[OPINI] Trump, Kim Jong Un dan sensasionalisme

Ada apa dengan tren sensasionalisme pemimpin dunia?

Tingkah laku para pemimpin dunia mengundang pertanyaan publik: apa yang mendorong mereka mencari cara-cara sensasional untuk berkomunikasi satu sama lain? Adakah hal ini terbatas pada karakter pemimpin tertentu saja, seperti katakan Donald Trump, yang merupakan seorang milyarder eksentrik juga? Atau adakah peran media-media baru terutama media sosial yang mendorong perilaku sensasional ini?

Dari tren melakukan selfie antara sesama pemimpin dunia hingga kebiasaan Donald Trump yang menjalankan "diplomasi twitter", hadirnya media sosial sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan publik, menjadi hal yang sangat menarik bagi mereka yang ingin menjangkau massa dengan lebih instan dan lebih mudah.

Hari Selasa (12/6/2018) menjadi bersejarah: untuk pertama kalinya seorang presiden Amerika Serikat yang berkuasa bertemu di Pulau Sentosa dengan pemimpin rezim Korea Utara setelah pecah Perang Korea di awal 1950an, yang secara teknis masih berlangsung antara kedua negara terpecah di semenanjung Korea itu.

Meskipun para pemimpin kedua negara Korea telah bertemu beberapa waktu lalu dan saling berjanji mengakhiri konflik, akan tetapi proses itu masih terus berjalan, dan acara puncak yang merupakan pembahasan pertemuan Trump dan Jong Un di awal rangkaian acara barulah suatu awal daripada akhir, apabila hasil pembahasan mereka berlangsung lancar.

Sebetulnya kalau kita telaah lebih dalam lagi, keduanya telah menggunakan akses kepada opini publik yang cepat dan langsung dengan kesepatakan bertemu ini. Masih segar dalam ingatan di awal bulan Juni, bahwa para petinggi AS mengumumkan kemungkinan batalnya acara setelah sebelumnya gencar menggembar-gemborkan acara (Bahkan di AS telah diterbitkan semacam medalion sebagai peringatan atas peristiwa berseharah ini).

Namun, jelang beberapa hari saja, dengan retorika yang dimuat terbuka, maka acara urung dibatalkan dan kini berada dalam persiapan akhirnya saja.

Menurut sebuah analisa kantor berita AS, Kim Jong Un membutuhkan validasi dirinya sebagai seorang pemimpin besar yang berbobot dan bisa berinteraksi dengan pemimpin dunia lainnya sekelas macam Trump, Xi Jinping dan lainnya.

Sedangkan Trump masih terus dengan gayanya haus akan pembuktian dan melakukan deal-deal besar yang menjadi ciri khasnya ketika masih bekerja penuh sebagai seorang konglomerat real estate.

Sensasionalisme jadwal acara dan batal hingga dijadwalkannya ulang acara sudah tentu jadi pertimbangan mereka yang punya kepentingan terbesar besok. Begitu pula pemberitaannya sehingga menjadi seteru atau pemicu di belahan dunia lain, yang meskipun tidak terdampak langsung tetapi pasti akan suffering sejumlah setback karenanya.

Terlepas adanya unsur kesengajaan atau tidak dalam sensasi yang terbentuk oleh opini media, kemudian tersebarkan kepada rakyat kita, tetap saja kita bertanggung jawab saling menjaga dan memahami setiap sikon berbeda-beda.

Kita warga dunia, hanya bisa mengharapkan kedua pemimpin sensasionalis itu dapat mengedepankan akal sehat dan kepentingan perdamaian dunia di atas ego dan kebesaran nama masing-masing.

Pertemuan Donald Trump dan Kim Jong Un adalah kesempatan emas mengharumkan nama masing-masing bukan dengan retorika dan ancaman. Melainkan dengan niat tulus (Setulus yang dilakukan oleh profil karakter mereka) untuk tercapainya perdamaian yang konkrit di semenanjung Korea, dan diharapkan persatuan kembali wilayah tersebut.

Mario Photo Writer Mario

An islander passionate about future technology and business.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya