Pandemik dan Interaksi yang Terasa Kosong

#SatuTahunPandemik COVID-19

Awal tahun 2020 berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebagai seorang reporter, saya dituntut  menyajikan liputan-liputan yang segar di wilayah Sumatra Selatan. Saya baru bergabung dengan IDN Times kurang lebih delapan bulan saat awal tahun 2020 berjalan. Beberapa rencana liputan awal tahun berjalan layaknya tahun tanpa masalah.

Ketika kasus COVID-19 mulai jadi pembahasan di awal tahun, beberapa orang masih berguyon, menganggap kasus tersebut tidak akan masuk ke Indonesia. Padahal banyak ahli memperingatkan virus itu akan cepat masuk dari aktivitas perjalanan. Ketika diumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020 oleh pemerintah pusat, saya pun mulai was-was akankah virus ini masuk lebih cepat ke bumi Sriwijaya. Entahlah, dulu juga berpikir virus tidak akan menyebar secepat yang dibayangkan.

Hingga tiga pekan kasus COVID-19 diumumkan, kedatangan virus tersebut belum juga terdeteksi di Palembang. Hanya desas-desus. Ada yang kembali dari luar daerah, lalu sakit terus dirawat karena memiliki gejala yang sama dengan keluhan pasien COVID-19.

Rapat pemerintah daerah mulai melihat virus sebagai ancaman serius. Pola jaga jarak mulai dilakukan, menggunakan masker mulai disosialisasikan meski belum ada kasus konfirmasi di sini. Saya ingat sebelum kasus positif ditemukan, Pemprov Sumsel telah membentuk satgas sambil meraba-raba di mana virus ini berada. Sebab saya pikir mereka terlalu santai di awal pandemik.

Liputan masih berjalan seperti biasa, bertemu teman-teman reporter lain, nongkrong sampai malam sesudah liputan. Penggunaan masker belum sepenuhnya diterapkan. Meski pemberitaan kasus COVID-19 mulai mengerikan. Saya dan teman-teman lain masih santai menanggapinya sambil menunggu kapankah pemprov akan mengumumkan kasus pertama.

Saya ingat waktu kunjungan Mendagri ke Palembang berapa hari sebelum kasus konfirmasi positif diumumkan, beliau tidak percaya belum ada kasus konfirmasi di tanah kelahirannya. Hal itu layak diaminkan karena aktivitas ke luar masuk di Palembang saat itu sangat padat.

Saya ingat, saat baru bangun tidur Senin, 23 Maret 2020, membuka telepon genggam mulai banyak pesan berantai yang menyatakan dua kasus awal COVID-19 telah memakan korban. Dua orang warga, Palembang dan Prabumulih meninggal dunia usai dirawat di ruang isolasi RS Mohammad Hoesain Palembang. Namun tidak ada yang bisa membenarkan kasus tersebut. Keduanya lantas hanya disebut pasien dalam pengawasan (PDP) karena hasil swabnya belum keluar.

Barulah sehari setelahnya gubernur mengumumkan kasus pertama. Lambatnya proses hasil swab terganjal kualitas laboratorium di Palembang yang belum memadai saat itu. Palembang juga ternyata harus menampung hasil swab dari empat daerah di Sumbagsel, begitu banyak penumpukan.

Hari berjalan kembali, kasus COVID-19 terus bertambah tak ada pilihan selain melindungi diri dan keluarga. Saat kantor memutuskan menerapkan kebijakan Work From Home (WFH), jujur sebagian hati saya senang, sebagian lagi kesepian. Kerja dari rumah mungkin jadi hal baru, namun tidak bertemu orang-orang juga jadi masalah. Bosan jadi makanan yang tidak terbantahkan.

Perubahan pola kerja harus dilakukan. Jika sebelumnya kita dapat bertemu orang-orang baru, maka semenjak pandemik kita ketemu narasumber baru walau belum pernah bertemu tatap muka. Tidak ada tongkrongan hingga larut malam lagi. Dulu sempat berpikir sampai kapan kita harus menjaga diri dengan membatasi pertemuan. Toh aktivitas di luar rumah juga terbatas. Untungnya COVID-19 lebih merekatkan hubungan antarkeluarga di rumah.

Namun rasa was-was masih membayangi. Bisa saja saya kena. Saat awal pandemik saya sempat demam selama tiga hari. Begitu mengerikan memikirkan apakah saya jadi pasien selanjutnya. Untungnya, setelah itu sehat, makan pun tambah lahap. Ternyata memang saya kelelahan saja.

Saya merasakan perubahan pola hidup, bekerja setelah pandemik. Beberapa instansi tempat saya sering liputan seperti pengadilan mulai membatasi jumlah kunjungan. Terdakwa tidak pernah lagi ditampilkan layaknya pesakitan yang melaju di lorong-lorong penghakiman. Ada perubahan jelas dalam peliputan di pengadilan, kita tidak bisa membaca raut wajah terdakwa saat vonis diberikan. Apakah dia kecewa dengan hukuman, apakah dia senang, tidak ada yang tahu. Sekarang interaksi terasa kosong. Hakim layaknya robot yang memberikan hukuman lewat layar penghubung.

Hal yang menyedihkan dari pandemik ini, banyak orang terdampak. Berapa banyak usaha yang gulung tikar, orang kehilangan pekerjaan, dan masalah hidup lain. Kondisi ini patut saya syukuri dapat bertahan di tengah kondisi yang memprihatinkan.

Tidak terasa hampir satu tahun hidup di tengah pandemik tidak ada perayaan hari besar agama, berkumpul keluarga besar hanya dilewati melalui layar telepon genggam. Tak ada perayaan malam tahun baru, meski kembang api masih bersautan di luar. Hidup terus berjalan, pandemik akan usai jadi harapan semua orang.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: Setahun Pandemik: Kawal Orangtua adalah Jalan Ninjaku

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya