Pandemik, Kecemasan, dan Pelajaran Hidup Paling Berharga

#SatuTahunPandemik COVID-19

Sejujurnya, menulis catatan harian di kala pandemik gak pernah menjadi kegiatan yang menyenangkan. Rasanya seperti dipaksa untuk bersikap jujur dengan perasaan dan situasi yang kita hadapi. Harus mengubahnya jadi tulisan yang akan abadi pula.
Setiap hari kita dirundung berita buruk bagai banjir bandang. Pekerjaanku di satu sisi mengharuskanku menulis sesuatu dengan nada yang positif, bahwa ‘ini’ masih ada hal yang bisa buat kamu tersenyum pagi ini. ‘Ini’ ada sesuatu yang sekiranya bisa kamu jadikan panutan dan inspirasi.

Terkadang aku takut apa yang aku tulis terkesan tone deaf. Jadi, aku selalu pastikan membaca artikel yang kubuat berkali-kali, sampai aku merasa tulisan ini aman dan gak akan menyakiti hati orang lain. Aku juga selalu berharap semoga tulisan-tulisanku setidak-tidaknya bisa jadi pelipur lara bagi siapa pun yang membacanya.

Selang setahun sejak pengumuman case pertama COVID-19 di Indonesia, aku selalu berupaya mematuhi protokol kesehatan apa pun yang ada. Aku jarang sekali ke luar rumah, rajin membersihkan badan, dan tentunya pakai masker.

Cemas berkali-kali lipat

Rasa cemas tersebut bertambah berkali-kali lipat, setiap aku lihat ada penambahan angka korban. Sedih banget sih menyadari bahwa angka yang diumumkan itu pernah punya jiwa dan raga yang sama sepertiku. Pernah jadi kesayangan orang lain. Dan, pernah jadi memori indah ataupun buruk bagi orang terdekatnya.

Karena kekhawatiran yang menumpuk itu, seringnya aku berpikir bahwa orang lain juga merasakan hal yang sama denganku. Walau asumsi itu dipatahkan juga berkali-kali saat melihat masih ada yang kurang patuh atau gak menganggap pandemik ini seserius itu. Tapi, ya sudahlah hahaha. Ekspektasi dan harapanku coba kuturunkan pelan-pelan, yang penting orang terdekatku tetap aman, nyaman, dan hidup dengan tenang.

Terus, mungkin karena aku jadi sadar bahwa hidup ini cuma sementara dan kematian bisa datang kapan saja. Aku jadi lebih berani untuk ambil risiko dan mencoba hal apa pun yang aku inginkan. Gak lagi overthinking dan mencoba menghadirkan hasil yang sempurna.
Aku belajar memasak dan membuat kue, berlatih menggambar dengan berbagai medium seni, melanjutkan menulis blog, mengasah skill makeup-ku, sampai main TikTok. Selain itu, aku juga menata rumah, dari mulai dapur, kamar mandi, juga kamar tidurku.

Jadi saksi sejarah

Selain ceritaku yang sebenarnya begitu-begitu saja dan kurang seru, ada banyak kisah menarik lainnya yang dibagikan oleh orang sekitarku. Hatiku menghangat tiap kali mendengar cerita ada yang mulai membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya.

Mulai dari menikah, pindah rumah, melanjutkan hobby lama, sampai beralih ke profesi baru. Selain itu, gak sedikit juga yang secara kreatif berjualan. Menghasilkan pundi-pundi uang tambahan dari hobi yang mereka punya ataupun peluang besar yang ada.

Walaupun, kalau kupikirkan ulang hal itu juga salah satu bagian dari tuntutan hidup yang harus dipenuhi sih. Namun, sifat agile itu tetap kukagumi. Untuk bisa bertahan dan punya hati yang kuat di tengah-tengah situasi ini sudah jadi sesuatu yang patut diapresiasi. Dua jempol tangan dan dua jempol kaki juga gak cukup.

Mungkin ada satu kesadaran bersama bahwa hidup cuma sementara dan sebaiknya gak dihabiskan dengan sia-sia. Dan, hal itu jadi pelajaran paling berharga yang aku bisa terima sebagai saksi sejarah dari peristiwa pandemik COVID-19. Itu adalah hal-hal yang membuat hatiku tetap utuh di tengah situasi yang sulit ini. Semoga kita semua tetap kuat meski segala hal rasanya masih gak pasti, dan diakhiri dengan tanda “koma” bukan “titik” seperti seharusnya. Stay safe, healthy, and happy!

#SatuTahunPandemik adalah refleksi dari personel IDN Times soal satu tahun virus corona menghantam kehidupan di Indonesia. Baca semua opini mereka di sini.

Baca Juga: [LINIMASA-5] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya