Kerumunan Elite NTT, Cermin Pisau Hukum Tumpul ke Atas

Melanggar Protokol Kesehatan COVID-19

Jakarta, IDN Times – Negeri ini tak pernah kekurangan contoh buruk dalam penanganan pandemik COVID-19. Terutama dari kalangan elite pembuat kebijakan, penguasa dari pusat sampat ke daerah. Paling baru adalah foto dan video beredar viral, tentang kerumunan yang dibuat oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemprov yang dipimpin Gubernur Victor Laiskodat, yang juga elite Partai NasDem, disebut-sebut menggelar acara pertemuan dengan kepala daerah se-NTT yang dimeriahkan konser musik di panggung cukup besar. Pertemuan diduga digelar pada 17 Agustus 2021.

Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi tidak membantah pelaksanaan acara yang dihadiri ratusan orang itu. Kepada media, Josef menjelaskan, acara itu merupakan pengukuhan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD). Josef mengaku tidak mengikuti konser musik karena pulang duluan ke Kupang setelah pengukuhan selesai. Acara itu digelar di Pulau Semau, yang letaknya di sebelah barat Kupang, ibu kota NTT. Sebuah pulau yang memiliki pantai putih yang menggoda dikunjungi.

Di video viral, nampak suasana ‘pesta’ dengan kursi dan meja bundar ditata di pinggir pantai. Hadirin menggunakan kemeja warna putih, asik bergoyang. Banyak yang menggunakan masker. Ada yang tidak.

Media memuat bahwa protokol kesehatan COVID-19 tidak dijalankan secara maksimal. Konser dilakukan setelah pertemuan di aula tanpa jaga jarak. Pejabat lokal bersukaria sampai dini hari, ikut berteriak menyanyi.

Baca Juga: [BREAKING] Rizieq Shihab Cs Divonis 8 Bulan Penjara di Kasus Kerumunan Petamburan

Kerumunan Elite NTT, Cermin Pisau Hukum Tumpul ke AtasPertemuan Gubenur NTT dan kepala daerah timbulkan kerumunan (Screenshot video viral)

Yang bikin prihatin, pesta pora yang melanggar prinsip 3 M (menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan) dilakukan saat di NTT masih ada kota dan kabupaten dalam status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 4, termasuk Kupang. Belum ada yang masuk Level 1 dan 2. Data Kemenkes RI menunjukkan NTT masih berisiko tinggi, ditunjukkan dengan angka kematian yang masih naik.

Pemerintah pusat dan daerah tentunya, belakangan bahkan sibuk kampanye 5 M, bukan hanya 3 M. Tambahannya adalah membatasi mobilitas dan menjauhi kerumunan. Acara di Pulau Semau itu melanggar semuanya.

Padahal, untuk menekan penyebaran COVID-19, pemerintah memberondong rakyat dengan sejumlah aturan. Untuk menyukseskan PPKM, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Instruksi Kemendagri Nomor 36 Tahun 2021 yang untuk Level 4, misalnya, melarang kegiatan yang menimbulkan kerumunan. Apalagi, kondisi keuangan negara dan daerah sedang ketat, menggelar perayaan untuk pengukuhan tim ini itu benar-benar pemborosan. Duit rakyat mubazir hanya untuk kegiatan foya-foya. Nir-empati maksimal.

“Menyikap video viral itu, Polda NTT akan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan instansi terkait guna mendapatkan daya dan informasi yang lebih akurat,” kata Kepala Bidang Humas Polda NTT Kombes Pol Rishian Krisna B sebagaimana dimuat laman ANTARA (29/8/2021). Aneh, karena acara seperti ini, apalagi di daerah, pasti diketahui polisi lokal. Mengapa tidak dicegah, dengan menyodorkan Inmendagri itu? Atau sudah, tapi tidak mempan karena acara melibatkan pengusaha alias orang kuat daerah?

Baca Juga: Polisi dan Mendagri Diminta Turun Tangan soal Kerumunan oleh Elite NTT

Kerumunan Elite NTT, Cermin Pisau Hukum Tumpul ke AtasIlustrasi Penggunaan Hand Sanitizer (Youtube/Sekretariat Presiden)

Inmendagri juga mengatur saksi atas pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah. Diatur juga sanksi pidana dan denda sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Apakah polisi akan menggunakan pasal ini kepada penanggungjawab acara di Pulau Semau? Saya tidak yakin, karena gubernur adalah bagian dari koalisi Pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Publik melihat bahwa sejauh ini, kerumunan yang dilakukan pihak yang ada di barisan pemerintahan ini tak pernah diberi sanksi serius. Cermin pisau hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Tidak heran jika contoh buruk yang disajikan elite penguasa membuat penegakan disiplin dalam penanganan pandemik makin sulit, apalagi pandemik sudah 1,5 tahun. Rakyat sudah lelah, kehabisan biaya hidup untuk bertahan, mengurung diri bukanlah pilihan. Mereka harus ke luar rumah untuk cari makan untuk diri dan keluarganya. Pandemik ini, sebagaimana disampaikan kolumnis Fareed Zakaria, menciptakaan ketimpangan sosial dan ekonomi yang kian lebar.

Baca Juga: Rasa Haru Menko Mahfud Vs Haru Rakyat di Pusara COVID-19

Kerumunan Elite NTT, Cermin Pisau Hukum Tumpul ke AtasKerumunan di Kesawan City Walk berpotensi menjadi klaster baru penularan COVID-19 di Kota Medan. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sebelum NTT, kita membaca bagaimana Bupati Jember Hendy Siswanto mengaku menerima honor untuk setiap pemakaman jenazah yang terkonfirmasi COVID-19. Hendy dan tiga pejabat lain du pemkab di wilayah Jawa Timur itu menerima Rp70,5 juta, dengan rincian Rp100 ribu per jenazah.

Lagi-lagi, pos yang mubazir karena sebetulnya yang layak menerima insentif hanyalah petugas pemulasaran jenazah dan penggali kuburan yang pekerjaannya meningkat selama pandemik, padahal honor mereka minim. Bupati, sama halnya dengan elite politik, praktis biaya hidupnya sudah ditanggung APBN atau APBD. Rumah dan seisinya dapat. Bahkan anggaran baju dan makanan pun ada. Kurang apa?

Masih banyak lagi. Gubernur yang bikin pesta ulang tahun. Presiden dan menteri yang merestui acara musyarawarah Kamar Dagang Indonesia yang ujungnya ada peserta yang terinfeksi COVID-19 bahkan meninggal dunia. Belum lagi ucapan menyebalkan dari elite sejak pandemik di Indonesia resmi diakui pada 2 Maret 2020. Daftarnya panjang dan semuanya menjadi jejak digital komunikasi publik yang ambyar.

Prinsip dasar komunikasi yang efektif seperti: jujur, transparan, adil, konsisten antara ucapan dengan tindakan, praktis dilupakan. Yang muncul adalah tindakan dan ucapan arogan, dan menyalahkan rakyat. Sukses penanganan pandemik memang bergantung kepada semua pihak termasuk rakyat dan pemerintah. Tapi, rakyat tak punya daya dan pilihan dan harus bertahan hidup, sementara pemerintah punya semuanya termasuk regulasi, kuasa, dan dana.

Pandemik ini makin menunjukkan relevansi dari pepatah lama, guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Baca Juga: Komunikasi Publik yang Ambyar di Masa Pandemik Virus Corona

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Eddy Rusmanto

Berita Terkini Lainnya