Beberapa Tren Media dan Jurnalisme Tahun 2022

Ingatkan hal mendasar bagi jurnalis

Jakarta, IDN Times –  “Saat kamu hidup di dunia tanpa fakta, kamu tidak akan bisa mendapatkan kebenaran. Kamu tidak akan mendapatkan kepercayaan. Dan ketika kamu tidak memiliki itu, maka realitas yang kamu bagikan tercabik-cabik.”

Maria Ressa, jurnalis pendiri situs berita Rappler.com menyampaikan hal itu dalam sebuah wawancara dengan podcast Frontline Dispatch, awal Desember 2021. Tanggal 10 Desember, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, Maria Ressa dan jurnalis Rusia Dmitry Muratov menerima Nobel Perdamaian 2021 di Oslo, Norwegia. Sejak 2016 praktis Maria dan Rappler berhadapan dengan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, terutama dalam isu pembunuhan pedagang narkoba tanpa proses pengadilan.

Memastikan platform teknologi yang berperan mendistribusikan konten di media sosial melakukan fungsi mencegah tersebarnya kabar bohong alias hoaks, menjadi salah satu kampanye publik Maria Ressa.

Raney Aronson-Rath yang mewawancarai Maria Ressa di podcast itu lantas menyimpulkan, “Dalam waktu ke depan (tahun 2022), jurnalis perlu memanfaatkan semua cara (termasuk teknologi) untuk menjaga dan membangun realitas di hadapan tumbuh kembangnya ancaman global: misinformasi. “Kita perlu memastikan teknologi sebagai alat mempercepat tersebarnya truth, kebenaran di dunia, justru di saat kita melihat bahwa teknologi kian dimanfaatkan untuk memfasilitasi disinformasi,” ujar Aronson-Rath, sebagaimana dimuat di laman niemanlab.org.

Setiap akhir tahun Nieman, sebuah lembaga yang bernaung di bawah Universitas Harvard dan memberikan beasiswa jurnalistik yang bergengsi kepada jurnalis dari seluruh dunia, mewawancarai sejumlah jurnalis untuk mengetahui apa prediksi mereka soal media dan jurnalisme di tahun berikutnya, dalam hal ini, tahun 2022.

Melakukannya sendiri-sendiri, atau membangun kolaborasi baik dengan sesama media maupun dengan pihak lain untuk melakukan cek fakta, menyajikan informasi yang terverifikasi, telah menjadi tugas penting jurnalis dan media sejak awal, makin penting selama pandemik COVID-19 dan masih akan menjadi tren media di 2022. Di tingkat internasional kita sudah melihat upaya kolaborasi ini lewat peliputan Panama Papers, Pegasus Project, sampai Pandora Papers. Teknologi yang dikerjakan lewat Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) memungkinkan jurnalis dari 150-an media di berbagai negara melakukan cek fakta.

Di dalam negeri, sejumlah kolaborasi dilakukan media, termasuk saat membongkar tragedi kekurangan oksigen yang membuat puluhan pasien COVID-19 meninggal dunia, pertengahan Juli 2021.

Banyak yang dalam proses investigasi, mendapatkan ancaman termasuk yang membahayakan nyawa. Menakutkan. “Cara mengalahkan ketakutan adalah dengan merangkul ketakutan itu. Tidak peduli apa yang kamu takuti, kamu harus menyebutnya, membayangkannya, menggenggamnya, dan melihat ketakutan itu. Karena itu tidak akan menjadi lebih menakutkan jika kamu membayangkannya,” kata Maria Ressa menjawab pertanyaan saya di program “Ngobrol Seru” by IDN Times, setelah dia diumumkan sebagai peraih Nobel Perdamaian pada Kamis, 14 Oktober 2021.

Jadi, prinsip yang universal, mendasar dan paling penting bagi jurnalis, yakni menyajikan fakta yang sudah diverifikasi, adalah salah satu tren di tahun 2022. Itu tren yang pertama.

Baca Juga: Maria Ressa Sebut Fakta Jadi Hal Paling Penting untuk Jurnalis

Beberapa Tren Media dan Jurnalisme Tahun 2022(CEO Rappler Maria Ressa) www.pbs.org

Apalagi?

Banyak yang menyebutkan bahwa krisis iklim adalah ancaman yang sama besarnya dengan pandemik COVID-19. Padahal, dua tahun pademik sudah membuat umat manusia babak belur dihajar krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis kesehatan mental, dan krisis turunan lain. Para ahli memperkirakan dampaknya masih terasakan minimal sampai lima tahun ke depan. Krisis iklim sudah berlangsung lama, dan akan terus berlangsung jika semua orang dari tingkat individu, korporasi dan pemerintah tidak mengubah paradigma berkegiatan. Business as usual. Membangun pemahaman publik kian penting. Bahwa, krisis iklim itu nyata. “It’s real”.

Maka, peran media dan jurnalisnya dalam memerangi krisis iklim, bakal menjadi tren kuat di 2022.

Krisis iklim yang akan datang dan bisa dibilang sebagai masalah paling mendesak di abad ke-21, berkembang seiring dengan meningkatnya ketidakpercayaan kepada media dan polarisasi politik di Amerika Serikat yang menyebabkan jurnalisme iklim menghadapi skeptisisme, kritik dan keberpihakan yang tidak semestinya. Di masa, di mana informasi berlimpah tetapi fakta langka, tanggung jawab jurnalis untuk melayani khalayaknya dengan objektivitas menjadi lebih sulit, namun pelaporan iklim yang sukses sangat penting untuk memerangi krisis iklim. Dengan demikian, ada kebutuhan mendesak akan kerangka kerja untuk memandu jurnalis melalui tugas berat yang tidak ternilai dalam melaporkan topik iklim secara efektif, sehingga dapat bergerak menuju solusi daripada ketakutan dan ketidakpercayaan.

Nah, salah satu yang diwawancarai Nieman untuk prediksi media 2022 adalah jurnalis Robert Hernandez. Dia juga mengajar di kelas jurnalisme dan khalayaknya di USC Annenberg, salah satu sekolah jurnalistik terkemuka di Amerika Serikat. Dia meminta murid-muridnya, dengan asumsi mereka adalah jurnalis muda, membuat tren jurnalisme dan media tahun 2022. Bagian ini menurut saya menarik, karena menggambarkan preferensi khalayak muda. Kebetulan cocok dengan target khalayak kami di IDN Times.

“Untuk meningkatkan kualitas liputan yang membahas topik iklim, jurnalis harus memiliki lebih dari sekadar pemahaman dasar tentang iklim, bahkan jika liputan lingkungan di luar jangkauan mereka. Dapat dikatakan bahwa iklim memiliki ikatan dengan hampir semua desk peliputan, dan memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk menambahkan sudut pandang iklim ke cerita yang tidak berfokus pada perubahan iklim mungkin sangat bermanfaat bagi pembaca. Begitu ruang redaksi telah membangun kepercayaan pada fakta-fakta iklim secara internal, fakta-fakta penting tersebut menjadi lebih mudah untuk dibangun di antara khalayak kita. Dengan landasan ini, pelaporan iklim dapat bergerak ke arah jurnalisme solusi daripada terus-menerus mengulangi gagasan umum yang mengoceh dan menjengkelkan bahwa kita berada dalam krisis iklim. Kami berutang kepada pembaca kami dan kepada diri kami sendiri untuk melaporkan secara akurat tentang iklim – alam tidak membeda-bedakan,” kata Julia Barton, mahasiswi angkataan 2022, alias baru masuk kuliah.

Ini tren kedua. Saya sepakat menjadikan pemahaman lebih baik soal peliputan perubahan iklim ini bagian penting dari tren 2022. Oktober 2021, secara khusus IDN Times dan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di mana saya menjadi ketua umumnya, menggelar pelatihan meliput perubahan iklim. Ini kali yang kedua, karena di awal pandemik tahun 2020, FJPI dan IDN Times juga melakukan pelatihan meliput isu sains dan lingkungan hidup. Desember 2021, kami menggelar program spesial #101ClimateChangeActions dengan Live Instagram setiap harinya.

Baca Juga: IDN Times Gelar Program Literasi Publik Climate Change 

Beberapa Tren Media dan Jurnalisme Tahun 2022Konferensi perubahan iklim di Paris, tahun 2015 lalu. (IDN Times/Uni Lubis)

Tren ketiga adalah makin pentingnya jurnalis menjadi bagian dari komunitas. Media yang memiliki komunitas yang solid, mendapatkan khalayak yang loyal. Di IDN Times, komunitas penulis (community writers) sudah menjadi salah satu produk fit, karena tidak hanya mendatangkan pengunjung ke situs, pula menghasilkan bisnis yang lumayan gede. Kami juga aktif membangun komunitas pembaca lewat berbagai kegiatan luring dan daring.

Soal pentingnya komunitas disampaikan oleh Jillian Carmenate, murid Hernandez, angkatan 2022.

“Seiring dengan hadirnya generasi baru jurnalis yang memasuki industri ini, jurnalisme akan menjadi lebih bermakna dan berdampak. Jurnalis seyogyanya dengan sengaja terhubung dengan khalayak mereka dan menyesuaikan dengan konten mereka untuk memberi informasi yang lebih baik kepada mereka. Selain itu, jurnalis akan melayani khalayak dengan lebih baik karena mereka akan melaporkan isu-isu yang berdampak kepada komunitas mereka. Jurnalis muda bersemangat meliput masalah sosial dan liputan mendalam,” kata Carmenate.

Saya setuju dengan Direktur Pemberitaan Metro TV, Arief Suditomo. Dalam obrolan dengan Arief di program #OurNewsRoom by IDN Times, awal 2021, Arief mengatakan bahwa pandemik membuat ruang redaksi beradaptasi dan harus memanfaatkan teknologi digital. Cara kerja berubah. Pembatasan mobilitas membuat pola kerja dari rumah mendominasi. Terjadi penghematan dalam hal biaya operasional peliputan. Wawancara luring berganti menjadi daring, lewat ragam platform digital termasuk media sosial. “Kita menjadi tech savvy dan cost savvy,” ujar Arief.

Pendiri dan Kepala Eksekutif Katadata, Metta Dharmasaputra mengatakan, pihaknya memikirkan mencari kantor yang lebih kecil luasannya. “Pandemik membuktikan bekerja dari rumah, sama efektifnya dengan bekerja di kantor,” ujar Metta di program yang sama. Kantor perlu untuk rapat tatap muka yang tak bisa dihindari termasuk bagian bisnis, pula kerja produksi video yang membutuhkan siaran langsung.

Annalysa Cowie, juga mahasiswi baru, angkatan 2022 di USC Annenberg menyampaikan hal ini dengan, “Pandemik COVID-19 benar-benar mengubah cara kerja jurnalistik. Ruang redaksi termasuk yang paling terpengaruh. Jurnalis harus bekerja dari rumah, melaporkan dari rumah dan segala sesuatunya berubah sepenuhnya menjadi digital adalah hal besar bagi mayoritas orang. Banyak di antara editor yang sebelum pandemik menjalankan ruang redaksi adalah Gen-X. Ketika harus beralih ke digital sepenuhnya, banyak yang kehilangan cara untuk menavigasi dan melaporkan dari rumah mereka sendiri. Ini dimungkinkan karena milenial dan gen Z benar-benar bersinar di redaksi dan mengambilalih kehadiran dengan pengetahuan digital mereka.

Tren keempat, di tahun 2022 kita akan melihat pola kerja dari rumah, atau bekerja fleksibel dari mana pun berlanjut. Bagi karyawan ini lebih aman, karena tidak perlu setiap hari berdesak-desakan di transportasi publik. Menurut saya, pola ini akan berlanjut di 2022. Konsumen juga makin menjadikan telepon seluler sebagai alat konsumsi informasi. Narasumber makin nyaman diwawancarai via daring, karena secara alokasi waktu lebih efektif dan efisien.

Tapi, peliputan mendalam dan investigasi membutuhkan penggalian fakta di lapangan.

Terlalu lama tak bertemu muka, juga bisa menurunkan kualitas komunikasi yang ujungnya mengganggu kerja tim yang solid. Di IDN Times, mulai November 2021, ketika semua sudah mendapatkan vaksinasi dosis komplit dan situasi pandemik membaik, kami bekerja dari kantor setidaknya dua hari dalam sepekan. Masing-masing bisa bertemu muka, ngopi dan makan bersama, berdiskusi pengembangan isu, dan bekerja bersama. Komunikasi daring tak bisa sepenuhnya menggantikan komunikasi tatap muka. Tetapi pandemik menunjukkan mayoritas pekerjaan bisa dijalankan sama baiknya dari mana saja, termasuk dari rumah.

Berikutnya tren kelima, adalah pentingnya cerita humanis, personalisasi. Ini tren 2022, sebagaimana disampaikan oleh Julia Lin.

“Masa depan jurnalisme tidak terbatas pada bagaimana jurnalis lewat karyanya, bertemu dengan khalayak konsumen. Tetapi, hubungan yang lebih personal, sehingga konsumen bahwa seolah dikenal secara nama. Konsumen adalah manusia. Untuk itu, jurnalis juga perlu lebih peduli tehadap kisah personal, baik jurnalis, editor maupun narasumbernya adalah sosok nyata yang bisa dicek keberadaanya. Jurnalisme robot berkembang, tetapi mesin tak pernah bisa menggantikan sentuhan personal manusia terutama dalam membangun keterlibatan,” ujarnya. Data juga menunjukkan personalisasi yang dikerjakan dengan baik, diterima khalayak pembaca.

Maggie Morris membahas soal kemasan dan pendekatan. “Saya percaya bahwa industri media dan jurnalisme-nya bergeser ke pola yang lebih kasual, untuk menarik perhatian khalayak muda. Secara umum, anak muda yang juga aktif di media sosial cenderung konsumsi media yang kontennya relevan dan dekat dengan mereka. Reporter dan pembawa acara yang tampil dengan terlalu banyak polesan dan aturan kamera yang sempurna tidak selalu berhasil mengambil perhatian penonton. Jadi, jurnalis dituntut lebih kreatif untuk membujuk perhatian penontonnya.”

Tren keenam ini mengingatkan saya kepada percakapan dengan teman-teman pemimpin redaksi soal bagaimana pembuat konten non jurnalis, mampu mendapatkan khalayak dan pengikut yang jauh lebih besar ketimbang media massa, padahal mewawancarai narasumber yang sama. Saya tidak menganggap mereka sebagai pesaing. Menurut saya kita perlu belajar dari mereka. Jurnalisme dan jurnalis serta media yang profesional akan terus relevan, karena terikat kode etik, diharapkan menyajikan kebenaran dan informasi terverifikasi. Banyak tugas dan fungsi jurnalis dan media yang tidak bisa dikerjakan pembuat konten. Kita bisa saling melengkapi dalam menyentuh kian banyak khalayak, termasuk untuk literasi publik soal COVID-19 dan vaksinasi, misalnya.

John Della Volpe, Direktur Polling di Harvard Institute of Politics, Januari 2022 meluncurkan buku berjudul "Fight: How Gen Z Is Channeling Their Fear and Passion to Save America". Salah satu hal penting di buku hasil berbagai riset yang dilakukan Della Volpe dan timnya, pola pikir dan perspektif Gen Z dipengaruhi sejumlah peristiwa fenomenal, sedihnya itu tragedi. Mulai dari serangan tembakan membabi buta di sejumlah sekolah, diskriminasi yang meluas dialami oleh warga kulit berwarna, #BlackLivesMatter sampai #MeToo. Anak muda, gen Z kian peduli isu-isu keberagaman, mau berjuang untuk anti diskriminasi. Voicing the Voiceless. 

Jurnalis adalah bagian dari gerakan publik itu, jika ingin tetap relevan. Tren ketujuh 2022 mencakup ruang redaksi yang pro keberagaman, pro kesetaraan, pro perempuan, anti diskriminasi. Saya yakin fenomena yang sama terjadi secara global, termasuk di Indonesia.

Sophia Ungaro, kelas 2021, mengingatkan saya terhadap apa yang disampaikan Maria Ressa saat saya wawancarai Oktober 2021 itu.

“Pada tahun 2022, saya melihat berakhirnya objektivitas jurnalisme. Mungkin (objektivitas) akan selalu jadi syarat agar jurnalis bisa menjaga tingkat profesionalisme dalam bekerja seraya mengikuti kode etik yang standar, tetapi kian tidak masuk akal untuk meminta mereka menghapus aspek identitas mereka untuk melaporkan secara akurat. Menjadi subjektif terhadap hal-hal tertentu memungkinkan pelaporan yang lebih substansial dan keterlibatan komunitas yang lebih tinggi. Memanfaatkan pengalaman kita sebagai jurnalis untuk terhubung dengan narasumber adalah metode untuk menciptakan kepercayaan dalam komunitas yang kita layani.”

Maria saat itu menjawab soal apakah jurnalis bisa melakukan atau menunjukkan sikap aktivisnya. “Pada suatu titik tertentu, ketika situasi memaksa, tidak perlu membedakan antara tugas jurnalis dengan aktivis. Ketika kepentingan publik diganggu, jurnalis harus bersikap,” kata dia. Maria punya pengalaman dengan rezim Duterte. Kita di Indonesia pernah bekerja di era Soeharto. Pandemik membuat sifat otoritarian muncul di banyak tempat, banyak negara. Media dan jurnalis jika berpihak kepada publik, wajib memgambil sikap, posisi editorial yang jelas. Ini tren kedelapan.

Jika kita lihat, di luar soal teknologi dan cara kerja yang berubah gara-gara COVID-19, semua yang disampaikan sebagai tren 2022 itu merujuk kepada misi dasar jurnalis dan tugas media. Yang telah ada sejak lebih dari 100 tahun lalu, dan akan terus relevan, melampaui 2022.

Kolaborasi antara jurnalis dan para ahli, saintist, juga berlanjut, dipicu sejak pandemik.

Bulan lalu saya mengisi survei yang dibuat oleh Reuters Institute for the Study of Journalism, soal Tren dan Prediksi Media 2022. Isian saya tidak jauh berbeda dengan sejumlah tren di atas, dengan tambahan pentingnya media memiliki saluran distribusi sendiri sehingga tidak bergantung seterusnya kepada perusahaan teknologi global yang kerap mengganti algoritmanya. Tren kesembilan, media perlu mulai mengontrol distribusinya, tidak hanya sibuk membuat konten. Ini kami lakukan di IDN Media dengan IDN App tahun lalu. Mulai Desember 2021 kami menerbitkan program buletin harian, TOP NEWS disiarkan langsung lewat IDN App pukul 18.30 WIB.

Saya optimistis, tahun 2022, tahun yang baik bagi media. Tentu jika kita mengerjakan semua pekerjaan rumah, dan menjalankan prinsip dasar yang ternyata terus relevan. Menjadi jurnalis dan memproduksi konten jurnalistik yang baik dan berkualitas.

Baca Juga: The Future of The Media, Arah Masa Depan Bagi IDN Times

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya