[OPINI] Mengapa Kampanye Hitam Masih Digunakan di Pilpres?

Semua berakar dari kebodohan dan fanatisme

Tertangkapnya tiga orang perempuan (Engqay Sugiarti, Ika Peranika, dan Citra Widianingsih) yang diduga pendukung calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, di Karawang Jawa Barat, menguatkan dugaan bahwa masih ada orang-orang yang menggunakan hoaks untuk menjatuhkan lawannya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Narasi pernikahan sejenis, kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan permusuhan terhadap umat Islam, tidak akan mungkin digaungkan pasangan calon tertentu di pilpres ini. Berseberangan dengan umat Islam di Indonesia, ibarat bunuh diri yang akan mematikan karir politisi.

Semua politisi memiliki kepentingan yang sama dalam pertarungan memperebutkan suara rakyat. Segala sesuatu yang bertentangan dengan pandangan pemilih mayoritas, akan dihindari sedemikian rupa. Mengapa? Karena dari pemilih mayoritas itulah politisi mendapatkan mandat sebagai pejabat negara.

Jika ada yang berani dengan lantang mengakui ingin membangkitkan gerakan PKI, mendukung pernikahan sesama jenis, dan memberangus praktik ibadah umat Islam di Indonesia, maka itu bukan politisi yang taktis dan realistis. Pun demikian, tidak ada keuntungan yang mereka dapatkan selain permusuhan yang muncul dari kelompok mayoritas.

Lalu, apa tujuan sesungguhnya? Isu tersebut sengaja diproduksi oleh pihak tertentu untuk menggerus suara lawannya. Mereka sadar bahwa informasi yang disebarkannya tidak memiliki bukti-bukti kuat yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Pada titik ini, penyebaran hoaks dilakukan secara masif dan terstruktur. Ada pihak tertentu yang menggerakkan dan mendanai pelakunya. Tiga perempuan yang rela keliling dari satu rumah ke rumah lainnya, membuktikan pandangan tersebut. Tidak mungkin mereka bekerja tanpa ada yang mendanainya. Mengandalkan militansi dukungan pada pasangan calon tertentu, tanpa disertai dukungan finansial yang memadai, sungguh hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang di negeri ini. Setiap langkah yang mereka ambil, secara material sejatinya sudah disertai perhitungan untung dan rugi. “Keyakinan” terhadap calon tertentu yang memberanikannya menggerakkan pemilih agar aktif mengampanyekan jagoannya, tanpa diimbangi dengan iming-iming uang, hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki idealisme dan keimanan politik yang teguh.   

Di sisi lain, hoaks dipelihara dan digunakan karena pelakunya tidak memiliki informasi pembanding. Jika ini yang menjadi landasannya, maka bisa dimaknai bahwa yang bersangkutan tidak selektif memilah dan memilih informasi. Dapat dipahami pula, kebanyakan pendukung capres dan cawapres, mengambil informasi dari orang-orang yang sepemikiran dengannya. Lalu menolak semua argumentasi dan pandangan yang berseberangan dengan keyakinannya.

Daya tolak terhadap informasi yang diproduksi oleh orang-orang yang berseberangan dengannya tidak hanya menutup peluang munculnya perbandingan dan klarifikasi. Tetapi lebih penting dari itu, muncul “pemutlakan” terhadap informasi awal yang diterima dari orang-orang yang sepemikiran dengannya.

Akibat lebih lanjut dari sikap demikian adalah pembenaran atas segala sesuatu yang dilakukan pasangan calon yang didukungnya. Kesalahan serta kebenaran pada capres dan cawapres yang didukung tidak lagi penting. Jargon “kita selalu benar dan mereka selalu salah” dan “selalu ada alasan untuk membenarkan apapun yang dilakukan capres dan cawapres yang kita dukung” akan selalu mewarnai serta mempengaruhi naluri pribadinya.

Pada sikap demikian, akan sulit bagi kita menggeser dan meluruskan pandangannya. Meski kita menjejalinya dengan beragam fakta empirik, tidak berarti yang bersangkutan mengubah pandangannya. Akar dari “keyakinan” ini adalah fanatisme. Jika kita menelusuri secara detail pengetahuan yang dijadikan landasannya menentukan pilihan, maka kita tidak akan menemukan satu pun darinya selain pembenaran.

Bagaimana cara memeranginya? Sikap fanatisme kepada capres dan cawapres, sejatinya berakar dari kebodohan. Menutup diri pada kebenaran baru dan nihilnya diskursus yang dilandasi pengetahuan yang luas, membuat mereka mudah percaya dan meyakini sesuatu yang masih subyektif.

Sikap fanatisme kelompok ini dimanfaatkan para politisi yang mengedepankan kepentingan meraih kekuasaan. Mereka dijadikan alat untuk mempengaruhi orang-orang yang mudah percaya dan tidak dapat mengakses informasi pembanding.

Karenanya dapat dipahami, hingga saat ini masih ada orang-orang yang percaya dengan kemunculan gerakan PKI, pernikahan sesama jenis, dan permusuhan terhadap umat Islam. Semuanya bermula dari fanatisme, kebodohan, dan kepentingan segelintir elit yang bernafsu meraih kekuasaan.

Baca Juga: [OPINI] Polemik Pawai Ogoh-ogoh Ditiadakan & Tensi Panas Politik

Ufqil Mubin Photo Writer Ufqil Mubin

Lewat tulisan, aku belajar memahami

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya