[OPINI] Menolak Orde Baru dengan Mendukung Salah Satu Calon Presiden

Sebuah refleksi politik

Barisan pendukung Jokowi, alias Jokower, akhir-akhir ini kembali melontarkan peluru menolak kembalinya Orde Baru (Orba), dan Prabowo dianggap sebagai representasi Orba. Benarkah Prabowo Orba, dan Jokowi bukan?

Sebenarnya, kalau para bayi politik, yang mungkin baru melek politik pada era Jokowi, yang ngomong bahwa Prabowo representasi Orba, saya bisa memakluminya. Persoalannya adalah ketika, para mantan akitivis, yang oportunis, yang sekarang jadi barisan tim hore petahana Joko Widodo (Jokowi), menuding Prabowo sebagai representasi Orba, saya kok tidak terima.

Mereka ini (Jokower mantan aktivis ) ibarat kata pepatah, "kuman di seberang lautan tampak, sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak". Dulu pada tahun 2014, saya sempat menulis, siapa dan apa saja unsur-unsur Orba yang berada di belakang kedua capres, Jokowi dan Prabowo. Saat itu, Partai Golkar, sebagai salah satu pilar Orba, memang menjadi salah satu pendukung paslon Prabowo-Hatta. Akan tetapi, kader senior Partai Golkar, Jusuf Kalla (JK) yang juga mantan ketua umum PG, maju mendampingi Jokowi sebagai cawapres. Selain Golkar, para Jenderal purnawirawan yang juga merupakan pendukung setia kekuasaan Orba, berada di kedua belah kubu. Untuk kubu Jokowi, ada Wiranto, Luhut Panjaitan, Hendropriyono, dan lain-lain. Sementara, pada kubu lawan, ada Prabowo, yang juga mantan menantu penguasa Orba, Jenderal Besar Soeharto.

Dalam sebuah video di Youtube, yang berjudul "Pidato Mengharukan Pak Harto di Akhir Masa Jabatannya", kita bisa lihat pada menit 1, detik 54, wajah Wiranto, yang saat itu Panglima ABRI (Pangab), yang sedih, mendengarkan pidato terakhir Pak Harto. Wiranto adalah loyalis Orba, memang, ini terlihat dari kebijakan militer pasca mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Saat itu, walaupun presiden sudah berganti, dari Soeharto ke Habibie, Wiranto tetap menjabat sebagai Pangab. Tragedi semanggi I dan II, terjadi saat militer masih di bawah komando Wiranto sebagai Pangab. Para mantan aktivis, baik di kubu Jokowi maupun Prabowo, tentu ingat bagaimana brutalitas ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dalam menghadapi demonstran pada kedua peristiwa tersebut. Kalau para bayi politik pendukung Jokowi ingin lihat bagaimana Tragedi Semanggi, cari saja di youtube, dengan kata kunci "Tragedi Semanggi", akan keluar daftar video tentang itu.

Itu baru sejarah salah satu jenderal Orba di kubu Jokowi, belum lagi sejarah jenderal-jenderal Orba lainnya, yang juga secara politik mendukung Jokowi. Hendropriyono misalnya, yang namanya seringkali dikaitkan dengan salah satu kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), yaitu kasus Talangsari, atau kasus pembantaian, yang melibatkan personil ABRI terhadap Jemaah Warsidi di Talangsari, Lampung, tahun 1989. Saat itu Hendropriyono menjabat sebagai Komandan Korem Garuda Hitam di Bandar Lampung . Untuk kasus ini, bisa dilihat pada salah satu artikel dalam laman Rappler.com, yang berjudul "Jejak Hendropriyono di Kasus Talangsari" (https://www.rappler.com/, akses 9/02/2019).

Untuk diketahui oleh para bayi politik, yang mengikuti gendangan para mantan aktivis yang oportunis, yang sekarang mendukung Jokowi, Orba itu bukan hanya sekedar Prabowo atau keluarga Cendana, melainkan adalah sebuah sistem yang korup, yang dibangun oleh mereka-mereka yang terlibat dalam penggulingan Bung Karno. Secara garis besar ada tiga pilar Orde Baru, yang menopang kekuasaan Orba selama puluhan tahun. Tiga pilar tersebut adalah ABG, A untuk ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), B untuk Birokrasi yang korup, dan G untuk Golkar (Golongan Karya) atau Partai Golkar. Mereka-mereka yang berada dalam lingkaran ABG inilah yang menjadi die hard-nya Orba, dan menikmati kue kekuasaan Orba puluhan tahun lamanya.

Saat ini di manakah ABG ini berdiri? Pasca reformasi, ABRI sudah digantikan dengan TNI, yang di dalamnya tidak terdapat lagi unsur Polri. Pada era Orba, ABRI adalah tiga angkatan TNI dan Polri. Kursi gratis untuk Fraksi ABRI, sebagai salah satu konsekuensi dari Dwifungsi ABRI, sudah tidak ada lagi semenjak tahun 2004. Akan tetapi, bukan berarti TNI dan Polri tidak ikut menopang kekuasaan lagi. Pada era Jokowi, misalnya, tercatat beberapa sikap dan kebijakan politik pemerintah, yang memberi ruang bagi TNI dan Polri, untuk terlibat dalam kekuasaan. Sebagaimana disampaikan oleh pengamat militer Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, kebijakan-kebijakan, yang diambil oleh pemerintahan Jokowi, seperti pelibatan TNI dalam ketahanan Pangan, MOU TNI-Polri yang membuat TNI bisa terlibat dalam pengamanan demonstrasi, pengangkatan pejabat gubernur dari pejabat Polri aktif (Achmad Sukarno dalam https://indopos.co.id/, akses 9/02/2018). Sikap yang terkini adalah permintaan Jokowi dalam pidatonya di depan para perwira Sekolah Staf dan Komando TNI dan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri di Istana Negara, Jakarta, pada tanggal 23 Agustus 2018. Dalam pidato tersebut, Jokowi meminta agar para perwira TNI dan Polri, ikut mensosialisasikan program kerja pemerintah (Dieqy Hasbi Widhana dalam https://tirto.id/, akses 9/02/2018). Artinya, pemerintahan Jokowi, secara langsung maupun tak langsung, telah berusaha menempatkan kembali TNI dan Polri sebagai salah satu penopang kekuasaan, seperti apa yang dilakukan oleh Rezim Orba.

Bagaimana dengan Birokrasi yang korup? Dengan keberadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), birokrasi Indonesia, saat ini mungkin tak lagi sekorup pada era Orba, akan tetapi sifat korup belumlah sepenuhnya hilang dari birokrasi. Pada era Jokowi, dalam kurun waktu tahun 2016-2018, terdapat 43 kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Dari 18 orang kepala daerah yang tertangkap karena kasus korupsi tahun 2018, tercatat 7 orang dari PDIP, 5 orang dari Partai Golkar, 2 dari PAN, 1 dari Partai Perindo, 1 Partai Nasdem, dan 1 Partai Berkarya (Lia Hutasoit dalam https://www.idntimes.com/, akses 9/02/2018). PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Perindo, adalah barisan partai yang berada di kubu Jokowi. Sementara PAN (Partai Amanat Nasional), Partai Perindo (Persatuan Indonesia), dan Partai Berkarya, adalah partai-partai pendukung Prabowo Subianto.

Bagaimana, sudah jelas belum? Untuk yang terakhir, yaitu Partai Golkar, tak usah saya jelaskan lagi di mana posisinya sekarang. Walaupun dalam pilpres 2014, Partai Golkar mendukung paslon (Pasangan Calon) yang kalah yaitu Prabowo-Hatta, Golkar tetap menjadi bagian dari partai penguasa dalam pemerintahan Jokowi. Tercatat 3 menteri dari Golkar dalam kabinet, yaitu Airlangga Hartanto (Menteri Perindustrian), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Maritim), dan Agus Gumiwang Kartasasmita (Menteri Sosial), yang menggantikan Idrus Marham, yang terjerat kasus korupsi.

Kesimpulannya, sikap Jokower mantan aktivis, yang teriak-teriak bahwa Prabowo representasi Orba, sementara menutup mata terhadap unsur-unsur Orba dalam pemerintahan Jokowi, adalah suatu bentuk kemunafikan. Kalau memang mau menghadang Prabowo dengan isu Orba, harusnya kubu Jokowi berani menanggalkan semua unsur Orba dalam kubunya. Persoalannya apakah kubu Jokowi berani untuk itu? Terakhir, sekedar informasi tentang sejarah pilpres langsung di Indonesia, dari tahun 2004-2014, tak ada satupun paslon, yang didukung Partai Golkar dalam pilpres, yang berhasil menang. Entahlah tahun 2019 ini, apakah seperti yang sudah-sudah, atau tidak?

Baca Juga: [OPINI] Agar Teman Tuli Juga Bisa Menikmati Film Indonesia

Harsa Permata Photo Writer Harsa Permata

Harsa Permata lahir di Aceh Selatan, pada tanggal 30 Januari 1979. Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sempat menjadi pengajar di Sekolah Dasar dan Menengah internasional di Jakarta, pada tahun 2005-2011, salah satunya adalah Sekolah Jubilee, Jakarta. Pada tahun 2016, menjadi dosen tetap di Universitas Universal, Batam, Kepulauan Riau. Ia juga mengajar sebagai dosen tidak tetap di berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Sanata Dharma dan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya