Berteman dengan Kesendirian dan Kesepian

#SatuTahunPandemik COVID-19

Hal paling menakutkan adalah menerima diri sepenuhnya – Carl Jung

Aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk bercerita tentang 2020. Alasannya ada dua: terlalu banyak cerita yang bersifat personal dan terlalu dalam untuk dilihat dari permukaan. Kisah-kisah tahun itu seakan menyatu dalam satu benang merah masa lalu yang menyambung ke dalam kehidupan, membentuk pribadiku saat ini.

Terlalu banyak untuk dituangkan dalam satu tulisan, terlalu sedikit untuk bisa dipahami lewat kata-kata. Tapi setidaknya ada satu kisah yang bisa kubagi di sini: bahwa aku berubah karena satu orang dan satu momen. Bisa dikatakan momen itu begitu kuat hingga mampu membuatku kembali ke masa lalu demi melihat kembali apa yang sebenarnya terjadi selama ini.

Singkat cerita, pandemik menggoyahkan hati orang-orang dengan cara isolasinya. Kita semua yang terbiasa beraktivitas dengan bertatap muka langsung, tiba-tiba saja dihadapkan dengan situasi mengurung diri selama tiga bulan tanpa boleh berdekatan satu sama lain. Sekelebat semua merasakan nasib menjadi para hewan kebun binatang: tersingkir dari habitat alaminya, masuk dalam penjara begitu saja.

Semua orang menggila, termasuk aku. Dalam upayaku menjaga kewarasan, aku mencoba berkomunikasi dengan seseorang yang aku anggap mengerti. Dia pun mau memberi kesempatan untuk hal itu. Sayang, isolasi memunculkan sisi gelapku dan dia tidak bisa memahami hal itu. Tepatnya aku juga. Pada akhirnya, miss communication terjadi dan semuanya berpisah karena masalah tersebut.

Aku tidak pernah menyukai perpisahan dan perpisahan ini melontarkanku kepada pertanyaan: sebenarnya apa salahku hingga ini terjadi? Dalam refleksi sambil setengah menyalahkan diri, setengah menyangkal; aku mencoba mengenali diriku di masa lalu. Mulai dari bagaimana orangtuaku mendidik dan perlakuannya, bagaimana kehidupanku di sekolah, apa yang aku pilih dalam menentukan satu keputusan di masa kini; dan aku tersadar bahwa ada sesuatu yang hilang.

Bahwa aku merasa baik-baik saja, tetapi sebenarnya tidak. Bahwa aku tampak kuat, tapi sebenarnya tidak.

Di titik inilah aku belajar untuk tidak menyangkal dan menerima kembali apa yang terjadi pada yang dulu-dulu. Bahwa aku tidak pernah mencintai diriku sendiri dengan berbagai alasan di masa lalu. Bahwa aku selalu menyalahkan masa lampau untuk kejelekan dari pribadiku sekarang ini.

Seperti penyakit. Jika tidak mengetahui dan memahami penyakit apa yang diderita, maka tidak ada obat yang bisa diberikan. Itu pun sang pasien harus bisa menerima dirinya dan mau serta berani mengobati dirinya karena proses mengobati sangat menyakitkan.

Aku belajar akan hal itu dan sekarang aku paham bagaimana membuka diri jauh lebih menyakitkan daripada perpisahan itu sendiri. Tetapi setidaknya dari sini, aku akhirnya bisa melangkah ke depan dan mengambil keputusan yang terbaik untuk diriku sendiri. Setidaknya aku berakhir untuk bisa lebih menyayangi tubuhku ini lebih baik, entah itu dari segi jasmani maupun rohani.

Banyak yang bilang 2020 itu adalah tahun kegelapan, di mana segala hal buruk terjadi pada saat itu. Tetapi aku melihatnya berbeda. Aku melihat tahun itu sebagai tahun yang unik, momen di mana aku berhasil memperbaiki diriku sendiri walau ada bayaran besar yang harus dikeluarkan.

Setelah ini, saatnya menyelesaikan utang-utang yang tertinggal akibat perpisahan kemarin. Aku sudah tahu bagaimana cara mengatasinya mengingat aku sudah tahu apa sisi gelapku. Mengutip dari Carl Jung: mengetahui kegelapanmu sendiri adalah cara terbaik mengatasi kegelapan orang lain.

Ya, semua orang serupa. Semuanya menyembunyikan penyakitnya.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Pandemik dan Interaksi yang Terasa Kosong

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya