7 Pejabat Divonis Bersalah soal Pencemaran Udara Jakarta

Termasuk Presiden RI

Jakarta, IDN Times - Suatu hari, saat kunjungan ke Beijing, China, tahun 2017, saya melintasi sekelompok orang yang tengah protes. Dari atas bis rombongan, saya tak bisa membaca plakat yang dibawa puluhan pengunjuk rasa di depan sebuah kantor. Saya bertanya kepada pemandu rombongan kami, protes apakah itu? “Mereka protes polusi udara di Beijing," jawab si pemandu.

Kok boleh demo? Negeri kalian kan bukan negara demokrasi? “Kalau protes soal polusi boleh. Pemerintah mendorong agar masalah polusi jadi perhatian kota-kota di China,” ujar pemandu itu.

Polusi udara di Beijing memang parah. Langit di sana nyaris tak pernah cerah, lebih sering kelabu. Bukan karena mendung. Tahun itu juga, saya membaca berita lokal bahwa keluhan akan polusi udara lebih dari separuh keluhan yang masuk ke alamat Kementerian Perlindungan Lingkungan Hidup (MEP).

Kementerian ini menerima keluhan dari 88 ribu lebih warga soal polusi udara. Mereka menyalurkan protes lewat saluran telepon dengan nomor khusus, juga WeChat, platform komunikasi paling populer di sana.

Saya teringat pengalaman ini saat membaca berita bahwa tujuh pejabat pemerintah pusat dan daerah divonis bersalah atas pencemaran udara di Jakarta. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili gugatan warga atas pencemaran udara Jakarta, akhirnya memutuskan tujuh pejabat, yaitu Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat bertanggung jawab atas polusi udara di Jakarta.

“Pertama, mengabulkan gugatan para tergugat sebagian, kedua menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum, ketiga menghukum tergugat I untuk mengetatkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujar Ketua Majelis Hakim Saifuddin Zuhri di PN Jakarta Pusat, Kamis (16/9/2021). Tergugat I adalah Presiden.

Hakim juga menghukum Tergugat II, Menteri LHK, melakukan pengawasan terhadap Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan pengetatan emisi lintas batas provinsi tersebut. Hakim juga menghukum Tergugat III untuk mengawasi dan melakukan pembinaan kinerja Tergugat III (Menkes), melakukan pengawasan dan pembinaan kinerja Tergugat V (para gubernur) dalam pengendalian pencemaran udara.

Tidak berhenti di situ, Hakim juga menghukum Tergugat IV (Mendagri) melakukan penghitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI Jakarta, yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan Tergugat V dalam penyusunan strategi rencana aksi pengendalian pencemaran udara.

Berikutnya, majelis hakim menghukum Tergugat V untuk melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap setiap ketentuan peraturan perundangan di bidang pengendalian pencemaran udara, dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup, menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran peraturan perundangan-undangan tentang pengendalian pencemaran udara, menyebarluaskan informasi pengawasan dan penjatuhan sanksi berkaitan pengendalian pencemaran udara kepada masyarakat, mengetatkan baku mutu udara ambien daerah untuk Provinsi DKI Jakarta yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia lingkungan dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Majelis hakim juga menghukum Tergugat V (para gubernur) untuk melakukan inventarisasi terhadap baku mutu udara ambien, potensi pencemaran udara, kondisi meteorologis dan geografis serta tata guna lapangan dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar yang melibatkan partisipasi publik, menetapkan status mutu udara ambien setiap tahunnya dan mengumumkan kepada masyarakat, menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar secara terfokus, tepat sasaran, dan melibatkan partisipasi publik.

Demikian sembilan poin yang dikabulkan majelis hakim. Tergugat juga harus membayar ongkos perkara sebesar Rp 4.255.000.000.

Dalam keterangan tertulisnya, tim kuasa hukum penggugat mengapresiasi putusan majelis hakim. “Di sini ada beberapa putusan yang dikabulkan sebagian. Hakim menolak adanya pelanggaran hak asasi manusia di sana, namun yang lainnya terpenuhi,” ujar Ayu Eza Tiara, wakil kuasa hukum penggugat.

Mereka menilai putusan hakim menunjukkan pemerintah telah lalai mengendalikan pencemaran udara. Penggugat tidak menyarankan tergugat melakukan banding dan kasasi, di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

Perkara ini berawal dari gugatan 32 warga negara dalam Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Semesta, yang antara lain meminta pemerintah merevisi baku mutu udara ambien dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, agar sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan menjamin hak lingkungan yang baik dan sehat kepada masyarakat.

Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, menyambut baik putusan majelis hakim. Dia mengaku menjadi penggugat dan terlibat dalam persiapan penyusunan gugatan bersama sejumlah pihak dari lembaga LBH Jakarta, ICEL, Greenpeace, Walhi, dan lembaga lain sejak 2018.

“Alasan sederhana secara pribadi saya ingin anak saya bisa hidup sehat, jalan kaki, naik transportasi publik dan bermain di ruang terbuka dengan bebas tanpa khawatir polusi serta tidak terkungkung di mal,” kata Elisa kepada IDN Times, Jumat ( 17/9/2021).

Alasan lain, tutur Elisa, pemerintah sudah terlalu lama ingkar janji dan tidak melihat kenyataan, serta perubahan kebijakan sangat lambat. Pemerintah dinilai cenderung mementingkan percepatan banyak proyek yang menghasilkan polusi. “Contohnya jalan tol layang, PLTU, dan lainnya. Pemerintah cenderung defensif ketika berbagai masyarakat sipil memasang sensor sendiri yang menunjukkan kualitas udara yang buruk,” kata Elisa.

Tujuan gugatan masyarakat sipil untuk perubahan kebijakan. “Kalau saya melihat Jakarta kemarin bilang tidak banding, dan pagi ini, KLHK dan Setneg bilang akan banding. Memang menang persidangan itu hanya langkah kecil, karena yang berat dan sedari awal kami sadari, memastikan pemerintah mematuhi perintah pengadilan,” lanjut Elisa.

Baca Juga: Anies Respons Vonis Melawan Hukum soal Polusi Udara

7 Pejabat Divonis Bersalah soal Pencemaran Udara JakartaIlustrasi Polusi Udara. (IDN Times/Anata)

Lewat akun Twitter-nya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan, tidak akan banding terhadap keputusan majelis hakim dan siap menjalankan putusan pengadilan demi udara Jakarta yang lebih baik.

Bagaimana sikap pemerintah pusat? “Kita mau banding, mencari sesuai prosedur hukum,” ujar Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran di KLHK, Sigit Relianto, kepada media (16/9/2021). Alasannya, karena mekanisme banding dimungkinkan. Sementara Kemenkes lewat biro humasnya menyatakan masih akan berkoordinasi dengan pihak tergugat lainnya.

Kita berharap pemerintah pusat, setelah menerima amar putusan dan memahami pentingnya gugatan warga, mematuhi putusan hakim. Koalisi, dalam gugatannya mencantumkan data dari Air Quality Live Index (AQLI) bahwa kondisi udara di Indonesia terus memburuk dalam dua dekade terakhir.

Menurut AQLI, sebanyak 91 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah dengan polusi udara melebihi batas aman WHO. Koalisi juga mencantumkan penilaian ahli kesehatan bahwa dalam jangka panjang, menghirup udara penuh polusi berdampak kepada menurunnya angka harapan hidup karena penyakit paru-paru. Pandemik COVID-19 juga makin membuka mata kita, betapa pentingnya lingkungan dan udara yang bersih dan sehat.

Peneliti Harvard Chan Study yang dipimpin oleh Xiao Wu dan Rachel Nethery, serta penulis senior Francesca Dominici menemukan, ada korelasi antara tingginya polusi udara selama beberapa tahun terakhir dengan 11 persen naiknya tingkat kematian akibat COVID-19 untuk setiap peningkatan 1 microgram/meter kubik polusi udara.

“Hasil studi meyakini bahwa di lokasi dengan tingkat polusi tinggi, kian perlu dilakukan pembatasan sosial, mengetahui bahwa warga di situ makin berisiko untuk meninggal karena COVID-19, “kata Dominici, kepada STAT News.

Aaron Bernstein, pejabat di Pusat Klimat, Kesehatan dan Lingkungan Hidup Global di sekolah kesehatan masyarakat Harvard T.H Chan mengatakan, “di tempat-tempat di mana polusi udara menjadi masalah kronis, kami harus memberikan perhatian khusus kepada individu yang mungkin terpapar polusi udara dan lebih rentan dari yang lain. Misalnya warga gelandangan tak punya rumah, dan mereka yang punya masalah kesehatan kronis. Mereka membutuhkan dukungan lebih bahkan sebelum datangnya COVID-19,” kata Bernstein, sebagaimana dimuat di laman Harvard T.H. Chan.

Putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat adalah kado bagi warga Jakarta jelang Hari Kesehatan Lingkungan Hidup, yang jatuh pada 26 September 2021. Temanya tahun ini adalah, “Prioritas Kesehatan Lingkungan untuk Komunitas yang Lebih Sehat dalam Pemulihan Global”.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam acara “Green Festival 2019”, mengharapkan milenial menanamkan gaya hidup yang peduli terhadap lingkungan. Saya berharap Presiden yang ingin menunjukkan kepedulian soal lingkungan hidup itu, konsisten dan membuktikannya dalam kebijakan.

Putusan soal polusi udara Jakarta ini bisa menjadi pintu masuk keseriusan pemerintahan untuk mematuhinya, agar peduli lingkungan dan tidak sekedar jargon pemanis belaka. Pak Jokowi, Anda perlu siapkan bumi Indonesia yang lebih sehat dan bersih untuk masa depan Jan Ethes dan generasi berikutnya. Yuk, Bisa Yuk.

Baca Juga: Pencemaran Udara Jakarta Lebihi Ambang WHO, Kesehatan Warga Terancam!

https://www.youtube.com/embed/yRfjvaFCZrw

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya