Pada Hari-Hari Macam Ini, Dunia Dilipat

#SatuTahunPandemik COVID-19

Pandemik mengubah hidup semua orang. Begitu kira-kira tema besar yang ada di hampir setiap tulisan selama setahun terakhir ini. Hampir setiap saat, judul-judul berita memuat kata ini atau bercerita tentang dampaknya.

Terlalu sering mengurus cerita orang, saya lupa pada cerita diri sendiri. Saat diminta menuliskan tentang pengalaman menjalani kehidupan saat pandemik, pikiran saya berputar-putar tak tentu arah untuk berbagai alasan. Yang pasti, hingga detik terakhir akhirnya mulai menuliskan ini, saya tidak menemukan kalimat yang layak sebagai pembuka bagi cerita macam ini.

Ruang yang dilipat. Betapa belasan tahun lalu saya menggilai konsep ini. Sejak memahaminya lewat apa yang disajikan Yasraf Amir Piliang di Dunia yang Dilipat, saya selalu memikirkan hal-hal hebat apa yang terjadi saat konsep ini menjadi realitas. Hari-hari selama pandemik ini, penuh ruang yang dilipat.

Ruang bisa dilipat, waktu bisa disingkat. Tapi tentu tidak berarti ada sisa waktu yang bisa ditabung. Semua habis dibelanjakan. Bahkan, ada hari-hari di mana saya merasa tekor, harus meminjam waktu besok untuk belanja hari ini. Saat ruang ini dilipat, waktu serasa tumpang tindih. Tidak ada batas, tidak ada koma, tidak ada titik. Waktu mengabur bagi saya..

Dulu akhir pekan jadi penanda. Setidaknya setiap satu dari dua hari di akhir pekan, saya tidak dalam status bekerja. Meski pasti masih ada urusan terkait kerja yang perlu dilakukan atau ditengok, hari-hari macam itu biasanya menjadi jeda. Waktu di mana saya bisa mengambil jarak dari isi kepala saya sendiri. Menjadi penonton atas pentas saya sendiri. Lalu, hibernasi.

Tapi, sekarang akhir pekan dan hari-hari lain dalam sepekan tidak jauh berbeda. Bergantinya pekan sering kali tanpa penanda jelas di pikiran saya. Hanya bangun dan tidur. Waktu mengabur. Detail-detail kehidupan pribadi kalah bersaing ketimbang evaluasi mingguan pekerjaan yang sudah pasti tercatat karena harus dipaparkan setiap rapat.

Apa yang terjadi dalam hidup saya sendiri, pasti juga tercatat jauh di suatu bagian dalam lobus memori, mungkin tertumpuk atau tercecer.

Selain waktu, hal lain yang saya ingat sebagai perubahan akibat ulah pandemik tentu adalah ruang. Dua sejoli. Saya yakin ini berlaku bagi semua orang. Bahkan, bagi mereka yang pekerjaannya mengharuskan tetap beraktivitas fisik di lapangan, tetap ada yang berubah atas nilai ruangnya.

Bagi saya, ini jadi pengingat betapa saya menyukai konsep bergerak dalam ruang. Berpindah dari satu titik ke titik lain. Saya rasa ini klise. Pandemik ini, semua orang rindu jalan-jalan (atau jalan-jalan dengan tenang, karena masih banyak juga yang jalan-jalan). Tapi saya memaknainya tidak hanya sekadar rindu jalan-jalan.

Saya tiba-tiba sadar betapa saya suka berkendara dengan angkutan umum dan mengamati orang lain. Saya suka waktu-waktu yang saya tempuh untuk bergerak dalam ruang karena seringkali saya menonton sesuatu selama perjalanan. Menonton sesuatu secara nyata di sekitar, ataupun sekadar menonton kilasan-kilasaan adegan dalam kepala.

Saya kehilangan hal-hal itu. Perjalanan rutin yang saya lakukan selama hari-hari di pandemik ini, tidak lebih dari 5 menit jalan kaki. Paling hanya turun ke lobi di lantai dasar, mencari ruang terbuka di mana saya bisa mengetik sambil merokok. Atau pergi ke tangga darurat, untuk alasan yang sama.

Saya dengar, cabin fever cukup jadi perhatian orang-orang di belahan bumi lain sana. Sindrom-sindrom saat kita terjebak dalam ruang. Di Eropa, orang-orang akhirnya dijamin haknya untuk memiliki jeda dari koneksi online setiap saat. Mereka bahkan bikin undang-undang untuk itu, rights to disconnect. Menjaga agar kemudahan melipat ruang dan menyingkat waktu selama pandemik ini, tidak membuat mereka gila. Ada waktu sah bagi mereka untuk mematikan perangkat koneksi sekadar menjaga waras. Dan punya kontemplasi dalam jeda.

Tentu banyak negara belum ke sana. Termasuk kita. Urusan lain yang jauh lebih penting masih menumpuk ya, vaksin dan hal-hal lain dalam penanganan virus ini diutamakan. Tentu urusan cabin fever dan menjaga kewarasan warganya dianggap sekunder atau terlampau domestik sehingga tidak perlu diurusi negara.

Kembali ke cerita tentang saya, kembali kening saya berkerut dan sulit menemukan tambahan cerita yang perlu dan ingin saya bagi. Sisanya paling hanya soal rasa-rasa iri dan ingin, yang khas manusia. Saya iri dengan kawan yang punya petak-petak teras atau tanah yang bisa ditanami tumbuhan, dihinggapi belalang, outdoor yang sah selama pandemik ini karena masih rumah sendiri. Saya harus puas dengan balkon supersempit yang cuma muat satu orang dengan sisa jemuran.

Tapi, bersyukur adalah obat. Setidaknya saya punya langit yang terpampang jelas di sini. Dari ketinggian lantai dua puluhan, pemandangan ke langit seringnya cantik. Tidak bersekat, tidak terlipat, tidak berubah sejak pandemik belum datang.

Menulis ini, saya jadi ingat untuk minum kopi sambil lihat langit pagi ini. Tidak lupa memutar Pure Saturday, "Langit Terbuka Luas, Mengapa Tidak Pikiranku, Pikiranmu". A perfect song.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya