Perang Hibrida: Strategi yang Semakin Populer di Era Kontemporer 

Istilah ini sebenarnya tidak sepenuhnya baru

Istilah perang hibrida atau hybrid warfare mungkin masih asing di telinga sebagian orang. Istilah ini sebenarnya tidak sepenuhnya baru, banyak ahli berpendapat bahwa gagasan ini telah ada sejak perang itu sendiri lahir. Perang hibrida merupakan gagasan peperangan yang memadukan interaksi antara penggunaan senjata tradisional, pengaruh ekonomi dan politik, perang dunia maya, serta kekuatan diplomasi. Gagasan perang hibrida pertama kali usulkan oleh Frank Hoffman dari Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat. Meski belum ada definisi yang disepakati secara universal, namun kombinasi strategi antara taktik perang konvensional dan non-konvensional melalui teknologi informasi dan perang politik dapat digaris bawahi.

Pada tahun 2019, menteri pertahanan Australia, Linda Reynolds, dalam pidatonya di Konferensi Australian Starategic Policy Institute mengatakan:

“Yang jelas sekarang, adalah bahwa karakter perang sedang berubah, dengan lebih banyak pilihan untuk mengejar tujuan strategis tepat di bawah ambang batas konflik bersenjata tradisional – yang oleh beberapa ahli disebut sebagai taktik zona abu-abu atau perang hibrida.”

Pidato Senator Reynolds menekankan bahwa ancaman strategi perang saat ini telah berkembang dan menciptakan banyak pilihan taktik untuk mengejar kepentingan. Taktik perang hibrida dibangun di atas strategi militer yang selama ini sering digunakan dala perang konevnsional. Teknologi informasi menjadi bidang yang rentan dieksploitasi dalam strategi perang ini.

Perang hibrida membawa sesuatu yang mendorong adanya pengembangan kebijakan dan strategi perang di era kontemporer. Konsep ini juga tentunya memberikan kesadaran terkait semakin berkembangnya tantangan pertahanan dan keamanan baik di level nasional, regional, maupun internasional. Taktik yang digunakan dalam perang hibrida dapat mencapai tujuan kepentingan tanpa memicu konflik fisik antar negara. Penyusunan strategi perang melalui propaganda internet, penyusupan komunikasi internal, dan strategi psikologis membuat konflik beroperasi di dalam zona abu-abu. Perselisihan di zona abu-abu tidak secara jelas melewati ambang perang, sehingga konflik yang terjadi memunculkan ambiguitas dalam aturan hukum internasional dan hukum peperangan yang ada.

Munculnya perang hibrida menjadi bukti pesatnya perkembangan sarana perang kontemporer. Besarnya biaya dan risiko yang harus ditanggung dalam perang konvensional membuat banyak negara beralih mengembangkan strategi perang hibrida. Namun demikian, peralihan perang di masa kontemporer bukan berarti tensi konflik yang ada menjadi berkurang. Perang hibrida hanya mengubah dinamika perang yang ada menjadi lebih kompleks, sementara sifat konfliknya tetap sama.

Di kawasan Eropa, penggunaan taktik serangan hibrida sering kali dapat dikenali dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Rusia. Aneksasi wilayah Krimea pada 2014 lalu merupakan salah satu contoh penggunaan taktik serangan hibrida yang dilakukan Rusia. Ketangkasan intelijen dan penyusunan strategi perang yang sangat halus membuat kampanye aneksasi Krimea berhasil dilakukan sebelum dunia internasional selesai mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Selama proses aneksasi, Rusia menekankan pada operasi informasi seperti peretasan masif dan bertubi-tubi, serta penyebaran kampanye disinformasi yang aktif. Kamuflase pasukan darat juga dikerahkan dengan cara beroperasi tanpa lencana, sehingga tidak dikenali sebagai pasukan militer Rusia. Selanjutnya, pemanfaatkan pasukan separatis dilakukan untuk menambah kekuatan dengan cara diarahkan dan diakomodasi untuk bergerilya di bawah satu jaringan komando.

Di kawasan Indo-Pasifik, Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army – PLA) Tiongkok juga mengadopsi strategi hibrida untuk melancarkan kepentingannya. Tiongkok mengerahkan pasukan nelayannya untuk berlayar mengelilingi pulau-pulau terluar Taiwan sehingga memberikan kesan seperti milisi militer. Strategi ini dilakukan untuk menghalangi akses angkatan laut Taiwan saat periode ketegangan politik tahun 1990-an. Tiongkok berhasil mendapat keunggulan strategis tanpa harus menggunakan kekuatan militer secara terang-terangan, yang mana lebih berisiko memunculkan reaksi yang lebih besar dari dunia internasional. Strategi yang sama juga dilakukan Tiongkok saat bersitegang dengan Jepang di Kepulauan Senkaku pada tahun 2012, dan baru-baru ini di Scarborough Shoal, Filipina.

Indonesia juga sering kali mendapat ancaman hibrida yang berasal dari serangan siber. Perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat membuat kedaulatan negara semakin rentan terancam. Sebuah perusahaan keamanan siber bernama Kaspersky merilis data yang menunjukkan bahwa terdapat sembilan juta kasus serang siber yang ditargetkan kepada pengguna internet di Indonesia pada kuartal I tahun 2021. Data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga menyebutkan bahwa kejahatan siber di Indonesia telah menyebabkan kerugian sebesar USD 34,2 miliar. Peretas bernama Bjorka juga belakangan ini sedang hangat diperbincangkan karena menjual sederet data milik perusahaan dan lembaga negara di situs Breachforums. Jumlah yang cukup besar dan sudah seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera membenahi keamanan siber negara.

Penggunaan tindakan perang hibrida di masa damai memunculkan akibat ancaman jangka panjang bagi keamanan dan stabilitas regional. Efek yang diberikan pun tak kalah besarnya dibandingkan perang konvensional, tak heran saat ini banyak negara yang turut mempelajari strategi ini untuk mengembangkan kemampuan pertahanan dan keamanannya. Rusia, Tiongkok, Korea Utara, dan Amerika Serikat sejauh ini terpantau serius dalam mengambangkan strategi perang hibrida. Selain keseriusan dalam pengembangan kekuatan militer, teknologi informasi memainkan poin vokal di dalam langkah-langkah strategi ketiga negara tersebut. Strategi perang hibrida memiliki posibilitas yang lebih efektif daripada strategi perang konvensional. Posibilitas tersebut menimbang dari pentingnya peran teknologi informasi bagi seluruh lapisan masyarakat di era kontemporer, juga cakupan dimensinya yang sangat luas dengan risiko yang cenderung lebih rendah.

Baca Juga: Perang Ukraina: Turki Blokir Selat dari Kapal Perang Rusia

Tresnaningsih Suwignyo Photo Writer Tresnaningsih Suwignyo

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya