[OPINI] Hikayat Kotak Kardus Pemilu 2019

Sejak 2003 kotak suara Pemilu sudah jadi masalah

Bangsa Indonesia memang gemar ngurus hal yang receh. Kali ini yang jadi bahasan adalah kotak suara pemilu 2019 dari bahan kardus. Netizen yang maha benar nan julid bermodal smartphone, tapi tak cukup smart untuk iqro, ribut tanpa mau tahu kenapa keputusan itu diambil.

Sayangnya, untuk mencoba memahami kenapa keputusan KPU untuk mengubah kotak suara yang awalnya berbahan aluminium menjadi berbahan kardus kita mesti mau menengok ke belakang. Hal yang berat karena pelajaran sejarah di Indonesia itu anak tiri bagi kurikulum pendidikan kita.

Nah, alkisah dimulai menjelang Pemilu 2004 yang dihiasi drama Pak Susilo Bambang Yudhoyono memilih pisah jadi capres karena merasa sebagai menteri dianiaya Bu Megawati. Saat itu, 20 Oktober 2003, tak banyak yang ingat betapa panasnya sebuah kantor Komisi Pemilihan Umum.

Senin itu, sebagian dari 29 perusahaan dan konsorsium yang mengikuti tender sengit berdebat dalam tanya jawab pasca pengumuman pemenang pra-kualifikasi tender kotak suara pemilu di KPU.

Pangkalnya, pada 2 Oktober 2003 Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Pengadaan Barang dan Jasa Indonesia (DPP ASPANJI) mengirim surat ke KPU dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), ASPANJI menilai proses pelelangan kotak suara Pemilu 2004 melanggar Undang-Undang Antimonopoli.

Selain itu, mereka yang sengit mendebat panitia tender meminta KPU agar mengubah bahan pembuatan kotak suara yaitu aluminium dengan bahan lain. Mereka juga meminta KPU tak menyerahkan proyek senilai Rp300 miliar pada satu pemenang.

Soal bahan dasar kotak suara, mereka khawatir kapasitas produksi aluminium dalam negeri tak akan mencukupi untuk memenuhi keperluan pembuatan lebih dari dua juta unit kotak suara. Apalagi, salah satu pemenang pra-kualifikasi, yakni PT Maspion produsen plat aluminium nasional justru ikut sebagai peserta tender.

Namun saat itu, Ketua Tim Pengadaan Kotak Mulyana W. Kusumah, yang pasca Pemilu 2004 masuk bui karena kasus penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, bergeming. Dia menyatakan produksi aluminium nasional dinilai memadai.

Selain itu bahan aluminium sesuai dengan SK KPU 621 yang diteken 13 Agustus 2003 tentang bahan kotak suara yang terbuat dari metal dengan tingkat korosi yang rendah. Aluminium dianggap Komisi merupakan bahan yang paling memenuhi syarat.

Persiapan pemilu 2004, memang mepet dan semarak mematik keributan. Tender baru dibuka 20 Oktober 2003, penentuan pemenang tender diumumkan pada 17 Desember 2003. Semua serba mepet karena 5 April 2004 semua kotak suara sudah harus bisa digunakan.

Singkatnya, ribut-ribut tender kotak suara berbahan aluminium untuk Pemilu 2004. Hanya satu di antara ribut-ribut yang lain, seperti penunjukan langsung PT Toyota Astra Motor sebagai pemenang pengadaan kendaraan operasional KPU senilai Rp53,073 miliar.

Pasca Pemilu 2004 yang menghasilkan sejumlah pimpinan KPU masuk bui, menjelang Pemilu 2009 yang diikuti 34 parpol, lagi-lagi urusan bahan kotak suara jadi bahasan. Kali itu, KPU melalui Peraturan KPU Nomor 27 Tahun 2008 memutuskan  bahan baku kotak suara terdiri atas tiga macam yaitu kayu atau kayu lapis, plastik, dan logam.

KPU untuk Pemilu 2009 mengalokasikan dana Rp76 miliar untuk pengadaan 613.656 kotak suara untuk menambah kotak suara berbahan aluminium bekas Pemilu 2004 sejumlah 1.814.067 buah yang masih dapat dipakai.

Mungkin karena nilai tender kotak suara Pemilu 2009 relatif kecil, maka tak semesta netizen pun tak terlalu ribut. Pemilu 2009 pun berlangsung aman, Pak SBY menggandeng Pak Boediono kembali jadi Presiden mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Keributan soal kotak suara kembali ramai pada 2014, Ketua KPU Husni Kamil Manik saat itu meneken Peraturan KPU Nomor 16 Tahun 2013 menjelaskan KPU berharap kotak suara dapat menggunakan bahan baku kardus dan plastik tebal. Salah satu alasannya, KPU tidak mau bila logistik pemilu tersebut menjadi beban di kemudian hari.

Tak banyak yang paham, KPU bermasalah dengan BPK yang tak kunjung memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian karena kotak suara dari alumunium posisinya menggantung tidak bisa dimasukan sebagai barang inventaris tetapi tidak bisa juga dihapuskan karena masuknya dalam persediaan.

Artinya, kotak suara yang telah digunakan untuk Pemilu harus dikelola oleh KPU sebagai aset. Karena aset maka tidak boleh rusak. Imbasnya pascapemilu, KPU terbebani pengelolaan dan pergudangan yang tentu saja ada biayanya.

Faktanya, KPU kerepotan menyediakan gudang penyimpanan. Akhirnya banyak bilik dan kotak suara terpaksa disimpan di luar yang tentu saja rentan rusak. Ini belum termasuk biaya logistik pengembalian kotak suara untuk daerah-daerah tertentu yang besar karena harus menggunakan transportasi udara.

Okelah, bla bla bla KPU soal bahan baku kotak suara dari kardus masuk akal. Sayangnya, keputusan KPU ngeyel dengan kotak kardus tahan air dan kuat diduduki berbanding dengan fakta kemasan di lapangan.

Untuk hal ini saya bertanya pada Hengky Wibawa, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengemasan Indonesia yang juga Henky Wibawa, Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia (IPF) yang menyebut saat ini banyak perusahaan mengganti secondary packaging dari bahan kardus untuk transportasi dengan plastik yang dipadatkan (shrink).

“Contohnya produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) hingga susu UHT hingga teh kemasan yang telah menggunakan kemasan tetrapack. Kenapa? Karena kardus ketika ditransportasikan banyak yang rusak karena kehujanan, robek, bolong sehingga dikomplain oleh distributor,” tuturnya.

Menyebut bahan kardus tahan air pun sebetulnya salah kaprah karena kardus pasti tidak tahan air. Memang benar ada kardus tahan air, salah satunya Tetrapack. Itu pun kardus yang bagian luarnya dilapisi lembaran plastik film (coated). Sementara bagian dalamnya dilapisi aluminium foil dan plastik PE.

Lalu bagaimana soal biaya? Jelas kardus lebih mahal dari plastik. Dari berat saja rata-rata berat kardus per meter sekitar 400-500 gram, sedangkan plastik untuk kekuatan dan daya angkut yang sama hanya 200-250 gram.

Okelah, jika harga kemudian jadi alasan, bisa kita lihat per kilogram kertas saat ini sekitar Rp15.000/kg, sementara harga plastik sekitar Rp17.000/kg, wah plastik lebih mahal. Tapi jika dihitung, biaya plastik per meter masih lebih murah sekitar 40 persen.

Hmm kok jadi mencurigakan ya?

Baca Juga: [OPINI] Kenapa Kita Bisa Jadi Fanatik Memahami Politik?

Algooth Putranto Magenda Photo Writer Algooth Putranto Magenda

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya