Kopi Dunia, Kopi Kolombia dan Kopi Indonesia

Dua negara ini sama-sama penghasil kopi

Tanggal 1 Oktober yang lalu negara-negara di dunia memperingati hari kopi dunia. Sudah selayaknya memang ada hari kopi dunia karena ternyata kopi merupakan minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia setelah air putih. Belum lagi, industri kopi melibatkan 25 juta keluarga petani di 66 negara produsen.

Bicara soal kopi, ingatan kita tertuju pada negara-negara penghasil utama kopi di dunia, seperti Brasil, Vietnam, Kolombia, dan negeri kita, Indonesia. Namun demikian Kolombia memiliki pamor kopi yang sangat melegenda, sebagaimana kopi luwak Indonesia yang melegenda di seluruh dunia. Kenapa demikian?

Lezatnya kopi sebenarnya lebih ditentukan dua hal yaitu aroma (fragrance) dan rasa, yaitu asam atau pahit, bergantung dari jenis kopi dan wilayah asal. Kopi robusta biasanya menghasilkan rasa pahit dan sedikit aroma, sedangkan kopi arabika menghasilkan aroma lebih harum dan kuat dengan rasa cenderung asam.

Meskipun kopi aslinya berasal dari Afrika dan baru masuk ke Kolombia pada pertengahan abad ke-18, namun Kolombia identik dengan produk kopi. Tersebar di 60 persen daratan dan terkonsentrasi di empat wilayah aksis kopi atau eje cafetero yaitu Cauca, Santander, Huila dan Antioquia, Kolombia memproduksi seratus persen kopi arabika karena memiliki tanah dan iklim yang sangat cocok untuk kopi arabika. Di Kolombia, kopi ditanam  di ketinggian 1.200–1.800 meter di atas permukaan laut, suhu udara 17-23 derajat celcius dan curah hujan mendekati 2.000 mm per tahun. Kondisi alam ini mampu menghasilkan kopi berkualitas tinggi dengan aroma khas fruital maupun floral dan rasa yang unik dibanding kopi lain.

Selain alam yang menumbuhkan kopi berkualitas, terdapat dua hal penting yang dilakukan oleh Kolombia, yaitu pertama, terbentuknya Federasi Nasional Petani Kopi Kolombia (FNPKK) sejak 1927, sebuah organisasi nirlaba yang memiliki tiga tugas pokok yaitu:

  • Menjamin pembelian kopi dari petani kopi melalui koperasi-koperasi mereka dengan harga pasar yang dihitung secara transparan, dibayar kontan, dilakukan setiap hari di tempat terdekat dari perkebunan petani;
  • Bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi memperkenalkan teknologi baru yang lebih kompetitif dan berkelanjutan, dan;
  • Mempromosikan konsumsi kopi baik secara nasional maupun internasional.

Baca Juga: Dubes Priyo: Kolombia Negara yang Aman, Jangan Ragu Datang

Kopi Dunia, Kopi Kolombia dan Kopi IndonesiaDuta Besar Priyo Iswanto mendampingi Menteri petanian RI Amran Sulaiman saat bertemu Bill Clinton dan Juan Manuel pada World Coffee Producers Forum pada 11 Juli 2017 di Kolombia (Dok. Kedubes Kolombia)

Keberadaan FNPKK ini telah membangkitkan gairah petani kopi, menjamin harga, dan menumbuhkan budaya minum kopi secara nasional, serta mempromosikan kopi Kolombia secara internasional. Upaya ini diperkuat dengan branding cafe de colombia, yang merupakan ‘seal’ bagi setiap produk kopi Kolombia dengan gambar petani kopi mengenakan poncho (baju hangat khas) dan sombrero vueltiao (topi) khas Kolombia, untuk menjamin produk kopi 100 persen berasal dari Kolombia.

Yang kedua, mempertahankan kultur memanen kopi secara tradisional untuk mempertahankan kualitas. Sementara banyak negara penghasil kopi memanen kopi dengan teknologi permesinan, petani Kolombia memanen kopi secara tradisional dipetik dengan tangan untuk menjaga keutuhan biji hijau kopi sehingga dapat mempertahankan aroma khas kopi dari masing-masing daerah. Setelah rintisan hampir seratus tahun, kopi Kolombia akhirnya menjadi produk unggulan ekspor dan menjadi produk insignia bagi negeri tersebut.

Ekosistem dari mata rantai industri kopi yang sudah baik dan mapan, mulai dari penanaman hingga penyajian secangkir kopi di atas meja telah menjadikan kuatnya kultur minum kopi di Kolombia. Masyarakat Kolombia meminum kopi mulai dari pagi sampai petang hari. Meski terdapat berbagai macam cara penyajian kopi seperti cappuccino, macchiato, frape, kopi susu, dan lain-lain, mereka tetap mengutamakan seduhan kopi khas mereka ‘tinto’, yaitu seduhan kopi sebagaimana yang dilakukan nenek moyang kita minum kopi tubruk (instan) tetapi dengan cara disaring.

Kopi tinto dapat ditemukan di berbagai tempat, mulai dari warung sederhana sampai di kafe dan restoran berbintang. Bahkan di banyak tempat, kopi tinto disediakan gratis sebagaimana kita temui di warung-warung di Indonesia saat menghidangkan teh pahit secara gratis.

Kultur minum kopi ini mendapatkan nilai tambah karena masyarakat Kolombia dengan bangga menemani minum kopi dengan makanan camilan khas mereka, seperti patacon (pisang mentah digoreng kering), arepa (dari tepung jagung dibakar), pandebono (tepung singkong dan keju), bunuelo (dari tepung jagung dan keju digoreng). Dengan kopi, industri kuliner lokal juga berkembang.

Kopi Dunia, Kopi Kolombia dan Kopi Indonesia(Duta Besar Indonesia untuk Kolombia, Priyo Iswanto) IDN Times/Uni Lubis

Kopi kita tak kalah dengan kopi Kolombia dan bisa juga dikenal mendunia karena kita telah memiliki kopi luwak yang melegenda dan juga berbagai produk kopi yang telah dikenal dunia seperti kopi Java, Gayo, Bali, Toraja, dan Papua.

Untuk menjadi sama-sama terkenal mendunia tidak harus berkompetisi tetapi bisa juga saling melengkapi atau komplementer karena produksi kopi yang berbeda. Indonesia lebih banyak memproduksi robusta yang membawa rasa pahit tapi aroma kurang kuat, sedangkan kopi Kolombia berjenis arabika dengan rasa asam tetapi beraroma lebih harum dan khas.

Produk akhir dari hasil saling melengkapi ini saya lihat di sebuah laboratotium peracikan kopi (blending) di Italia milik pengusaha dinasti kopi dan mantan Konsul Kehormatan Republik Indonesia, almarhum Vincenzo Sandalj, di Trieste, di mana insinyur kopi meracik formula khusus pesanan beberapa perusahaan kopi terkenal di negeri itu.

Di laboratorium itu saya melihat sendiri bagaimana secangkir kopi merek tertentu yang terkenal itu ternyata terbuat dari campuran kopi dari berbagai negara, sekurangnya empat atau lima produk kopi berbeda dari negara yang berbeda seperti Indonesia (dari berbagai daerah asal), Vietnam, Zimbabwe,  Costa Rica, dan salah satu kopi dari kawasan Amerika Latin. Di laboratorium itu pula saya mendapat pelajaran coffee testing bagaimana cara merasakan setiap formula dari tiap-tiap secangkir kopi espresso yang rata-rata terbuat dari 14 gram bubuk kopi.

Dari laboratorium tersebut, produk akhir kopi harusi bisa memenuhi selera konsumen yang pada dasarnya menyukai kopi dengan rasa lebih pahit atau sedikit asam (mild acid), tetapi dengan aroma khas. Dengan semakin meningkatnya jumlah konsumen baik di dalam negeri maupun dunia dan promosi kopi yang semakin gencar dengan berbagai khasiat bagi peminumnya, kopi tetap akan menjadi salah satu minuman yang sangat diminati.

Mengambil lesson learned dari Kolombia, tanpa mengabaikan berbagai inovasi penyajian kopi, kita bisa membiasakan minum kopi secara tradisional dengan menyertakan camilan khas tradisional nusantara. Dan, yang lebih penting dari semuanya, bagaimana menjadikan petani kopi sejahtera dan konsumen lebih mengapresiasi karena secangkir kopi di atas meja ternyata memerlukan proses yang cukup panjang.

(Penulis adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk Kolombia dan tulisan di atas pendapat pribadi)

Baca Juga: 7 Tekstur Kopi Bubuk dan Cara Menyeduhnya, Pencinta Kopi Wajib Tahu!

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya