[OPINI] Kemenangan Partai Hijau dan Dampak Hubungan Bilateral Swiss-RI

Swiss merupakan negara yang menganut demokrasi langsung

Swiss, IDN Times - Bulan Agustus 2019 lalu menjadi momen historis bagi Partai Hijau atau yang lebih dikenal dengan Swiss Green Party. Pemilihan umum yang telah berlangsung di Swiss pada tanggal 20 Oktober 2019 memberikan kejutan signifikan, yang bahkan gagal diprediksi para pengamat politik setempat.

Pada pemilihan umum tersebut, Partai Hijau berhasil memperoleh peningkatan suara pemilih yang drastis, sehingga lonjakan suara tersebut disebut media lokal sebagai "tsunami di Parlemen Swiss". Hal ini menandakan betapa besar dan signifikan suara yang berhasil diperoleh Partai Hijau Swiss.

Hasil ini pun mengguncang susunan partai tradisional Swiss yang dalam beberapa dekade terakhir didominasi empat partai utama yaitu; Partai Rakyat Swiss, Partai Demokrat Sosial, Partai Liberal dan Partai Demokrat Kristen.

Memang secara historis, konstelasi dan kehidupan politik Swiss lebih mengutamakan stabilitas dan keseimbangan kekuasaan antar partai yang sudah ada, sehingga pemilihan umum yang berlangsung selama empat tahun sekali tersebut, jarang atau hampir tidak pernah menghasilkan perubahan konstelasi partai yang besar.

Bisa dikatakan sistem politik di Swiss juga tergolong "unik" apabila kita bandingkan dengan negara-negara demokrasi lainnya. Swiss menamakan dirinya sebagai negara yang menganut sistem "Demokrasi Langsung", di mana setiap masyarakat Swiss berhak menentang suatu keputusan Pemerintah atau Parlemen dan menyelenggarakan referendum apabila didukung jumlah masyarakat yang cukup.

Selain itu, sebagai contoh, Swiss memiliki Presiden yang setiap tahun berganti, dan Parlemen Swiss yang menentukan susunan anggota kabinet yang terdiri dari tujuh menteri yang kemudian akan menjadi "Pemerintah". Sistem ini telah berhasil menyokong stabilitas politik di Swiss, dan memang Parlemen Swiss tidak mengenal adanya partai oposisi ataupun partai pendukung Pemerintah, karena semua keputusan didasarkan atas konsensus bersama.

Green Wave Melanda Negara-negara Eropa, Tidak Terkecuali Swiss

Perubahan iklim yang saat ini telah dirasakan dampaknya oleh negara-negara Eropa, termasuk Swiss, memang telah menjadi perhatian utama masyarakat setempat. Bahkan bisa dikatakan bahwa Swiss, sebagai negara pegunungan, merasakan dampak yang lebih besar dibandingkan negara-negara Eropa lainnya, dengan melelehnya berbagai glaciers atau gunung es yang terdapat di berbagai wilayahnya.

Tidak hanya di daerah pegunungan, perubahan juga dirasakan di berbagai kota, di mana terdapat anomali cuaca dan musim yang sudah tidak seperti sebelumnya. Misalnya saat ini di kota Bern, di mana Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) berada, salju tidak kunjung turun meskipun bulan sudah hampir memasuki Februari.

Sebelum pemilihan umum berlangsung, masyarakat Swiss juga telah melakukan demonstrasi cukup besar di depan Parlemen Swiss, yang dihadiri berbagai kalangan mulai dari kaum millennials, hingga yang sudah berusia lanjut. Demonstrasi yang banyak disebut oleh kalangan pengamat sebagai "Greta effect" ini menuntut agar Pemerintah berbuat lebih banyak lagi untuk mengatasi dan memitigasi dampak dari perubahan iklim.

Berbagai dampak dan efek dari perubahan iklim ini yang tampaknya ada di benak masyarakat Swiss dan sangat menentukan sikap masyarakat terhadap isu lingkungan. Hal ini yang membawa Partai Hijau berhasil mendapatkan lonjakan suara yang signifikan.

Konstelasi Parlemen Swiss dan Hubungan dengan Indonesia

Walaupun Partai Hijau telah berhasil mendapatkan kursi yang signifikan di Parlemen Swiss, namun Partai ini tidak berhasil mendapatkan anggota yang duduk dalam kabinet atau yang dikenal dengan tujuh anggota Federal Councillor (Menteri). Meskipun demikian, lonjakan perolehan suara yang diraih Partai Hijau pada pemilu bulan Oktober 2019 telah membuat susunan dan komposisi Parlemen Swiss sedikit berhaluan ke “kiri”.

Mengingat sistem politik Swiss mengedepankan konsensus, berbagai pembahasan di Parlemen selama empat tahun ke depan diperkirakan tidak akan terlepas dari isu utama yang diusung Partai Hijau yaitu isu lingkungan hidup, perubahan iklim, dan sustainability, baik dalam konteks nasional Swiss maupun kebijakan luar negerinya.

Menjadi pertanyaan penting bagi kita, apakah hubungan bilateral Swiss dan Indonesia akan terimbas dampak dari perubahan konstelasi di Parlemen Swiss ini? Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Swiss melihat potensi pasar yang begitu besar di Indonesia. Saat ini Parlemen Swiss telah selesai meratifikasi perjanjian Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA).

Dengan perjanjian tersebut, 98 persen dari tarif line akan dikurangi, sehingga hilangnya trade barriers tersebut diharapkan akan mendukung dan meningkatkan kemudahan berbisnis antar Indonesia dan negara-negara EFTA, di mana Swiss menjadi anggota. Sementara itu, Parlemen Indonesia sampai hari ini masih dalam proses meratifikasi perjanjian tersebut.

Meskipun telah disetujui, pembahasan perjanjian IE-CEPA di Parlemen Swiss sempat melalui perdebatan yang panjang, dikarenakan adanya isu kelapa sawit yang dianggap tidak sustainable dan persepsi bahwa kelapa sawit merupakan biang masalah deforestasi, di samping isu lainnya di mana sawit berpotensi mengancam para petani lokal rapeseed dan sunflower oil jika dapat masuk ke pasar Swiss dalam jumlah yang besar.

Perhatian masyarakat Swiss yang tinggi terhadap isu lingkungan dan sustainability juga dapat menyudutkan berbagai perjanjian yang terdapat isu lingkungan di dalamnya. Sebagai contoh, saat ini terdapat resistensi yang kuat dari masyarakat Swiss terhadap perjanjian perdagangan bebas EFTA-Mercosur (Persatuan Negara-Negara Amerika Selatan) yang sedang dalam proses negosiasi.

Dengan sistem demokrasi langsung yang dianutnya, suatu kelompok masyarakat tertentu bisa saja dapat menginisiasi referendum nasional untuk menolak perjanjian IE-CEPA jika dipandang tidak sesuai dengan prinsip dan keyakinan yang dianut masyarakat Swiss. Tentu kita berharap hal tersebut tidak terjadi.

Tampaknya, Indonesia perlu membangun narasi yang solid dan kuat untuk melawan berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada kelapa sawit. Sinergi antar berbagai Kementerian dan Lembaga diperlukan, dan Perwakilan RI wajib memberikan sosialisasi terhadap masyarakat setempat perihal kelapa sawit di Indonesia.

KBRI Bern sendiri telah bekerja sama dengan salah satu Universitas terkemuka Swiss, yaitu ETH Zurich, dalam upaya untuk memberikan gambaran yang lebih holistik terkait permasalahan dan isu-isu yang dihadapi oleh kelapa sawit, termasuk pemberdayaan para petani lokal. Hal ini diharapkan dapat memberikan persepsi kepada masyarakat Swiss yang lebih berimbang dan faktual terkait dengan isu kelapa sawit Indonesia.

Kita juga patut melihat bahwa lonjakan perolehan suara yang diperoleh Partai Hijau ini dapat memberikan berbagai peluang kerja sama antara Swiss dan Indonesia, terlebih Indonesia merupakan salah satu negara prioritas utama bagi Swiss. Berbagai hal terkait isu lingkungan dan sustainablity dapat kita pelajari dari negara ini, mulai dari isu renewable energy, dan hal-hal lainnya yang tentunya harus sejalan dan selaras dengan prioritas kebijakan Pemerintah RI.

World Economic Forum dan Potensi Sustainable Economy Indonesia

Perhelatan World Economic Forum (WEF) ke-50, yang baru saja berakhir di Davos mengusung tema "Stakeholders for a Cohesive and Sustainable World". Tampaknya WEF pun menyadari bahwa perhatian utama masyarakat internasional saat ini adalah terkait isu sustainability dan perubahan iklim. Panita WEF mengundang aktivis muda Greta Thunberg sebagai salah satu pembicara utamanya agar forum tersebut dapat dipandang tetap relevan dengan kondisi zaman saat ini.

Indonesia pun mengirimkan Delegasi yang cukup banyak ke Davos. Enam menteri utama di bidang perekonomian hadir di Davos untuk menunjukkan kesiapan dan keseriusan Pemerintah RI dalam menerima investasi, dan peralihan perekonomian Indonesia menuju green atau sustainable economy. Kebetulan sekali, tema WEF yang mengusung isu sustainability ini patut kita refleksikan dalam kondisi perekonomian nasional Indonesia.

Jika kita telaah lebih lanjut, potensi sustainable economy di Indonesia sangat besar dan investasi di bidang sustainable project juga dapat bervariasi. Ambil contoh soal nikel. Sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia dapat saja menarik investasi soal nikel yang sustainable, misalnya dengan pembuatan baterai untuk mobil-mobil listrik. Dalam hal ini, nikel yang kita produksi pun telah mendapatkan value added dari proses downstream, dan kita turut mendukung proses peralihan dari energi karbon menuju energi listrik untuk kendaraan-kendaraan.

Atau kita mengambil contoh lain yaitu soal kelapa sawit. Kita dapat membalikkan perspektif bahwa kelapa sawit menyebabkan deforestasi dengan menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Indonesia juga menyerap karbon dan turut membantu sebagai paru-paru bumi.

Adanya kajian ilmiah tentu akan membantu Pemerintah RI dalam membangun counter-narasi terhadap kampanye hitam yang ditujukan kepada kelapa sawit. Selain itu, produk kelapa sawit yang kita hasilkan juga kita gunakan sebagai bahan pengganti crude and refined oil, dengan kebijakan biodiesel yang turut menciptakan pengurangan emisi kendaraan agar semakin sustainable dalam jangka panjang.

Tentu, untuk menarik investasi-investasi tersebut diperlukan aturan dan regulasi di dalam negeri yang mendukung, sehingga menjadi harapan kita bersama agar Omnibus Law yang saat ini sedang dibahas di Parlemen dapat segera disetujui.

Bergesernya perhatian masyarakat internasional, termasuk perkembangan domestik politik di Swiss, serta tema WEF tahun 2020 kepada isu-isu terkait sustainable development dan lingkungan hidup tampaknya perlu kita renungkan dan refleksikan bersama.

Besar harapan kita agar Indonesia dapat segera merespons perkembangan-perkembangan dimaksud melalui upaya pengembangan ekosistem dan paradigma nasional yang terpadu untuk hal-hal yang terkait dengan isu sustainability, sehingga pada akhirnya kita dapat mengambil berbagai peluang yang ada untuk kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

(Penulis adalah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Swiss dan Liechtenstein)

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya