Krisis Parah, Rakyat Sudan Serukan Kudeta Militer

Protes dilakukan ditengah krisis politik yang terjadi

Jakarta, IDN Times – Ribuan demonstran berkumpul di luar istana presiden di Khartoum, ibu kota Sudan, pada Minggu (17/10/2021), untuk memprotes pemerintahan yang ada saat ini. Mereka meminta kepada pihak militer untuk merebut kekuasaan. Protes ini merupakan serangkaian aksi lanjutan dari aksi protes sebelumnya pada hari sabtu.

"Situasi terus berlanjut, kami tidak akan pergi sampai pemerintah dibubarkan," kata Ali Askouri, salah satu penyelenggara, kepada AFP, dikutip dari Africanews.

Demonstrasi itu dilakukan di tengah krisis politik yang melanda negara Sudan sejak lengsernya kepemimpinan Omar Al-Bashir pada 2019 lalu. Sejak penggulingan itu, kelompok militer dan sipil telah berbagi kekuasaan satu sama lain. Dan ketegangan meningkat sejak upaya kudeta gagal yang coba dilakukan oleh pihak militer pada bulan September lalu.

1. Protes di tengah krisis

Krisis Parah, Rakyat Sudan Serukan Kudeta MiliterRibuan orang protes terhadap pemerintah di tengah krisis. (twitter.com/Basherkella)

Melansir Reuters, protes yang terjadi pada hari Sabtu dilancarkan untuk menyampaikan kegelisahan rakyat Sudan selama masa transisi kekuasaan selama 2 tahun terakhir pasca dilengserkannya Omar Al-Bashir. Pasalnya, selama 2 tahun terakhir itu, krisis politik bukannya membaik, malah kian bertambah parah.

Sebuah faksi militer, Pasukan Kebebasan dan Perubahan (FFC), termasuk kelompok bersenjata yang memberontak terhadap Bashir, menyerukan protes dan mengadakan acara singkat di aula konvensi terdekat. Para pengunjuk rasa meneriakkan “Turunkan pemerintahan yang kelaparan” dan menyerukan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, kepala angkatan bersenjata dan Dewan Kedaulatan gabungan militer-sipil Sudan, untuk memulai kudeta dan menggulingkan pemerintah.

"Kami membutuhkan pemerintahan militer, pemerintah saat ini telah gagal memberikan keadilan dan kesetaraan kepada kami", kata seorang pengunjuk rasa kepada AFP, sebagaimana dikutip dari BBC.

Pada September lalu, para pemimpin militer telah menuntut reformasi pada FFC dan penggantian kabinet. Namun, para pemimpin sipil menuduh mereka bertujuan untuk merebut kekuasaan.

2. PM Hamdok membuat rencana keluar dari krisis

Krisis Parah, Rakyat Sudan Serukan Kudeta MiliterPerdana menteri Sudan, Abdallah Hamdok (twitter.com/Rogers Atukunda)

Melansir Africanews, pada hari Jumat, Perdana Menteri sipil Sudan, Abdallah Hamdok, meluncurkan sebuah rencana untuk mengatasi apa yang disebutnya sebagai krisis politik terburuk dan paling berbahaya di Sudan dalam transisi dua tahun. Dia mengumumkan serangkaian langkah untuk transisi negaranya ke demokrasi kurang dari sebulan setelah upaya kudeta mengguncang kepemimpinannya.

“Krisis politik serius yang kita alami saat ini, saya tidak akan berlebihan untuk mengatakan, adalah krisis terburuk dan paling berbahaya yang tidak hanya mengancam transisi, tetapi juga mengancam seluruh negara kita,” katanya, dilansir dari Arab News.

Hamdok juga menyinggung upaya kudeta pada 22 September lalu sebagai kerapuhan Sudan dalam menuju demokrasi. Dalam pidatonya, Perdana Menteri Abdalla Hamdok menyebut upaya kudeta sebagai lonceng alarm yang seharusnya menyadarkan orang akan penyebab tantangan politik dan ekonomi negara.

Otoritas baru, yang terdiri dari militer dan warga sipil, seharusnya memimpin negara itu menuju pemilihan umum, tetapi mereka terus menunda tenggat waktu, saat ini hingga 2023.

Baca Juga: World Bank sebut Ekonomi Sudan Mulai Membaik

3. Kepemimpinan Omar Al-Bashir

Krisis Parah, Rakyat Sudan Serukan Kudeta MiliterOmar Al-Bashir, mantan presiden Sudan yang digulingkan pada kudeta 2019. (twitter.com/Facts East Africa)

Omar Al-Bashir sebelumnya telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun di Sudan. Kepemimpinannya diperoleh pada tahun 1989 dengan cara mengkudeta pemimpin, Sadik Al-Mahidi yang terpilih secara sah.

Dia memimpin negara itu selama 30 tahun secara otoriter. Pada masa-masa gelombang protes Arab Spring, dia berhasil mempertahankan kekuasaannya hingga pada April 2019 lalu dimana dia kudeta dan akhirnya mengundurkan diri dari kursi pemerintahan.

Bersamaan dengan itu, dibentuklah pemerintahan transisi dengan Abdallah Hamdok sebagai perdana menterinya pada Agustus 2019.

Awad Ibn Auf, yang saat itu menjabat sebagai menteri pertahanan dibawah rezim Bashir mengatakan bahwa negara mengalami banyak penderitaan, manajemen yang buruk, serta korupsi dan tidak adanya keadilan.

Pada Juli 2020 lalu, Bashir dibawa ke pengadilan kota Khartoum karena dituduh melanggar konstitusi Sudan terkait dengan upaya kudetanya terhadap pemerintah yang sah pada 1989 silam.

Baca Juga: Duta Besar RI untuk Sudan Rossalis Rusman Meninggal Dunia

Zidan Patrio Photo Verified Writer Zidan Patrio

patrio.zidan@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya