Self-care Tak Pernah Tak Penting, Khususnya di Masa Pandemik COVID-19

#SatuTahunPandemik COVID-19

Desember 2019, aku ingat membaca berita tentang kasus pneumonia misterius di Tiongkok. Pada waktu itu aku tidak berpikir kasus tersebut akan seperti sekarang. Aku hanya ingat menugaskan penulis untuk menulis tentang kasus tersebut, dan selanjutnya hari berjalan seperti biasanya, hingga akhirnya 31 Desember kasus tersebut dilaporkan ke WHO hingga berkembang sampai sekarang ini.

Beberapa minggu setelah dua kasus pertama diumumkan di Indonesia, karena beberapa alasan aku dievakuasi ke Australia dan tinggal di sana selama tiga bulan lebih. Di sana aku cukup kaget, karena tidak ada orang yang pakai masker sama sekali. Aku yang waktu itu pakai masker saat beraktivitas di luar malah dipandang aneh. Bahkan, saat masuk ke toko daging, aku dicurigai sakit oleh penjualnya. Agak lucu, mengingat di Indonesia dari sebelum pandemik berlangsung pakai masker adalah hal biasa, sementara di sana masker dianggap cuma dipakai untuk orang-orang yang sakit.

Aku kagum dengan penanganan COVID-19 di Negeri Kanguru, setidaknya sewaktu aku berada di sana. Tiap state melakukan tracing dengan baik dan masyarakat patuh dengan aturan lockdown pada waktu itu. Bahkan, tes PCR di sana gratis, termasuk aku yang bukan warga negara sana. Sempat tanya ke nakes di rumah sakit tempat aku melakukan tes PCR, bahwa siapa pun boleh datang beberapa kali dalam seminggu untuk tes bila mau, dan tidak dikenakan biaya sepeser pun. Prosedurnya cuma datang, tes, pulang. Aku cuma harus memberikan data diri dan nomor telepon untuk pemberitahuan hasil tes.

Sesampainya kembali di Tanah Air, rasanya seperti dihadapkan dengan “perang” yang sesungguhnya. Bandara Soekarno-Hatta waktu itu ramai sesak karena penumpang yang baru mendarat harus antre cek administrasi, didudukkan di ruangan tanpa adanya jarak fisik yang jelas, semua ribut baik penumpang maupun petugas. Ke luar dari bandara, jalanan masih ramai seperti biasanya. Rasanya seperti tidak ada pandemik---semua berjalan seperti hari-hari biasanya. Ke luar tol dan mulai menyusuri jalan besar, banyak orang yang masih bersenda gurau di warung atau parkiran minimarket tanpa masker.

Nyatanya, orang yang sembrono dan tidak patuh dengan protokol kesehatan bukan cuma orang-orang yang kulihat di jalanan yang tidak kukenal, tetapi juga orang-orang terdekatku sendiri. Aku sudah kehilangan dua orang terdekat karena COVID-19, dan itulah salah satu alasan kenapa aku sangat ketat dengan protokol kesehatan, selain beberapa faktor risiko yang membuatku rentan.

Beberapa teman menganggapku berlebihan, hingga tanpa sadar inner circle yang aku punya semakin mengecil. Dampaknya makin terasa saat tinggal sendirian, bahkan bisa bikin terpuruk. Di sinilah aku makin sadar bahwa self-care tidak pernah tidak penting, apalagi pada masa pandemik. Karena, siapa lagi yang peduli akan kesehatan fisik dan mental kita kalau bukan diri sendiri?

Sebagai editor Health, tentu aku banyak menulis dan menyunting beragam artikel kesehatan, termasuk tips menjaga kesehatan fisik dan mental. Orang mungkin sepintas berpikir, “wah, kalau ngedit kesehatan pasti hidupnya sehat, dong?” Ini gak asing di telinga. Orang lupa bahwa setiap orang punya permasalahannya masing-masing, fisik maupun mental. Misalnya ada penyakit kronis, terdiagnosis gangguan kecemasan, duka, konflik keluarga, dan sebagainya. Orang pun sering lupa bahwa ketahanan tiap orang bisa berbeda-beda.

“Everyone is fighting their own battles that you likely do not know about, so be nice to each other” adalah kalimat yang terus-menerus aku ucapkan di kepala setiap hari.

Sudah hampir bulan ketiga tahun 2021, kondisi pandemik di Indonesia, meski angka kasus ada penurunan dan program vaksinasi sudah berjalan, tetap saja buatku masih memprihatinkan. Belum lagi ancaman banjir dan hal lain. Setiap harinya aku masih surviving day-to-day live. Namun, aku memang belajar banyak hal tentang kesehatan mental baik lewat membaca maupun sesi dengan terapis, yang mungkin juga bisa berguna untuk yang membaca tulisan ini.

Pertama, ganti dan adaptasi coping mechanism bila perlu. Tidak semua anjuran nasihat atau tips menjaga kesehatan mental seperti: “lakukan yoga”, “olahraga rutin”, “berjemur”, “doa”, “lakukan hobi”, atau “bersyukur” bisa bekerja pada setiap orang, karena kondisi setiap orang tidak sama. Lakukan berbagai cara atau eksperimen seputar self-care yang bisa membuat kita merasa lebih baik.

Kedua, tidak apa-apa terdistraksi atau melakukan “pelarian”, misalnya nonton maraton serial atau film berjam-jam, tetapi pastikan kita juga tahu cara memproses emosi yang negatif supaya bisa semangat lagi.

Ketiga, ciptakan hal-hal yang kita tunggu setiap harinya. Misalnya, beli camilan favorit yang khusus dimakan bila sudah selesai kerja sebagai treat, menyelesaikan buku bacaan, melanjutkan permainan puzzle, rutinitas skincare-an, “menyicil” nonton film atau serial yang sudah masuk ke “daftar nonton”, masak resep baru, pasang aromaterapi, main dengan hewan peliharaan, membersihkan sepatu yang sudah lama tidak dipakai, decluttering, dan masih banyak lagi. Sepele, tapi bisa bantu usir stres yang bukan tidak mungkin datang setiap hari.

Keempat, batasi media sosial atau bila perlu mute orang-orang yang bisa memicu emosi negatif. Misalnya, orang-orang yang suka mengunggah foto sedang berkumpul beramai-ramai tanpa pakai masker, aktivitas berlibur tanpa mengindahkan protokol kesehatan, dan sebagainya. Pada satu titik, unggahan seperti itu membuat orang-orang yang selama ini patuh protokol kesehatan jadi berpikir bahwa aktivitas tersebut tampak normal, bikin tergoda untuk melakukan hal yang sama.

Terakhir, lakukan hal satu per satu dan jangan terlalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada minggu atau bulan depan. Fokuslah dengan apa yang terjadi saat ini. Ini salah satu praktik mindfulness sederhana.

Itu tadi cuma tips yang aku pelajari dan berhasil buat diri sendiri. Mungkin ampuh untuk orang lain, mungkin juga tidak. Aku yakin semua orang punya cara untuk self-care dan coping mechanism masing-masing sesuai kondisinya, walaupun pada beberapa orang ini adalah perjalanan panjang.

Semoga pandemi COVID-19 segera berakhir, dan jangan lupa untuk terus berbuat baik dengan sesama.

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: 5 Tahapanku Berjibaku dengan Pandemik COVID-19

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya