Mardya Shakti)

Dalam konteks global, saya kira juga terjadi (miskonsepsi) karena isu konflik Israel yang mengglobal. Artinya, penduduk dunia mengetahui bahwa berdirinya Israel penuh masalah. Sehingga taken for granted Israel itu Yahudi.

Apalagi di Indonesia. Sangat sedikit orang yang memahami apa yang sebenarnya menjadi akar konflik Israel-Palestina. Secara profesional orang yang tidak mendalami studi konflik memang tidak bisa diharapkan memahami konflik secara detail, termasuk misalnya siapa sih kelompok yang bisa diidentifikasi sebagai zionis dan Yahudi.

Sebagai negara muslim terbesar, apakah miskonsepsi itu skalanya lebih parah di Indonesia?

Saya kira iya. Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan ini. Misalnya, masuknya kelompok-kelompok yang selalu menggunakan isu Israel-Palestina sejak Ikhwanul Muslimin (IM) berekspansi di Timur Tengah. Kita harus melihat bagaimana genealogi kelompok ini dan isu-isu yang selalu digunakan untuk mengumpulkan pengikut, selalu mengunakan isu-isu Palestina sebagai medan jihad, negara muslim yang diokupasi oleh “kekuatan non-muslim”.

Kelompok itu ekspansi ke Timur Tengah di saat yang sama masuk ke Indonesia lewat gerakan masjid. Sehingga pengetahuan masyarakat Indonesia tentang isu Yahudi kuat dibentuk oleh kelompok ini.

Kelompok ini sangat keras menyuarakan nilai agama pada isu Palestina, dibanding kelompok progresif yang menggunakan isu-isu internasional. Sehingga berkembang bahwa Israel adalah isu Yahudi-zionisme, tanpa membedakan apa itu Yahudi dan zionisme.

Seberapa besar pengaruh Israel-Palestina ke cara masyarakat Indonesia, muslim khususnya, mempersepsikan Yahudi?

Saya melihat keberpengaruhan isu global dengan masyarakat muslim (Indonesia) dimediasi oleh tadi itu, kelompok yang selalu menggunakan isu-isu ini untuk kepentingan politis. Artinya, apa yang terjadi di Palestina-Israel kemudian di-coverage oleh media dan disosialisikan oleh mereka. Ada katalisnya, tidak langsung berhubungan.

Misal, invasi Gaza dari 2014 sampai sekarang, masyarakat Indonesia tahunya Israel masih menduduki Gaza dan pengetahuan mereka dibentuk oleh coverage internasional. Kelompok ini yang sangat kuat dan tidak murni menyebutkan apa yang terjadi di Gaza, jadi lebih banyak menyeret isu ini utk kepentingan mereka. Jadi transmisinya di global ke masyarakat kita sudah banyak difilter oleh kelompok-kelompok ini, sehingga yang sampai adalah isu-isu yang sentimen agamanya lebih kuat.

Dan saya kira di kita juga ada kelompok-kelompok yang berusaha (mendominasi isu agama dalam konflik Israel-Palestina), seperti Sahabat Palestina misalnya, walaupun pengaruhnya gak begitu besar. Mereka juga melakukan sosialisasi dalam cakupan global untuk mencoba mengekspos apa yang terjadi di Palestina, tapi itu juga versi mereka.

Palestina sendiri terpecah, ada Hamas dan Fatah yang kemudian membuat masyarakat kita semakin bingung. Tapi, untuk Palestina sentimennya diikat oleh komunitas ummah dan ini fenomena global, bagaimana solidaritas ummah masih hidup sebagai identitas global.

Baca Juga: 5 Fakta Hizbullah, Pejuang Syiah di Lebanon yang Siap Perangi Israel

Apakah Israel-Palestina merupakan isu populis di negara-negara dengan penganut muslim yang dominan?

Zionis, Yahudi, Israel dan Miskonsepsi di IndonesiaIlustrasi Palestina (ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamad Torokman)

Saya melihatnya seperti itu ya. Palestina selalu menjadi isu hot, selalu menjadi isu yang mampu menarik simpati muslim karena adanya common identity yang masih sangat kuat. Kalau saya mendalami genealogi munculnya kelompok-kelompok Islamis, ditarik dari kehancuran Turki Utsmani dan kelompok-kelompok yang masih menginginkan khilafah berdiri, sementara elitenya tidak menginginkan.

Artinya, di grass root masih ada solidaritas. Ketika solidaritas ini kuat, yang namanya identitas itu kan primordial, mudah sekali dipantik, mudah sekali memancing reaksi, dan elite keagamaan-politik saya kira cukup aware memanipulasi isunya untuk kepentingan populisme.

Sebagian penganut Yahudi menganggap Palestina adalah “penjajahnya” dengan asumsi bahwa Palestina adalah Arab Yordania yang bermigrasi. Bagaimana kita harus melihat konflik ini?

Kalau konteksnya sejarah, ini saling klaim tiga agama, gak cuma Yahudi yang bisa klaim, ada Islam dan Kristen punya hak mengklaim. Hanya saja memang bangsa Yahudi lebih dulu mendiaminya.

Tapi saya kira kita harus melihat konteks yang lebih modern. Yang pertama, yang selalu dilupakan, kelahiran Israel adalah produk dari Perang Dingin dan konflik di Eropa. Menurut saya, kalau kita melihat konteks itu, maka penyelesaian politis harus lebih diutamakan ketimbang klaim-klaim relijus.

Katakanlah isu tentang pembagian Palestina ini sudah disepakati berdasarkan Resolusi 242 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi itu memberikan wilayah Tepi Barat dan Gaza berdiri di wilayah Palestina. Tapi kemudian secara de facto masih dikuasai oleh Israel. Karena posisi Israel yang kuat didukung oleh great power kemudian sikap bangsa Arab yang tidak satu suara mendukung Palestina.

Itu yang akhirnya membuat realisasi pendirian negara Palestina terhambat. Ditambah konflik internal komunitas Palestina. Jadi begitu kompleks. Ini yang harus dipahami oleh masyarakat kita, bukan semata-mata konflik agama. Kita harus mencoba mencari titik temu yang rasional, kita tidak bisa terus menerus klaim terhadap agama.

Almarhum Gus Dur sempat mewacanakan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Bagaimana Anda menanggapinya?

Zionis, Yahudi, Israel dan Miskonsepsi di IndonesiaPresiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (nu.or.id)

Bagi saya apa yang dilakukan Gus Dur adalah progresif dan bagus. Dalam arti mencoba beradaptasi dengan realita. Negara seperti Arab Saudi tidak punya hubungan diplomatik yang intens dengan Israel. Mesir sudah memberikan pengakuan kepada Israel sejak Camp David. Turki juga punya hubungan diplomatik. Negara-negara Islam punya hubungan diplomatik, Indonesia kenapa tidak? Argumennya selalu pembukaan UUD 1945, yaitu tidak mendukung segala penajajan di dunia ini. Tapi, apakah Israel kita anggap sebagai penjajah? Itu debatable. Nah Indonesia sikapnya gimana? Apakah menganggap Israel sebagai penjajah?

Kedua, saya kira Gus Dur lebih memahami konfliknya dengan baik, memahami bagaimana konflik di negara-negara sekitarnya, kemudian memberikan pengakuan kemerdekaan kepada Israel, hidup dengan realitas yang ada.

Saya kira Indonesia sebagai negara muslim yang besar harus memberikan contoh, bagaimanapun kita adalah saudara (bagi Palestina), bagaimanapun Israel sudah mendapat banyak pengakuan internasional. Dan Gus Dur melihat peluang kita bisa memberikan warna dalam konflik itu, dalam arti kelompok yang didengar oleh Israel dan Palestina.

Tapi sayang sekai resistensinya tinggi sekali, termasuk dari warga NU, karena masih dibungkus sentimen keagamaan, tanpa melihat apa yang sesungguhnya terjadi.

Apakah dengan menjalin hubungan diplomatik bisa menghapuskan stigma masyarakat Indonesia terhadap Yahudi dan Israel?

Bisa atau tidak perlu waktu ya. Tapi misalnya sekarang kita melihat bahwa kejadian Indonesia sempat diblokade oleh Israel, itu sudah membawa kerugian kepada kita. Saya tidak tahu posisi Pak Jokowi gimana, apakah nanti akan melangkah seperti Gus Dur atau tetap menjadikan Singapura sebagai mediasi untuk visa permit dan lain-lain.

Satu hal lagi, jika pemerintah Indonesia mau membuka hubungan dengan Israel, maka akan membawa keuntungan ekonomi juga. Selama ini produk-produk Israel masuk lewat Singapura, jadi buat apa transit dulu? Secara hitung-hitungan ekonomi ya ini memberikan benefit. Kalau rasional menjadikan semua negara sebagai teman, mungkin ini akan mengubah stigma terhadap Israel.

Menurut Anda, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah supaya stigma terhadap umat Yahudi di Indonesia terhapus?

Bukan hanya persoalan konflik Yahudi, tapi ini PR bagi kemajemukan Indonesia. Di dalam melihat relasi agama dan negara, Indonesia ini unik. Kita tidak mau dibilang sekuler tapi kita juga tidak ingin teokratis. Maka bentuk agama akhirnya lebih kuat termanifestasi di civil society.

Saya kira untuk mendapatkan formulasi yang tepat dalam relasi negara dan agama, negara harus memperkuat civil society, dan sejarah civil society di Indonesia sangat kuat. Tapi, akhir-akhir ini kita melihat kepemimpinan nasional mulai memberikan aturan-aturan yang memperketat civil society karena kepentingan politik, pasal-pasal karet tentang blasphemy, itu kan mengancam.

Ini PR panjang dan hanya akan menjadi bom waktu kalau pemerintah tidak berpikir secara serius mencari fomulasi untuk relasi agama dengan negara, agar kehidupan kelompok minoritas ada aturannya dan nyaman. Ini kan sudah menjadi kritik, Indonesia sudah dianggap mundur dengan persoalan-persoalan kelompok minoritas, padahal kita digadang sebagai negara demokrasi terbesar dengan muslim terbesar

Baca Juga: Minim Air Bersih-Pembalut, Perempuan Gaza Minum Pil Penunda Menstruasi

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya