Harga BBM Naik: Bukti Inkonsistensi Rezim Jokowi

Kenaikan BBM bisa saja masuk akal, jika Jokowi tidak...

Pada Juli lalu, Presiden Joko "Jokowi" Widodo sempat menjamin tidak ada kenaikan harga BBM subsidi hingga akhir tahun. Jaminan yang pada akhirnya dibatalkan pada Sabtu, 3 September 2022 karena keadaan yang sulit.

Apa yang salah dengan BBM subsidi naik? Bukankah perhitungannya jelas, mengingat beban subsidi dan kompensasi tetap membengkak di atas Rp502,4 triliun. Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa hal itu adalah pilihan terakhir yang dapat dilakukan pemerintah. Negara lain juga menaikkan harga subsidi BBM. Bukankah ini fenomena global karena dampak perang Rusia–Ukraina?

Tentu pemerintah melakukan kalkulasi yang tidak sembarang dan telah berupaya melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Oleh karena itu, presiden melakukan penyesuaian dengan mengalihkan sebagian subsidi BBM pada bantuan lain yang lebih tepat sasaran.

Begitu kiranya narasi yang muncul menyusul pemberitaan kenaikan BBM. Rakyat diminta untuk menerima segala pertimbangan dan usaha terbaik yang sudah dilakukan pemerintah, namun tantangan global terlalu berat untuk dihadapi. Tentu saja hal itu masuk akal, seandainya tidak ada kalimat susulan presiden serta jaminan yang dia berikan sebelumnya.

Dalam pengumumannya, Presiden mengatakan, "...dan lagi lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi."

Keterangan tersebut tidak cukup berguna sebagai rasionalisasi karena rasio kepemilikan mobil pribadi diatur oleh pemerintah. Selain itu, sejak awal pemerintah memiliki segala kewenangan untuk memastikan subsidi BBM dapat diatur secara efektif. Menyalahkan fakta tersebut justu malah mengakui ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan tata kelola. Dengan kata lain, kalimat tersebut justru membatalkan kalimat selanjutnya, di mana presiden mengatakan bahwa, “ini (kenaikan subsidi BBM) adalah pilihan terakhir pemerintah”.

Dengan demikian, selain dampak kesulitan yang dihadapi oleh rakyat karena harga-harga akan naik, persoalan utama justru adalah komunikasi politik dari pemerintah. Rakyat bukan tidak mengerti persoalan global yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia, akan tetapi kepercayaan atas institusi politik semakin memudar. Kepercayaan tersebut tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengerahkan buzzer atau penggiringan opini.

Tentu saja fakta adalah penting, tetapi kepercayaan publik juga dibangun berdasarkan kepemimpinan dan komunikasi politik. Fakta bahwa presiden akan mengalihkan subsidi BBM agar lebih tepat sasaran menjadi kurang memiliki makna. Hal itu karena masalah komunikasi politik juga terjadi dalam sejumlah kebijakan lainnya, di mana kalimat presiden direvisi oleh dirinya sendiri atau bahkan berbeda dengan menterinya. Rakyat sering kali dipertontonkan ketidaktegasan, inkonsistensi, dan harapan atau janji yang tidak terealisasi. 

Bahkan buzzer politik sekali pun kesulitan untuk melakukan pembelaan atas kebijakan yang berubah-ubah. Bagaimana pun, penyataan kepala negara termasuk dalam kategori kebijakan dan tidak mungkin dirinya menyampaikan hoaks dengan menjamin tidak adanya kenaikan BBM subsidi. Di sisi lain, hal itu justru menunjukkan bahwa dirinya gagal dalam memimpin dan mengelola pemerintahannya. 

Penulis merupakan dosen ilmu politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Baca Juga: Jokowi Beri Bantalan Kenaikan BBM, Pedagang: Gak Bikin Tidur Nyenyak

Luthfi Hasanal Bolqiah Photo Writer Luthfi Hasanal Bolqiah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya