[OPINI] Reformasi Kita: Belajar Silang Pendapat yang Baik dan Benar

Beda pendapat bukan berarti kita harus saling cela satu sama lain, kan?

Menilik apa yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan dalam suatu masyarakat atau negara. Perubahan tersebut biasa terjadi dalam aspek sosial, politik atau agama.

Dari definisi di atas mari memetik satu kata, yakni perbaikan. Tentu saja hal tersebut berkonotasi positif, di mana hal-hal yang sudah rusak atau lama atau bobrok, diubah menjadi sesuatu yang lebih baru dan lebih elok dibanding keadaan yang sebelumnya.

Sudah banyak negara yang melakukan reformasi demi mencapai tatanan yang baru, meninggalkan hal-hal lama agar tidak kian tenggelam dalam ketertinggalan. Memperbaharui kondisi memang sudah menjadi insting manusia yang paling alami bahkan sejak moyang kita masih berdiam di Afrika.

Beberapa contoh ini menjadi bukti bahwa betapa menakjubkannya reformasi. Reformasi Gereja di akhir 1400-an oleh Martin Luther membongkar institusi keagamaan yang bobrok penuh skandal dan korupsi.

Reformasi Glasnost dan Prestroika di Uni Soviet membuka lebar-lebar tirai besi negara komunis itu, dan berujung pada kejatuhan pemerintahan sentralistik nan mengekang tersebut di awal dekade 1990-an.

1. Reformasi yang dicapai pada tahun 1998 membawa Indonesia kepada era keterbukaan politik dan demokrasi

[OPINI] Reformasi Kita: Belajar Silang Pendapat yang Baik dan BenarDavidelit via Wikimedia.org

Indonesia selalu menjadi acuan para sejarawan tentang sebuah negara yang beruntung mengalami reformasi. Tahun 1998 seolah menjadi tahun yang sakral. Kejatuhan rezim otoriter bernama “Orde Baru” yang dibawa oleh Soeharto membuka lebar-lebar kran perubahan sosial dan politik yang sebelumnya mampat setengah mati.

Masyarakat bisa dengan bebas mengutarakan pendapatnya di mana pun dan kapan pun, entah dari golongan mana dia, tanpa harus ketakutan mendapat label subversif khas Orba yang menyasar siapa pun. Media massa dengan leluasa memberitakan kenyataan tanpa harus ketakutan ancaman bredel.

Partai-partai dan organisasi politik tumbuh bagaikan jamur di musim hujan sebagai bentuk rasa “syukur” segenap rakyat, yang akhirnya mendapatkan hak politik secara utuh tanpa penggalan-penggalan catatan kaki.

Namun belakangan, sebagian orang berpendapat bahwa kita rakyat Indonesia dengan amat ironis membawa semangat reformasi jauh dari tempatnya harus bernaung. Pendapat tetaplah pendapat, bisa diperdebatkan secara lugas dan bebas.

2. Jargon "Enak Jamanku Toh?" sejatinya adalah bentuk romantisme, meski kebenaran di baliknya sudah menjadi rahasia umum

[OPINI] Reformasi Kita: Belajar Silang Pendapat yang Baik dan BenarJoost Evers/ Anefo via wikimedia.org

Kebebasan berserikat dan berpendapat dianggap sudah terlalu terbuka sehingga berujung pada terbentuknya anggapan bahwa reformasi sudah “kebablasan”. Mereka rupanya gundah dengan elit politik yang saling tukar menukar pernyataan, perdebatan tanpa ujung, dan situasi tidak nyaman lainnya.

Dan coba tebak, pendapat miring itu datang dari beberapa golongan tua yang merasakan banyak tahun-tahun Orde Baru. Itulah kenapa muncul jargon “Enak Jamanku, Toh?” sebagai bentuk romantisme masa lalu di mana stabilitas keamanan dan ekonomi amat dipelihara.

Tapi, itu normal saja. Reformasi dan wajah demokrasi sejati baru tersingkap selama 20 tahun, masih dini dibanding warisan 32 tahun Orde Baru yang masih bisa dirasakan hingga sekarang. Golongan tua belum terbiasa dengan kehidupan politik yang terbuka, meski iklim politik yang lama mereka alami dibangun dari teror dan berbagai tindakan represif lainnya.

Tapi tahukah kamu bahwa sejatinya demokrasi mengijinkan terciptanya diskursus alias pertemuan suara pro dan kontra untuk membahas sebuah masalah dengan panjang lebar? Ingat kata kuncinya adalah pro dan kontra, yang berarti dua kubu bertentangan bisa dengan bebas membahas satu isu pelik secara bebas tanpa ketakutan.

3. Jika situasi yang mereka maksud adalah yang tercipta dari tindakan semena-mena, sanggupkah kita mengatakan bahwa Orde Baru adalah masa yang 'enak'?

[OPINI] Reformasi Kita: Belajar Silang Pendapat yang Baik dan Benarwikimedia.org

Orde Baru melarang hal-hal semacam ini. Corong kebenaran dan klarifikasi hanya datang dari negara, sementara media massa dengan terpaksa menyebarkannya. Keamanan nasional memang terjaga, tapi itu dibangun berdasarkan ilusi yang menyakitkan.

Dan ketika kebenaran sudah terkuak, luka yang lebar amat susah sembuh sebab ilusi itu telah dianggap sebagai kenyataan. Persis seperti perkataan Joseph Goebbels, ahli propaganda Nazi-Jerman, yang mati minum racun di akhir hayatnya.

Reformasi membawa kita pada situasi yang belum kita akrabi. Demokrasi yang berlaku sebelumnya hanyalah sebuah topeng penuh bopeng dan borok. Dan ketika topeng itu lepas, sebagian orang bersikukuh enggan pergi dari bau busuk yang memenuhi udara ruangan bernama Indonesia.

Diskursus sesungguhnya melahirkan masyarakat yang kritis dalam memandang suatu masalah, tapi pandangan itu sebaiknya diiringi dengan kemampuan untuk melihat dari dua sisi yang berbeda. Kebiasaan Orde Baru melihat setiap masalah dari satu kacamata tetap terbawa oleh sebagian rakyat hingga sekarang, meski itu sudah retak dan lumutan sana-sini.

4. Silang pendapat akan percuma jika tidak diiringi usaha untuk mendengar dan terbuka

[OPINI] Reformasi Kita: Belajar Silang Pendapat yang Baik dan BenarUnsplash.com/@aquachara

Perdebatan memang wajar mengalir dalam intensitas tinggi, layaknya sebuah pertandingan sepakbola yang mempertemukan dua klub dengan riwayat rivalitas panjang. Tapi perdebatan yang sehat adalah perdebatan di mana kedua pihak saling membuka diri, saling bertukar fakta dan solusi, saling mengetahui keinginan masing-masing demi dicapainya sebuah pengertian. Intinya, jangan keras kepala!

Terdengar picisan? Memang, tapi begitulah caranya bekerja. Bayangkan sebuah perdebatan yang hanya berisi perang urat saraf, pernyataan yang memojokkan, saling lempar hal-hal yang belum pasti kebenarannya serta saling bertukar cacian. Apakah masalah akan selesai? Tidak sama sekali.

20 tahun reformasi berjalan, dan orang masih belum tahu cara membedakan mana perdebatan dan mana mencari musuh. Jelang tahun Pemilu, kita disuguhi dengan kenyataan bahwa perbedaan pendapat malah memecah kita semua. Berita-berita dan linimasa disuguhi aksi provokasi dan persekusi.

Hal yang harus digarisbawahi, benturan opini dan sikap politik harusnya bertahan di tatanan pemikiran saja. Membawa benturan ke ranah sosial demi mencari simpati hanya menambah penderitaan manusia-manusia Indonesia yang masih berjuang melawan kesenjangan.

Maka apa bedanya taktik picik tersebut dengan yang dilakukan serikat dagang penuh tipu muslihat bernama VOC?

5. Dua ratus tahun yang lalu, Voitaire sudah berbicara tentang indahnya perbedaan pendapat dalam demokrasi

[OPINI] Reformasi Kita: Belajar Silang Pendapat yang Baik dan BenarFlavorwire

Beda pendapat memang selalu terjadi. Tapi tak menghalangi kita untuk saling menghormati pilihan masing-masing dan bukannya melecehkan. Sebagai penutup tulisan ini, saya mengutip perkataan Voltaire, seorang filsuf kenamaan asal Prancis, yang menjabarkan betapa indahnya demokrasi:

Saya memang tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan mempertahankan mati-matian hak Anda untuk mengatakannya.

Achmad Hidayat Alsair Photo Verified Writer Achmad Hidayat Alsair

Separuh penulis, separuh orang-orangan sawah.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya