Enam Bulan COVID-19, Apa yang Dilakukan Menteri Nadiem?

Kendala siswa saat PJJ

Jakarta, IDN Times – Setiap hari, Diva (8 tahun) mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari tempat tinggalnya di kawasan Jati Cempaka, Pondok Gede, Bekasi. Diva, kelas 3 Sekolah Dasar, belajar lewat telepon seluler pintar, yang bisa mengakses internet. Kuota tidak jadi masalah, karena tersedia wifi di rumah kami. 

Diva merupakan putri asisten rumah tangga saya. Proses belajar secara daring berlangsung satu jam, setiap hari. Guru kemudian mengirimkan video penjelasan ke murid lewat aplikasi percakapan WhatsApp. Murid lantas mengerjakan soal-soal yang diberikan guru. “Yang bikin pusing matematika. Saya gak bisa mengikuti pelajarannya lagi,” kata Yati, ibu Diva.

Pengalaman anak saya, Darrel, mirip-mirip. Mulai Pukul 07.00 WIB dia sudah duduk di depan laptop, lengkap dengan baju seragamnya. Sekolah lewat aplikasi Zoom berlangsung sampai pukul 14.30 WIB. Ada jeda dua kali istirahat, pukul 09.30 WIB dan saat makan siang. Proses belajar dari rumah dijalani sejak pertengahan Maret 2020, setelah pemerintah Indonesia mengumumkan pandemik COVID-19. “Aku lebih suka sekolah tatap muka. Aku jenuh belajar dari rumah. Homework-nya juga banyak,” ujar Darrel.

Diva dan Darrel termasuk siswa yang menjalani PJJ dalam kondisi lebih baik. Tempat belajar relatif nyaman, akses ke internet bukan halangan. Begitu pun, enam bulan PJJ jadi masalah besar bagi mereka, juga orangtua. Sama halnya dengan Yati, saya pun sudah tidak bisa mengikuti pelajaran Darrel. Kurikulum jauh berbeda, dan rasanya pelajaran anak zaman sekarang lebih sulit ketimbang yang saya alami dulu.

Keluh-kesah murid atau mahasiswa, guru dan dosen serta orangtua yang harus menjalani situasi PJJ menjadi menu harian pemberitaan media massa termasuk IDN Times. Guru Nur Rohim yang bertugas di SMK Elikobel, Merauke, Papua, menceritakan bagaimana akses internet menjadi barang mewah bagi mereka. Pengalaman yang jadi isu nasional, pula global.

Sektor pendidikan menjadi bidang yang paling terpukul akibat COVID-19. Guru Besar Universitas Indonesia, Emil Salim, mengatakan, anak muda menderita selama pandemik karena mereka harus belajar jarak jauh. Problem yang ada harus segera diatasi karena Indonesia akan mengalami bonus demografi.

"Kualitas pembangunan ditentukan bukan oleh investasi luar negeri, bukan oleh alat mesin, tetapi oleh keterampilan dan kecakapan otak bangsa kita sendiri," kata Emil dalam webinar #MenjagaIndonesia di YouTube IDN Times, Senin (10/8/2020). Seri webinar ini kami gelar dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 tahun.

Menurut Emil, secepat mungkin harus dicari jalan keluarnya. Jangan sampai Indonesia kehilangan satu generasi. "Pendidikan menjadi penting. Berkaitan dengan itu adalah telekomunikasi, jaringan, listrik. Energi listrik sekarang adalah basic needs, kebutuhan pokok. Tanpa listrik dan telekomunikasi, tidak ada belajar jarak jauh," katanya.

Baca Juga: Emil Salim: Segera Cari Solusi Pendidikan Agar Tak Hilang 1 Generasi

Enam Bulan COVID-19, Apa yang Dilakukan Menteri Nadiem?Ilustrasi pembelajaran online (IDN Times/Sakti)

Siswa mengeluhkan belajar dari rumah

Dari laman Sahabat Keluarga Kemendikbud kita bisa membaca pengalaman PJJ berdasarkan survei yang dilakukan UNICEF, Dana Anak-Anak untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selama survei yang dilakukan pada 18-29 Mei 2020 dan 5-8 Juni 2020, UNICEF menerima lebih dari 4.000 tanggapan dari siswa di 34 provinsi Indonesia, melalui kanal U-Report yang terdiri dari SMS, WhatsApp, dan Messenger.

Hasilnya? Sebanyak 66 persen dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan di 34 provinsi mengaku tidak nyaman belajar di rumah selama pandemik COVID-19. Sebanyak 87 persen siswa ingin segera kembali belajar di sekolah. Akses internet, baik dari sisi kualitas maupun keterjangkauan jadi keluhan yang dominan.

Indonesia tidak sendiri. Di lingkungan negara di Asia Tenggara, pengalamannya sama. Ini terungkap dalam survei anak muda ASEAN (asosiasi negara di Asia Tenggara) yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia (WEF) bekerjasama dengan Sea Group, perusahaan internet berbasis di Singapura.

“Berdasar survei tersebut, ada 69 persen remaja yang mengaku kesulitan bekerja atau belajar jarak jauh. Bahkan, 7 persen mengatakan tidak mungkin melakukan proses bekerja atau belajar dari rumah,” ujar Santitarn Sathirathai, kepala ekonom Sea dalam webinar peluncuran WEF Youth Survey 2020 yang diselenggarakan oleh World Economic Forum dan IDN Times (23/7/2020).

Survei ini melibatkan 70 ribu responden, usia 16-35 tahun, termasuk 20 ribu responden Indonesia, dan dilakukan pada Mei-Juni 2020.

“Ada beberapa kendala, memang, 41 persen di antaranya dikarenakan kualitas internet, 29 persen karena biaya internet, 28 persen gangguan rumah tangga, 24 persen karena kurangnya motivasi,” demikian kata Sathirathai.

Jadi, enam bulan pandemik COVID-19 yang dihitung sejak awal Maret 2020, saat Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan kasus 1 dan kasus 2 positif corona, apa yang sudah dilakukan pemerintah?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjawab pertanyaan saya dalam sesi wawancara secara daring, Rabu (2/9/2020).

Pertama, Kemendikbud memberikan diskresi penuh pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang ditransfer langsung ke sekolah.

Kedua, Kemendikbud meluncurkan kurikulum darurat. “Di mana sampai 20 sampai 40 persen daripada setiap mata pelajaran itu kompetensi dasarnya itu diringkas,” ujar Nadiem. Diringkas secara dramatis sehingga guru-guru bisa fokus pada yang esensial dan apa yang prasyarat kepada jenjang berikutnya.

Ketiga, menurut Nadiem, pihaknya menciptakan inovasi berupa modul-modul khusus di masa PJJ. Untuk SD dan untuk PAUD. Fokus terutama untuk membimbing orangtua harus mengerjakan apa. "Jadi ini modul-modul yang bisa dikerjakan secara offline di dalam rumah tangga,” kata pendiri Go-Jek itu. Di dalam konteks rumah tangga dan peran orangtua diperjelas dan dipertajam. Karena banyak sekali orangtua yang mengeluh tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk anaknya selama pandemik ini.

Keempat, Kemendikbud menggelontorkan sekitar Rp3 triliun untuk dana BOS afirmasi dan BOS kinerja, baik untuk sekolah negeri maupun swasta. BOS selama ini belum pernah diperbolehkan digunakan untuk sekolah swasta. Padahal, kata Nadiem, di sekolah swasta banyak juga murid atau orangtua yang tidak mampu membayar atau pun tidak mau membayar karena tidak merasa ada nilai tambah dari proses PJJ.

Kelima, dana Rp1 triliun direalokasikan untuk bantuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa, terutama mahasiswa perguruan tinggi swasta yang tidak menerima pertolongan dana dari pemerintah.

Keenam, ini paling anyar, alokasi dana Rp9 triliun untuk subsidi kuota internet bagi PJJ. Subsidi diberikan selama empat bulan, dari September hingga Desember 2020, ditujukan untuk guru, siswa, dosen dan mahasiswa. “Termasuk untuk sekolah swasta,” kata Nadiem. Tantangannya adalah validitas data penerima, sehingga subsidi ini tepat sasaran.

Baca Juga: Mantap! Mahasiswa Dapat Bantuan Pulsa Rp150 Ribu per Bulan 

Enam Bulan COVID-19, Apa yang Dilakukan Menteri Nadiem?Ilustrasi pembelajaran online (IDN Times/Sakti)

Teknologi tak bisa gantikan tatap muka

Apakah itu cukup untuk menjaga kualitas pendidikan?

“Pasti tidak. Angka PISA kita pasti turun selama pandemik,” ujar Nadiem.

PISA, Program Penilaian Pelajar Internasional yang diberlakukan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) bertujuan untuk mengevaluasi sistem pendidikan dengan mengukur kinerja siswa di pendidikan menengah, terutama pada tiga bidang utama, yaitu matematika, sains, dan literasi.

Berdasarkan laporan PISA 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara.

Selama pandemik terjadi akselerasi digital. Penggunaan teknologi komunikasi menjadi penting. Orangtua, guru dan murid belajar setidaknya satu keterampilan teknologi yang baru. Tapi, pengalaman PJJ menunjukkan bahwa teknologi bukan faktor utama sukses pembelajaran. Peran guru dan orangtua kian penting. Begitu juga proses belajar tatap muka.

“Yang tadinya banyak sekali persepsi sekolah itu adalah tempat outsourcing untuk pendidikan anak-anak, sekarang berubah. Orangtua yang pendidik utama dan sekolah adalah membantu mengoordinasikan menjadi suplemen daripada pendidikan anak tersebut. Jadinya paradigma orangtua sebagai pendidik utama ini luar biasa berubahnya,” tutur Nadiem, yang punya tiga anak usia balita. Saya sepakat.

Tantangan berikutnya adalah kembali ke sekolah. Wacana ini menguat, sejalan dengan kampanye New Normal yang digembar-gemborkan pemerintah. Padahal, pengalaman di banyak negara, sekolah berpotensi menjadi klaster penyebaran COVID-19.

Kemendikbud merujuk data dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19, 88 persen dari daerah terdepan, terluar dan tertinggal ada di zona kuning dan hijau. “Kami beserta empat menteri memutuskan untuk daerah ini yang benar-benar terluar itu bisa mulai melakukan tatap muka dengan protokol kesehatan yang sangat ketat,” kata Nadiem. Itu pun, persetujuan dari orangtua menjadi faktor penting apakah anak sudah bisa kembali ke sekolah tatap muka.

Kembali ke sekolah juga menjadi isu di berbagai negara. Memicu kontroversi soal keamanan dan keselamatan siswa dan guru. Tertular di sekolah bisa menambah klaster keluarga, begitu pula sebaliknya. Ibarat lingkaran setan.

Data UNICEF menunjukkan, sampai akhir Agustus 2020 lebih dari 1 miliar siswa masih melakukan PJJ. Sebanyak 105 dari 134 negara yang sempat menutup sekolah selama pandemik (sekitar 78 persen), telah memutuskan tanggal untuk membuka sekolah. Sebanyak 59 dari 105 negara telah membuka sekolah. Sejumlah pemerintah daerah sudah mengumumkan bahwa sekolah di wilayah mereka akan dibuka paling cepat Januari 2021.

Ada banyak hal yang perlu disiapkan, mulai dari kelengkapan protokol kesehatan, dukungan bagi kesehatan mental dan memerangi stigma terhadap siswa dan guru yang terinfeksi, sampai kebutuhan gizi untuk mendukung imunitas.

Anak-anak memang rindu kembali ke sekolah, bertemu teman dan guru. Untuk sementara, orangtua mengambilalih peran itu. Enam bulan pandemik, semoga menjadi waktu yang mengesankan bagi mereka. Ini pekerjaan rumah orangtua.

https://www.youtube.com/embed/4OKnaZ6ULQ8

Baca Juga: Mendikbud Nadiem Akan Buat Pembelajaran Jarak Jauh Jadi Permanen

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya