Bukan Tren, Saatnya Buka Obrolan Serius tentang Kesehatan Mental

Bagaimana kondisi mentalmu hari ini?

Dewasa ini, masyarakat memang sudah semakin peka dengan isu kesehatan mental, terutama anak-anak muda yang memiliki akses lebih besar terhadap media sosial. Melalui tren dan konten viral, semakin banyak istilah-istilah dalam gangguan jiwa yang digunakan oleh anak muda zaman sekarang. Contohnya saja, istilah self-healing, depresi, OCD, anxiety.

Tentu ada sisi positif dari viralnya beberapa istilah tersebut, namun bagaimana jika istilah itu digunakan pada situasi yang kurang tepat? Istilah kesehatan mental yang digunakan secara suka-suka, kemudian dibungkus dalam konten yang estetis dan dramatis di media sosial dapat menciptakan kesan bahwa memiliki gangguan jiwa itu indah.

Kita memang tidak boleh memandang sebelah mata orang-orang yang memiliki masalah kejiwaan. Perjalanan seseorang yang mampu menghadapi depresinya dan moving on menuju versi dirinya yang lebih baik itu memang keren.

Tapi, ketahuilah juga cerita keterpurukan dan penderitaan mereka ketika masih terkurung dalam jerat depresi itu. Ada banyak sekali kenyataan pahit yang ada dalam perjalanan seseorang dalam menghadapi masalah kejiwaan yang dimilikinya dan masyarakat kita harus paham soal ini.

Meromantisasi istilah-istilah dalam gangguan jiwa justru merupakan sinyal bahwa sebenarnya masyarakat kita masih belum siap untuk membicarakan masalah ini secara lebih serius. Karenanya, mereka bersembunyi di balik tren, konten viral, candaan, atau meme untuk mengindari konfrontasi langsung dengan kenyataan dari kondisi kesehatan mental mereka.

Hal ini menyebabkan orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan orang-orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) kurang ditanggapi secara serius oleh masyarakat, sehingga menyulitkan mereka untuk mendapatkan pertolongan dan penanganan yang tepat.

Secara tidak langsung, ini juga akan memperparah stigma tentang kesehatan mental di Indonesia yang memang sudah buruk sejak awal. Padahal masalah kesehatan mental ini sudah semakin genting dan berdampak pada produktivitas generasi muda.

Berdasarkan keterangan dari Psikiater Dr. dr. Hervita Diatri, Sp.KJ pada laman resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, untuk masalah bunuh diri saja, survei menyatakan  bahwa dua dari lima orang memikirkan untuk mengakhiri hidup pada satu tahun pasca pandemi.

Sedangkan pada awal tahun 2022, sekitar satu dari dua orang memikirkan untuk mengakhiri hidupnya. Berdasarkan sistem registrasi sampel yang dilakukan oleh Badan Litbangkes pada tahun 2016, jumlah data bunuh diri per tahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada lima orang yang melakukan bunuh diri, serta 47,7 persen korban bunuh diri adalah pada usia 10 sampai 39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Menurut survei yang dilakukan oleh UNICEF dan Gallup di 21 negara pada paruh pertama tahun 2021, hampir satu dari tiga anak muda di Indonesia (29 persen) dilaporkan sering merasa tertekan atau memiliki sedikit minat dalam melakukan sesuatu.

Penanganan kesehatan mental tanpa merombak stigma masyarakatnya itu percuma

Masyarakat tidak pernah merasa ragu untuk mengatakan bahwa diri mereka memiliki penyakit lambung,  diabetes, atau anemia. Orang-orang tidak merasa takut untuk menolak minuman manis yang ditawarkan temannya karena takut gula darahnya naik.

Namun, berapa banyak orang yang jujur dan berani menolak undangan temannya karena kondisi mentalnya sedang buruk? Orang-orang tidak merasa ragu mengatakan bahwa dirinya memiliki penyakit darah tinggi karena menurun dari ibunya.

Namun, berapa banyak orang yang berani mengatakan bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa karena menurun dari ibunya juga?

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, lebih dari 12 juta penduduk berusia 15-24 tahun mengalami depresi. Namun, hanya 9 persen dari seluruh penderita depresi di Indonesia yang menjalani pengobatan medis.

Stigma yang masih mendarah daging dalam masyarakat ini dapat memengaruhi motivasi seseorang untuk menjangkau layanan kesehatan secara optimal. Anggap saja seperti ini, seseorang yang berada dalam keluarga yang sangat percaya pada takhayul, tetangga yang masih suka membenci, dan lingkungan pertemanan yang hobinya cuma bersyukur dan memberi semangat belaka, bukankah akan lebih sulit baginya untuk terbuka soal kondisi mentalnya? Apalagi harus mengaku bahwa dirinya merasa ingin bunuh diri dan perlu berobat ke rumah sakit jiwa, misalnya. Lebih susah lagi bukan?

Stigma ini menyebabkan kebanyakan orang merasa tidak perlu dan tidak berani membagikan kondisi mental mereka. Kenyatannya, baik penyakit jantung maupun depresi misalnya, keduanya merupakan penyakit yang disebabkan karena organ kita yang sedang bermasalah dan tidak bisa berfungsi secara normal.

Ketika kita mengalami depresi, artinya ada sesuatu dalam otak kita yang bermasalah dan perlu diobati. Sebenarnya fakta ini tidak sesulit itu untuk dipahami oleh masyarakat. World Health Organization (WHO) sendiri mendefinisikan sehat sebagai keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat. Untuk menjadi sehat, kondisi fisik dan mental tidak boleh dipisahkan.

Sebagian besar masyarakat juga masih percaya bahwa gangguan kesehatan jiwa disebabkan oleh alasan yang tidak rasional sehingga mereka lebih memilih bentuk penanganan non medis sesuai kepercayaan mereka sendiri.

Sebuah survei yang dilakukan oleh komunitas pencegahan bunuh diri remaja di Indonesia (Into The Light) pada tahun 2021 menghasilkan bahwa dari 5.211 partisipan, 66 persen partisipan menganggap bahwa mereka terbiasa menyelesaikan masalah kesehatan mental mereka sendiri.

Mereka lebih memilih membaca kitab suci dan berdoa (69 persen) dan berbagi cerita dengan keluarga (64 persen) tanpa perlu mengakses layanan kesehatan. Data Riskesdas tahun 2018 menyatakan adanya peningkatan dalam proporsi rumah tangga yang pernah melakukan pemasungan pada penderita skizofrenia/psikosis di Indonesia dari 14 persen pada tahun 2013 menjadi 31,5 persen pada tahun 2018. Bahkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah kasus pemasungan di pedesaan dan di perkotaan.

Waktunya mencari pendekatan yang paling cocok untuk mengatasi stigma

Sebuah survei yang dilakukan oleh komunitas pencegahan bunuh diri remaja di Indonesia (Into The Light) pada tahun 2021 menghasilkan bahwa dari 5.211 partisipan, tidak ada partisipan yang dapat menjawab secara benar seluruh pertanyaan tentang fakta bunuh diri.

Tiga dari lima partisipan bahkan tidak tahu jika ada layanan kesehatan mental di wilayah domisilinya. Ini menandakan kurangnya pengetahuan masyarakat soal kesehatan mental dan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang sudah disediakan oleh pemerintah.

Masalah kurangnya pemberian edukasi kepada masyarakat ini memang masih perlu diperhatikan. Hal-hal seperti penyebutan orang yang memiliki gangguan jiwa dan penggunaan istilah-istilahnya yang tepat merupakan langkah paling sederhana yang bisa digemakan.

Gangguan jiwa sepatutnya tidak digunakan untuk mendefinisikan identitas seseorang. Pernyataan seperti, "Dia depresi" atau "Orang itu gila" perlu diubah menjadi "Dia mengalami depresi" atau "Orang itu memiliki gangguan jiwa".

Selanjutnya, berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Graham Thornicroft dari King's College London dan rekannya, kurangnya pengetahuan tidak selalu berhubungan dengan terbentuknya suatu stigma. Ada tiga elemen terpisah yang mendasari stigma, yakni kurangnya pengetahuan (ketidakpedulian atau ignorance), sikap yang negatif (prasangka), dan perilaku yang merugikan terhadap orang lain (diskriminasi).

Menurutnya, pemberian edukasi pada masyarakat dan tenaga profesional memang dapat mengubah pengetahuan dan keyakinan mengenai isu kesehatan mental. Sayangnya, usaha ini tidak mampu untuk mempengaruhi sikap dan perilaku mereka, sehingga diperlukan pendekatan yang lebih ampuh untuk memberikan perubahan secara signifikan dalam masyarakat kita ini.

Industri hiburan dunia saat ini sudah banyak yang mengangkat isu kesehatan mental. Ada banyak judul film dan seri drama internasional bertema kesehatan mental yang bisa diakses secara mudah, semakin banyak musisi dunia yang menuliskan lirik mengenai kesehatan mental pada lagu mereka, dan beberapa figur publik terkenal mulai terbuka soal gangguan mental yang mereka miliki.

Bukankah pendekatan seperti ini cocok dibudidayakan di Indonesia? Mengingat anak muda zaman sekarang sangat akrab dengan dunia hiburan seperti itu. Langkah yang kentara seperti memberikan edukasi melalui media yang akrab dengan masyarakat, mempermudah akses kepada fasilitas layanan kesehatan jiwa, dan menambah tenaga profesional yang mampu menangani kesehatan mental sudah pasti diperlukan.

Namun, industri pertelevisian yang mampu menayangkan tontonan edukatif, naskah-naskah film atau drama yang berani mengangkat isu kesehatan mental, serta industri musik yang mau menuliskan kerentanan mental mereka dalam lirik lagunya, tampaknya bisa menjadi pendekatan yang kreatif dalam membangun kedekatan dan interaksi masyarakat dengan berbagai isu kesehatan mental di Indonesia.

Isu kesehatan mental dalam forum KTT G-20 tahun 2022 di Indonesia

Topik kesehatan mental akan dibawa ke dalam Presidensi G-20, forum kerja sama 20 ekonomi utama dunia di mana Indonesia menjadi tuan rumahnya. G-20 adalah forum internasional yang bertujuan pada koordinasi kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan.

Periode presidensi Indonesia ini berlangsung selama satu tahun. Puncak kegiatannya merupakan KTT G-20 Bali yang dijadwalkan pada 15-16 November 2022 mendatang. Ada tiga sektor prioritas yang menjadi kunci dalam forum tersebut, yakni penguatan arsitektur kesehatan global, transformasi digital dan ekonomi, serta transisi energi berkelanjutan.

Sebagai Presidensi G-20, Indonesia mengusung semangat pulih bersama dengan tema “Recover Together, Recover Stronger”. Harapannya forum ini akan mampu menjadi wadah bagi 1000 Aspirasi Indonesia Muda yang salah satu isu pentingnya adalah kesehatan mental ini.

Pendekatan yang paling efektif untuk mengatasi isu-isu kesehatan mental perlu dikembangkan sehingga orang-orang dengan masalah kejiwaan tidak lagi menutup mulut mereka atau menyembunyikan kondisi mental mereka dalam lingkungan masyarakat.

Setiap orang berhak memiliki kesempatan untuk melakukan aktivitas sehari-hari secara bebas tanpa bayang-bayang stigma yang dapat mengekang mereka. Kutipan dari Bill Clinton ini menjadi kesimpulan yang pas, "Mental illness is nothing to be ashamed of, but stigma and bias shame us all.”

L. Ain Photo Writer L. Ain

Hanya ingin mencurahkan isi pikiran.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ananda Zaura
  • Cynthia Kirana Dewi

Berita Terkini Lainnya