[OPINI] Politik Area Wisata dan Tata Ruang Kawasan Bandung Utara

Kawasan wisata di Bandung mengkonversi lahan secara ekstrem

Perubahan tata guna lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU) menjadi hal krusial yang berdampak signifikan terhadap daya dukung lingkungan, khususnya Bandung dalam penyediaan air hingga bagian dari (mitigasi) bencana, seperti banjir, longsor dan pergerakan tanah sebagai bagian dari patahan Lembang. Perubahan signifikan dengan bermunculannya kawasan perumahan (elite) dan kawasan wisata yang dalam dua dekade terakhir menjadi magnet investasi (lahan dan land banking) dan magnet turisme.

Mengambil contoh, kawasan wisata dan waterboom Kampung Gajah yang menjadi pesona memikat turis domestik dan internasional dalam 10 tahun terakhir. Taman bermain dan waterboom menjadi daya pikat turisme yang dijualnya, walaupun dalam membuatnya telah mengkonversi lahan secara ekstrem.

Kawasan tersebut akhirnya tutup di akhir 2010-an tapi meninggalkan eksternalitas negatif dari perubahan lahan khususnya untuk warga sekitar dan Kawasan Bandung Utara yang sulit dikembalikan ke kondisi semula sebelum kawasan ini terbangun. Mengulang hal yang telah terjadi, di awal tahun 2020 ini muncul kawasan wisata baru bernama Wisata Great Asia Afrika yang akhirnya menuai polemik. Namun, yang jadi perhatian saya, terkait pola-pola pembangunan kawasan wisata di area KBU ini.

Pertama, terkait pola dan kebijakan tata ruang. Apakah peruntukannya sudah sesuai dengan RTRW provinsi Jabar 2009-2029 sebagai area kawasan wisata? Selain itu karena lokasi berada dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat yang juga memiliki RTRW kabupaten, maka harus sesuai peruntukan tata guna lahan dan perizinannya serta penetapan kawasan tersebut sebagai apa dan saling terintegrasi dengan RTRW provinsi, jika tidak maka ada overlap administrasi tata ruang dan itu merupakan pelanggaran tata ruang.

Di samping itu juga karena ini kawasan wisata, maka tidak cukup termaktub dalam RTRW kabupaten saja, tetapi juga dalam RDTR bahkan seharusnya masuk dalam RTBL. Selain itu juga apakah termaktub dalam RPJMD provinsi dan kabupaten yang menetapkan secara sinkron sebagai kawasan destinasi wisata?

Hal lain yang harus diperhatikan ketika pengajuan perizinan dan IMB bukan hanya untuk kepentingan investasi dan peningkatan PAD, tapi tertib tata kelola administrasi dipertaruhkan kepada publik sebagai nilai good governance, akuntabilitas dan transparansi.

Selain itu sangat penting memperhatikan dampak terhadap publik luas agar tidak menimbulkan eksternalitas negatif. Kemacetan yang muncul sebagai eksternalitas negatif yang tidak diantisipasi oleh pemerintah dan investor maka masyarakat yang harus menanggungnya. Mobilitas masyarakat terganggu akibat kemacetan yang ditimbulkan dan terdapat bahan bakar yang terbuang percuma yang harus ditanggung masyarakat, bukan oleh pemilik kawasan. Atau dampak lainnya seperti sulitnya masyarakat mendapatkan (akses) air bersih, karena eksploitasi dan air permukaan atau monopoli air pegunungan KBU yang seharusnya menjadi salah satu dasar penting dalam pembuatan-penerbitan amdal sebelum selanjutnya IMB.

Aturan pendirian bangunan di kawasan rawan bencana

Kedua, terkait kawasan bencana di mana kawasan ini berada dalam kawasan rawan bencana patahan Lembang. Jadi ketika ada upaya membangun sesuatu, infrastruktur publik maupun komersial seperti kawasan wisata ini hendaknya berpikir ulang dan melakukan studi kelayakan terhadap dampak risiko bencana dan bagaimana mitigasinya. Jika tidak sebaiknya tidak dilakukan dan pemerintah (kabupaten/kota termasuk provinsi) jangan memberikan izin karena berisiko terhadap publik sekitar maupun publik luas. Jangan hanya karena investasi tapi melakukan rekayasa alam yang bahkan sudah jelas berupa area kawasan rawan bencana.

Ketiga, terkait regulasi KBU, di mana  Pemprov  Jabar  sudah memiliki Perda Jabar No. 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian KBU. Merujuk pada perda tersebut, kawasan wisata ini area KBU yang seharusnya dilarang melakukan pembangunan kecuali mendapatkan izin rekomendasi dari Pemprov Jabar dalam hal ini Gubernur Jabar Ridwan Kamil atau gubernur sebelumnya. Karena jika gubernur memberikan izin, hal ini seperti melanggar Perda-nya sendiri.

Maka, apakah tidak melakukan cross-check dengan berbagai peraturan perundangan terkait tata ruang untuk kawasan tersebut. Apa yang terjadi terhadap kawasan wisata asia afrika sebagai contoh bagaimana sengkarutnya tata kelola lahan di kawasan KBU dan rencana tata ruang walaupun telah memiliki Perda khusus yang ketat.

Keempat, terkait perencanaan, desain arsitektur-lansekap dan konstruksi infrastruktur yang dikerjakan untuk kawasan wisata ini. Dalam zonasi wisata seperti ini, terlebih di area ketinggian, lanskap ekstrem dan rawan bencana skema pembangunan tidak bisa sembarangan harus ada ketelitian terkait perhitungan teknis infrastruktur karena akan menjadi kawasan publik, bukan asal urug lahan saja hanya demi kepentingan estetik dan magnet turisme untuk swafoto.

Lansekap yang direkayasa harus tertib peratutan terkait kawasan terbangun, seperti Garis Sempadan Bangunan (GSB), Ketinggian Bangunan (KB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Daerah Hijau (KDH). Apakah pihak pengelola kawasan wisata telah melakukannya yang diawasi, dicek, dikontrol oleh pihak instansi berwenang, dalam hal ini pemerintah selaku pemberi izin?

Ironi gubernur Jawa Barat: silent marketing

Kelima, terkait peran dan posisi Ridwan Kamil sebagai gubernur Jabar, pejabat publik karena dalam status IG-nya, RK hadir dalam pembukaan kawasan wisata Asia-Afrika ini. Sangat ironi dan kontradiksi karena RK sebagai pejabat publik hadir dalam pembukaan di mana tempat tersebut memiliki cacat prosedur hukum perizinan dan administrasi tata ruang serta melanggar peraturan yang berada dalam area kewenangannya secara wilayah dan kebijakan.

Kehadiran RK tentu berdampak luas, mulai dari sorotan media-sosial hingga seakan menjadi silent marketing yang mampu menjadi magnet antusiasme publik. Namun publik tidak tahu di balik keberadaan kawasan wisata ini yang ternyata bermasalah. RK kemudian menghapus postingan pembukaan kawasan di media sosial-nya, tapi popularitas publik telah didapatnya sebagai modal politik citra personal termasuk marketing untuk kawasan ini.

Dalam skema pembangunan, ketika PAD meningkat, investasi daerah naik,  namun apakah itu linear dengan krisis lingkungan dan krisis tata kelola pemerintahan yang terjadi termasuk trickeldown effect terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat sekitar. Jika demikian maka, untuk apa, siapa dan kepentingan apa investasi ini serta PAD yang dihasilkan? Untuk publik? Rasanya tidak mungkin, karena publik yang akan selalu mengalami eksternalitas negatif dan residu dalam skema-skema pembangunan seperti ini.

Hal yang sama juga berlaku dalam proyek lainnya yang berada dalam kawasan patahan Lembang dan area KBU lainnya, seperti  pembangunan waterboom yang juga sedang terjadi. Apakah pemerintah, gubernur Jabar, bupati akan diam saja dengan logika investasi dan pembangunan yang berisiko menyengsarakan dan mencelakakan publik seperti ini atau memang telah menjadi bagiannya.

(Penulis adalah Pengamat dan Dosen Tata Kota Institut Teknologi Bandung)

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya