Kontroversi Pengangkatan Tujuh Staf Khusus Millennial Presiden Jokowi

Jangan lupakan isu yang lebih krusial

Jakarta, IDN Times – Satu bulan setelah membentuk Kabinet Indonesia Maju, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan daftar staf khusus (stafsus). Tujuh dari 14 stafsus Jokowi masuk kategori usia millennial. 

Jokowi mengumumkan tujuh stafsus baru dengan nuansa millennial pula, yaitu duduk di bantal-bantal “bean bag” warna-warni. Bantal seperti ini lekat dengan aktivitas millennial.

“Tidak fulltime, beliau sudah memiliki kegiatan dan pekerjaan yang bisa mingguan, dan tidak harus ketemu,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/11).

Sudah ada grup chat buat mereka berdiskusi. Salah satunya, Gracia Billy Mambrasar, CEO Kitong Bisa, bahkan tengah bersiap melanjutkan pendidikan S3 di Universitas Harvard, AS.

Selain Billy, para stafsus yang diumumkan adalah Angkie Yudistia, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra dan Aminuddin Ma’ruf.  Kiprah mereka beragam, mulai dari penggiat disabilitas, pendiri usaha rintisan (startup), aktivis perdamaian dan toleransi, pemuda Papua, santri, sampai putri konglomerat. Sebagian besar lulusan pendidikan lanjutan di luar negeri. Rentang usia mereka antara 23 sampai 36 tahun.

Berbeda dengan Nadiem Makarim, pendiri perusahaan teknologi Gojek yang diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, para stafsus Jokowi ini memang masih terlibat langsung hari per hari dengan kegiatan yang ditekuninya, termasuk di usaha rintisan.  

Melalui akun media sosialnya, Jokowi menyampaikan bahwa tujuh anak muda ini adalah jembatan ke anak-anak muda, para santri, dan diaspora yang tersebar di berbagai tempat untuk bersama-sama membangun bangsa ini.

Dari sinyal yang disampaikan presiden, para stafsus millennial ini menjadi mitra diskusi presiden untuk mendapatkan ide terobosan dalam mengelola negara lima tahun ke depan, di era pemerintahan kedua Jokowi.

“Sebagai staf khusus presiden, mereka akan jadi teman diskusi saya setiap bulan, setiap minggu, atau setiap hari,” demikian harapan Jokowi, seraya menyampaikan juga bahwa dia ingin cara yang out of the box, yang melompat, mengejar kemajuan.

Jokowi menyiratkan tidak sabar dengan business as usual, yang selama ini terjadi. Salah satu alasan yang menghambat reformasi birokrasi, termasuk membuat kita ketinggalan merangkul investasi. 

Tidak hanya satu kali presiden menyampaikan keinginan mendapat terobosan. Saat menyampaikan Pidato Tahunan di depan wakil rakyat, 16 Agustus 2019, Jokowi menyampaikan, “Kita butuh ilmu pengetahuan dan teknologi  yang membuat kita bisa melompat dan mendahului bangsa lain. Kita butuh terobosan-terobosan jalan pintas yang cerdik yang mudah yang cepat. Kita butuh SDM unggul yang berhati Indonesia, berideologi Pancasila. Kita butuh inovasi-inovasi  yang distruptif yang membalik ketidakmungkinan menjadi peluang”.

Tujuh stafsus millennial ini dianggap Jokowi mewakili SDM unggul itu.

Baca Juga: 7 Millennial Jadi Stafsus Baru Jokowi, Ini Deretan Bidang Kerjanya

Beragam reaksi menyambut diangkatnya tujuh stafsus millennial ini. Politikus Partai Gerindra, Fadli Zon menganggap tujuh stafsus millennial yang digaji Rp51 juta per bulan itu hanyalah pajangan. 

“Cuma lipstick saja, pajangan sajalah itu.  Kita mau melihat kinerja orang pada kapasitas kapabilitas, tidak melihat umur, harusnya,” kata dia kepada media di Jakarta (23/11). 

Di kalangan warganet bahkan muncul diskusi hangat berkaitan dengan “privilege” atau hak istimewa.

Eka Kurniawan, sang penulis, mengunggah pendapatnya di dinding akun Facebooknya.   “Anak-anak orang kaya, CEO ini dan itu diangkat jadi staf khusus presiden, ngantor di istana, dengan gaji istana, terus nyuruh rakyat Indonesia untuk bersikap adil? Mereka berkesempatan didengar Presiden hampir tiap hari dan bisa mempengaruhi kebijakan, itu bukan privilege?" ujar Eka.

Eka yang terpilih sebagai salah satu “Global Thinkers of 2015” dari jurnal Foreign Policy, dan sederet penghargaan internasional lainnya, secara khusus menanggapi sutradara Angga Dwimas Sasongko via instastory-nya. 

“Lagi rame nyinyir soal privilege gegara Stafsus Presiden.  Kalau privilege dikaitin cuma soal anak orang kaya, atau perkara jabatan CEO, ya itu mah elunya aja yang iri hati. Sentimen kelas sosial Namanya, bukan soal privilege,” tulis Angga.

Angga juga menuliskan, ”Buat gue privilege itu ketika ada orang dapet sesuatu tanpa “merit based” atau meritokrasi.  Subjeknya gak mesti jadi anak orang kaya. Kalo orang tsb tidak punya keahlian (atau belum terhadap sesuatu, lalu ada orang yang ambil resiko buat dia mendapatkan sesuatu tersebut dan meningkatkan status hidupnya, ya namanya itu orang dapet privilege. Dia gak merit, tapi punya kesempatan itu jadi punya orang yang mampu/merit? – Privilege.”

Saya tidak menuliskan secara lengkap di sini unggahan pendapat kedua tokoh muda itu.  Pembaca bisa mengikutinya di bawah ini.

Baca Juga: [OPINI] Terobosan Pendidikan, Kunci Sukses Revolusi Industri 4.0

Menurut saya “tukar-pendapat” di antara keduanya sebenarnya mewakili apa yang selama ini ada di benak warga soal alasan di balik pengangkatan pejabat publik, mulai dari menteri, staf khusus sampai direksi dan komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).  Apakah berdasarkan merit system, yaitu kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar, atau karena kedekatan dan kontribusinya terhadap karier pengambil keputusan?Karena jadi relawan saat Pilpres?

Pemerintahan yang disokong oleh koalisi partai politik dan sejumlah organisasi baik yang berbentuk maupun organisasi tanpa bentuk melahirkan tindakan “bagi-bagi jabatan”. Ini jejak politik pragmatis dari waktu ke waktu, tidak hanya di era pemerintahan Presiden Jokowi.

Apalagi di periode pemerintahan yang kedua. Masih ingat, di lima tahun kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada 19 jabatan wakil menteri di 17 kementerian. Jadi kalau per minggu ini Jokowi sudah mengangkat 12 wamen, dan masih akan menambah lagi, dia hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan SBY.  

Bedanya adalah wamen di era SBY berstatus pegawai negeri sipil. Aturan itu dihapus, sehingga sosok seperti Archandra Tahar yang lama bekerja di Amerika Serikat bisa masuk sebagai Wamen ESDM.

Jangan dilupakan juga, selain tujuh stafsus millennial yang mendapatkan sorotan publik, masih ada enam stafsus lainnya, yaitu Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, Sukardi Rinakit, Arif Budimanta ekonom dari Megawati Institute yang juga kader PDIP, Diaz Hendropriyono yang juga ketua umum PKPI, Dini Shanti Purwono kader PSI dan Fadjroel Rahman yang merangkap komisaris utama BUMN PT Adhi Karya (Persero). Plus, Anggit Nugroho asisten pribadi presiden.

Tak bisa dipungkiri bahwa debat soal privilege dipicu oleh pengangkatan Putri Tanjung, anak dari konglomerat media Trans Corp yang juga mantan menteri koordinator perekonomian di era Presiden SBY, Chairul Tanjung. Putri Tanjung yang bikin Jokowi kaget, karena baru berusia 23 tahun, mendirikan usaha penyelenggara acara (event organizer) Creativepreneur Event Creator dan menjabat sebagai kepala eksekutif (CEO).  Dia menekuni bidang ini sejak usia 15 tahun.

Lewat kegiatannya di berbagai kota, serial Creativepreneur yang antara lain pernah menghadirkan sang ayah sebagai pembicara, Putri mengklaim sudah menginspirasi ribuan anak muda Indonesia. Tentu ada banyak sosok lain yang sukses membangun gerakan entrepreneurship di kalangan anak muda, yang layak dipertimbangkan menjadi stafsus.  Tapi, Presiden Jokowi juga punya privilege, yang sering diartikan juga sebagai hak prerogatif, untuk memilih Putri.

Sama halnya ketika Presiden memilih Angela Tanoesoedibjo sebagai wakil menteri pariwisata dan ekonomi kreatif. Dalam politik hasil koalisi, ada pertimbangan lain di luar merit system. 

Enam millennial lainnya menurut saya adalah sosok yang punya prestasi  dan layak jadi inspirasi. Lepas dari fakta mereka punya privilege berhasil menikmati kuliah di universitas ternama di luar negeri (masuk ke universitas itu tidak cuma bermodalkan uang, tapi kelayakan akademis dan rekam jejak kegiatan kemasyarakatan bukan?).  

Mereka kemudian berhasil membangun usaha rintisan sampai gerakan sosial berbasis akar rumput yang memang menjadi topik penting saat ini: akses pendidikan berkualitas untuk semua, akses bagi penyandang disabilitas, akses bagi anak muda Papua,  merawat perdamaian dan toleransi, melek keuangan sampai potensi santri.

Benang merahnya adalah, ketujuh stafsus millennial ini memiliki jejaring dan pengaruh komunitasnya. Mereka terbukti punya kemampuan eksekusi dalam kegiatan yang mereka tekuni sebelumnya. Mereka menunjukkan kepemimpinan. Leaderships.

Apakah mereka bisa menjadi eksekutor dalam posisi sebagai stafsus?  Menilik kalimat Presiden Jokowi, memang bukan itu tujuan merangkul mereka ke lingkaran satu Istana Presiden.

Seperti kata Jokowi, tujuh stafsus millennial yang menjadi mitra diskusi presiden ini bisa menjembatani komunikasi dan aspirasi dari kelompok jejaring mereka pada khususnya dan millennial Indonesia secara umum. Ide terobosan, lompatan ke depan sebagaimana yang diinginkan presiden, eksekusinya adalah di Kementerian dan Lembaga yang memiliki jalur komando birokrasi sampai ke level bawah, kecamatan bahkan desa.

Dubes RI untuk Selandia Baru, Samoa dan Kerajaan Tonga, Tantowi Yahya menanggapi pengangkatan tujuh stafsus millennial ini sebagai berikut. “Model birokrasi pemerintahan yang belum banyak berubah memang gak bisa mengikuti tren perubahan demografis dan budaya disruptif.  Meski stafsus bukan pengambil kebijakan, tapi presiden sekarang punya jendela yang pas untuk melihat pemandangan yang lebih nyata dan membuat kebijakan yang sesuai untuk tren Indonesia ke depan,” katanya.

Memang, selalu ada pertanyaan mendasar. Apakah tambahan tujuh stafsus millennial ini bisa membantu menjawab tantangan menurunnya daya saing, kondisi ekonomi yang tidak menggembirakan, masalah kesenjangan ekonomi dan sosial, ancaman sumberdaya energi, pangan dan air yang kian terbatas, lingkungan dan perubahan iklim. Belum lagi soal penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang praktis tidak menjadi prioritas di pemerintahan Jokowi.

Tapi, saya membayangkan kolaborasi ide Belva dengan Nadiem, bisa melahirkan terobosan bagi dunia pendidikan, termasuk bagi 21 juta penyandang disabilitas yang menjadi konstituen Angkie. Billy memperkuat dan membangun akses bagi anak muda Papua, bekerja sama dengan Ayu Kartika, Aminuddin, Andi Taufan dan Kementerian serta Lembaga terkait.

Putri Tanjung? Dia bisa melakukan apa saja, dengan support system yang dia punyai untuk menyukseskan program Presiden Jokowi. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya mencoba optimistis. Saya yakin, sebagian besar dari tujuh millennial ini tak perlu jabatan itu, apalagi duit gaji bulanannya untuk tetap berkiprah.

Yang perlu kita lakukan, dan saya akan melakukannya setidaknya untuk enam bulan ke depan adalah memberikan kesempatan, the benefit of the doubt. Sambil mengamati, kalau perlu mengingatkan.

Banyak hal lain yang penting kita cermati selain mengkritisi keputusan Jokowi mengangkat stafsus millennial ini. 

Ada upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan revisi UU, ada pasal-pasal di RUU-KUHP yang harus dikawal, mendesak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, pendekatan militer di Papua, potensi revisi UU pemilu yang ingin mengembalikan sistem Pilkada ke era lama, kepala daerah dipilih dewan perwakilan rakyat daerah.  

Dan, ini yang tidak kalah penting, memastikan bahwa para politisi tidak melenggang bebas dengan amandemen konstitusi. Ada kekuatan yang ingin mengembalikan sistem politik kita ke era Orde Soeharto. 

Ini harus dicegah dan dilawan. Jangan salah fokus.

Baca Juga: Jadi Staf Khusus, Putri Tanjung dan Belva Digaji Rp51 Juta per Bulan

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya