[OPINI] DKPP: Sekrup Kecil Pesta Demokrasi Kita

Di dunia hanya Indonesia yang menerapkan sistem ini

Sudah lima kali pemilu pasca Orde Baru digelar. Sudah sepantasnya kita bangga dengan kualitas demokrasi di Indonesia. Bahkan dibandingkan Amerika Serikat sekalipun, kualitas demokrasi Indonesia masih lebih baik.

Amerika Serikat yang sudah merdeka 242 tahun pun untuk memilih presiden masih menggunakan sistem yang sudah kita tinggalkan pasca Orde Baru. Di Amerika, menggunakan electoral college yang artinya pemilih memberikan suara untuk memilih sekelompok orang yang akan memilih Presiden.

Sistem electoral college itu serupa pemilu di Indonesia di masa Orde Baru yang memilih anggota MPR, yang nantinya memilih Presiden. Sistem yang akhirnya kita tinggalkan dan sejak pemilu 2004, Indonesia menerapkan pemilihan langsung atau one man one vote yang merupakan wujud prinsip kesetaraan.

Nah karena menerapkan sistem one man one vote tersebut maka satu suara akan sangat penting. Artinya penyelenggaraan pemilu pun harus berkualitas. Siapa yang menyelenggarakan Pemilu? Ada KPU. Siapa yang mengawasi terselenggaranya pemilu? Ada Bawaslu.

Nah lalu siapa yang mengawasi kerja KPU dan Bawaslu? Ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Di seluruh dunia, dalam penyelenggaraan pemilu hanya ada Indonesia yang menerapkan sistem memisahkan peran Bawaslu (pengawas) dan peradilan etik pemilu.

Apakah DKPP itu serupa fungsi provost di kepolisian atau di tentara? Mirip-mirip lah. Namun DKPP mengurus etik. Keputusan DKPP juga tidak mengubah hasil akhir pemilu. Peran DKPP tidak seperti Komisi Disiplin sepak bola atau race direction di MotoGP yang dalam hal tertentu mengubah hasil akhir.

DKPP ya mengadili etik penyelenggara. Saya lebih suka menyamakan DKPP serupa fungsi Dewan Pers yang menjaga marwah pilar demokrasi keempat bekerja dengan baik dan benar menjalankan fungsi kontrol.

Pelanggaran penyelenggaraan pemilu itu antara lain manipulasi suara, penyuapan, perlakuan tak adil, pelanggaran hak pilih, kerahasian suara, penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, kelalaian pada proses pemilu, intimidasi, kekerasan, pelanggaran hukum, tidak netral hingga penipuan saat pemungutan suara.

Artinya fungsi DKPP menjaga bisnis utama demokrasi yakni pemilu yang berlangsung baik. Karena pada intinya dalam negara yang menganut prinsip demokrasi, kekuasaan kekuasaan eksekutif dan legislatif tak lepas dari penyelenggaraan Pemilu.

Dengan keunikannya tersebut, DKPP kerap memutuskan hal yang mengejutkan. Salah satunya pada 8 Juni 2018, ketika DKPP memberi sanksi terhadap Ketua KPU RI Arief Budiman dan enam anggota lainnya yakni Hasyim Asy'ari, Ilham Saputra, Viryan, Evi Novida Ginting Manik, Pramono Ubaid Tantowi, dan Wahyu Setiawan.

Sanksi yang diberikan berupa sanksi peringatan atas aduan Ketua Partai Rakyat dan Partai Idaman, serta Partai Republik yang mengadukan perlakukan diskrimitif dalam proses verifikasi partai sebagai peserta Pemilu 2019.

DKPP juga pernah memberhentikan lima penyelenggara pemilu dalam sidang putusan pelanggaran etik. Dua diantaranya adalah Ketua KPU tingkat kabupaten a.l Ketua KPU Kab Raja Ampat Jamalia Tafalas, Ketua KPU Kab Lanny Jaya, anggota KPU Kab Puncak, Papua, yaitu Manase Wandik dan Penius Dewelek Onime. Bagaimana dengan Pengawas Pemilu? DKPP pernah memecat Anggota Panwas Kec Lais, Tarmizi.

Pasca Pilpres 2014 pun DKPP sampai memecat 9 penyelenggara pemilu dalam sidang putusan kode etik DKPP pada 21 Agustus 2014 yaitu Ketua KPU Kab Dogiyai Didimus Dogomo, beserta empat anggota KPU Dogiyai, yakni Yohanes Iyai, Ev Emanuel Keiya, Yulianus Agapa dan Palfianus Kegau.

Kemudian, Ketua KPU Serang A. Lutfi Nuriman dan Anggota KPU Serang Adnan Hamsih. Lalu ada dua orang dari Panitia Pengawas Pemilu Kota Banyuwangi, yaitu Rorry Desrino Purnama dan Totok Hariyanto karena terbukti melanggar kode etik dan diputuskan mendapat pemberhentian tetap

Bagaimana sepanjang 2018 yang menjadi salah satu tahun tersibuk DKPP karena penyelenggaraan PIlkada serentak? Laporan Kinerja 2018 DKPP yang dirilis di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (18/12) disebutkan sepanjang Januari hingga 1 Desember 2018 telah memutus 224 perkara yang menyangkut 946 orang status Penyelenggara Pemilu.

Dari kasus yang masuk ke persidangan tersebut tak kurang 84 anggota KPU dipecat, 15 orang diberhentikan dari jabatan ketua, 11 orang diberhentikan secara sementara. Tak kurang 348 orang dijatuhi sanksi teguran tertulis, 383 direhabilitasi.

Bagaimana Pemilu 2019? Sudah pasti tugas DKPP akan semakin berat. Dalam Laporan Kinerja 2018 tersebut di atas, sudah termasuk kasus Pemilu 2019 lho. Satu anggota KPU dicopot dari jabatan ketua, 10 diberhentikan tetap, 45 mendapat peringatan/teguran dan 58 direhabilitasi.

Sementara sebaran provinsi berdasarkan jumlah pengaduan dan sebaran provinsi berdasarkan jumlah orang (penyelenggara Pemilu) yang diperiksa DKPP, untuk kasus Pemilu 2019 adalah wilayah Aceh dengan 14 kasus, disusul Sumatra Utara (7 kasus) dan Lampung (6 kasus).

Ironisnya sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggaran seluruh pemilu di Indonesia, anggaran DKPP terhitung mini dibandingkan dua lembaga yang diawasinya. Jika pada 2018 anggaran KPU Pusat mencapai Rp12,2 triliun dan Bawaslu mendapat Rp14,2 triliun, maka DKPP hanya dijatah Rp27 miliar.

Jumlah tersebut hanya 0,4 persen dari total anggaran Bawaslu RI tahun 2018. Yah jauh lebih kecil dari anggaran KPI Pusat sejumlah Rp51 miliar yang kerap disindir hanya ngurus dada dan paha, tapi masih lumayan lah jika dibandingkan Dewan Pers yang mengurus keriuhan media massa kita ternyata cuma dijatah Rp12 miliar setahun! 

Baca Juga: [OPINI] Hikayat Kotak Kardus Pemilu 2019

Algooth Putranto Magenda Photo Writer Algooth Putranto Magenda

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya