Kritik ke Menkes Terawan, Teringat Cara Kerja Jurnalis di Era Orba

Media menargetkan orang dekat presiden

Jakarta, IDN Times – Jurnalis yang bekerja di era Orde Baru, apalagi yang meliput isu politik dan nasional, biasanya mengenal sosok dengan sebutan Mayor “P”. Dia bertugas sebagai perwira di bagian penerangan, di bawah koordinasi Pusat Penerangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Telepon dari Mayor “P” biasanya diikuti “rapat kecil” yang mendadak dilakukan untuk membahas teguran atau minta perhatian dari Mabes ABRI.

ABG atau ABRI, Birokrasi, dan Golkar adalah tiga pilar kekuasaan Orde Baru, yang semuanya tunduk kepada Presiden dan Panglima Tertinggi, Soeharto. Diantara ketiganya, praktis yang dianggap paling berkuasa dan karena itu “jangan diganggu” adalah ABRI, tentara.

Masih ingat, bukan, bahwa di masa Orba, hampir semua jabatan kepala daerah dipegang  ABRI aktif, termasuk polisi yang saat itu masih di bawah ABRI. Posisi penting politik, termasuk di kabinet, dipegang ABRI. Tiga wapres Soeharto dari kalangan ABRI. Menteri Penerangan pernah dijabat Ali Moertopo dan Menkopolkam Pangkopkamtib Laksamana Soedomo sebagai contohnya.

Ginanjar Kartasasmita yang dianggap sebagai salah satu menteri ekonomi berpengaruh di tahun 90-an, berasal dari Angkatan Udara. Begitu juga Menteri Sekretaris Kabinet, kemudian Mensesneg Moerdiono. Banyak contoh lainnya.

Soeharto begitu berkuasa. Absolut power. MPR dan DPR praktis dalam genggaman Soeharto. Tukang stempel. Ingat cuplikan lirik lagu ciptaan Iwan Fals? “Wakil rakyat, bukan paduan suara, hanya tau nyanyian lagu setuju”.

Semuanya, tidak terkecuali media massa, mencoba “mlipir”, dengan cara tidak secara langsung mengkritisinya. Sikap yang sama dilakukan oleh media kepada pimpinan dan instansi ABRI.

Saya ingat, saat itu, redaksi media sering “meminjam mulut”, memuat ucapan Indonesianis, atau akademisi asing untuk mengkritisi program pemerintah. Banyak Indonesianis tinggal di Australia dan AS. Biasanya mereka pernah melakukan penelitian di Indonesia, dan menjalin hubungan baik dengan sesama akademisi dan jurnalis.
Kami pun, lebih berani mengkritisi pemerintah, terutama Soeharto dan ABRI, saat diundang dalam forum-forum di luar negeri.

Baca Juga: Melihat Jokowi Tangani COVID-19 dari Konsep Paradoks Stockdale

Kritik ke Menkes Terawan, Teringat Cara Kerja Jurnalis di Era Orbailustrasi TNI ( ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

We had many strategies”. Ini ucapan almarhum Susanto Pudjomartono, 18 Februari 2000. Kami punya banyak strategi. Susanto saat itu adalah redaktur pelaksana rubrik nasional Majalah Tempo. Dia salah satu yang diwawancarai oleh Janet Steele, penulis buku Wars Within: Pergulatan Tempo Tempo sejak Zaman Orde Baru. Janet, dosen di Universitas George Washington, meluncurkan buku itu pada 20 Juni 2005.

Dalam bab empat berjudul "The Strategies", Janet menggambarkan bagaimana cara redaksi Tempo berjuang tetap independen di era pemerintahan Soeharto yang otoriter, yang didukung kekuatan ABRI.

Saat itu, tanpa terkecuali, sebagaimana media yang ada, Tempo harus mengadopsi apa yang disebut “Pers Pancasila”. Implementasinya adalah, pers harus meliput dan memuat informasi dari pemerintah berkaitan dengan pembangunan. Tentu dalam nada positif. Tetapi, dengan gaya jurnalistiknya, Tempo mencoba untuk mengkritik dengan “mempertanyakan” kebijakan dan program pemerintah. Alasan yang digunakan, “harus cover both sides”, meliput kedua belah pihak.

“Kami harus memuat versi resmi terlebih dahulu. Itu aturan pertama. Jika tidak dilakukan, kami bisa dilarang terbit,” ucap Susanto, dalam buku itu. Dalam banyak kasus dan peristiwa, jurnalis mendapatkan banyak bahan tulisan dari perwira tingkat rendahan. Tetapi wajib mengutip pernyataan pejabat tinggi atau perwira tinggi supaya publikasinya aman.

Membaca buku itu, mengingatkan saya atas kongkow-kongkow dengan para senior, tahun-tahun jelang Reformasi Mei 1998. Saat itu saya memimpin Majalah Panji Masyarakat. Para senior bercerita kepada saya bagaimana caranya meliuk-liuk, menghindari beredel atau kemarahan Presiden dan ABRI. Kurang lebih isinya sama dengan yang dimuat di buku tulisan Janet Steele.

Media membuka saluran lobi ke pihak-pihak kekuasaan, termasuk ke ABRI. Ada pembagian tugas, si anu menjalin hubungan dekat dengan pihak itu. Si dia harus berbaik-baik ke Istana, lewat menteri kepercayaan Soeharto. Jadi, bisa dapat bocoran atau aba-aba terlebih dahulu kalau “Kekuasaan tidak berkenan”. Dalam banyak hal, jurnalis bahkan “memanfaatkan” faksi, persaingan dalam kabinet ataupun di ABRI untuk mencari informasi dan menyajikannnya. Saling memanfaatkan.

Majalah kami dianggap lumayan kritis ke ABRI. Saya ingat selalu ditelepon seorang menteri Soeharto, ”Uni, kalian menulis apa sih? Kok si anu (menyebut nama jenderal) tadi ngomel-ngomel saat kami ketemu di rapat kabinet?” Saya bahkan pernah dipanggil menghadap Menhankam saat itu, Jendral TNI Wiranto, gara-gara memuat sampul majalah gambar dia dan Prabowo. Tata letak sampul mengesankan tongkat komando Prabowo, “menyodok” perut Wiranto. Kebetulan cuma foto itu yang kami punya.

Wiranto tidak berkenan. Zaman itu, penempatan foto, sampul, jadi masalah besar. Untungnya, dalam edisi itu ada wawancara khusus dengan dia. Jadi kami bisa bertahan, tidak punya niat buruk dengan foto sampul itu. Toh kami memuat wawancara khususnya. Tema liputan soal suasana kepemimpinan di ABRI. Benarkah ada rivalitas kepemimpinan?

Panji Masyarakat pula yang pertama kali secara jelas menyebut nama dan memuat keterlibatan Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis. Dari mana kami mendapatkan informasi itu? Dari kalangan “dalam” juga. Tentu saja, sama halnya dengan strategi yang dilakukan Tempo, kami mencari konfirmasi, cover both sides, kepada petinggi ABRI, sebelum menurunkan laporan itu. Prabowo Subianto adalah jenderal berpengaruh saat itu, karena posisinya sebagai menantu Presiden Soeharto.

Hal lain yang dilakukan media saat itu untuk mengkritisi pemerintahan Soeharto termasuk ABRI, adalah memuat kutipan panjang dari sebuah laporan. Dalam bukunya, Janet Steele memuat bagaimana Tempo memuat kutipan dari keterangan di muka persidangan.

“Pendapat dari pihak oposisi bisa diterbitkan karena sudah menjadi dokumen publik,” tulis Janet, yang merujuk kepada laporan Tempo soal kasus Petisi 50. Majalah ini memuat pernyataan Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta, di depan sidang kasus subversi yang dengan terdakwa HR Dharsono, seorang pensiunan jenderal.

Jadi, meminjam mulut orang, beralasan bahwa media harus meliput kedua belah pihak untuk menjalankan fungsi jurnalistik, memuat keterangan resmi di awal laporan, sampai mengutip dokumen di depan persidangan adalah cara media di era Soeharto untuk melancarkan kritiknya. Mlipir.

Kritik ke Menkes Terawan, Teringat Cara Kerja Jurnalis di Era Orbainstagram.com/tututsoeharto

Cara lain yang dilakukan adalah, pilih sasaran kritik yang secara politik dianggap “lemah” di mata ABRI, dan dianggap dekat dengan Presiden Soeharto. Di sinilah posisi Bacharuddin Jusuf Habibie. Menteri kesayangan Soeharto, bahkan diangkat jadi wapres di periode terakhir Presiden Soeharto. Meskipun dekat dengan Jenderal Feisal Tanjung dan Prabowo saat itu, yang dikenal dengan sebutan “ABRI Hijau”, Habibie banyak dikritisi oleh pihak militer, antara lain karena “menguasai” industri strategis.

Jadi, mengkritik Soeharto, yang notabene kekuasaannya absolut saat itu, dilakukan dengan mengkritisi orang dekatnya. Dalam hal ini Habibie. Padahal saat itu tidak ada proyek strategis yang jalan tanpa persetujuan presiden. Gara-gara liputan pengadaan kapal selam dari Jerman, Tempo diberedel lewat keputusan Menteri Penerangan Harmoko.

Setelah Reformasi 1998, tekanan kepada media dari jurusan pemerintah berkurang. Tekanan datang dari publik yang marah, atau kepentingan politik dan bisnis pemilik. Penguasa tidak lagi mengutus orang semacam Mayor “P” untuk menelepon pemimpin redaksi, meminta jangan memuat informasi tertentu. Caranya lebih halus, termasuk mengundang makan-makan atau jalan-jalan dengan alasan sosialisasi program. Terpulang kepada medianya, apakah mau tetap kritis atau terkooptasi.

Di era media sosial, kritik secara langsung dapat dilakukan oleh publik melalui akun media sosial pejabat, bahkan presiden. Dalam banyak kasus, apalagi penanganan COVID-19, kritik, masukan, saran, protes, disampaikan ke presiden. Media massa juga memuat kritik dan masukan ahli, dan memuat kisah-kisah pasien, strategi pemimpin negara lain, ucapan pejabat Badan Organisasi Dunia (WHO), dalam membandingkannya dengan penanganan di pandemik di tanah air. Cara menyindir, mulai dari yang halus sampai kencang.

Baca Juga: Enam Bulan Pandemik COVID-19 di Tangan Jokowi

Kritik ke Menkes Terawan, Teringat Cara Kerja Jurnalis di Era OrbaKeterangan Pers Menteri Kesehatan di Kantor Presiden pada Senin (14/9/2020) (Youtube.com/Sekretariat Presiden)

Soal kinerja Menteri Kesehatan Terawan, sudah diprotes sejak awal, bahkan sebelum Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan pasien kesatu pada 2 Maret 2020. Ketika pada sidang kabinet 3 Maret 2020, Presiden memutuskan juru bicara adalah Achmad Yurianto, yang juga mayor jenderal TNI, sebenarnya Presiden “melindungi” Terawan dari kritik kencang publik.

Dalam tayangan Mata Najwa (22/4/2020), Jokowi terang-terangan menganggap Terawan sudah bekerja sangat keras termasuk dalam menangani pandemik COVID-19.

Sejak 31 Agustus 2020, Jokowi mengundang sejumlah pemimpin redaksi, dalam tiga kali pertemuan terpisah. Ada pertanyaaan soal apakah akan ada pergantian anggota kabinet, atau reshuffle. Jokowi menjawab, “COVID... COVID kok reshuffle." "Berkali-kali,” kata seorang pemimpin redaksi.

Jadi, lepas dari kecewanya saya (dan sebagian publik) terhadap kinerja Menkes Terawan dalam penanganan COVID-19, menurut saya percuma mengharapkan dia mundur, sebagaimana yang dilakukan menkes di negara lain. Dalam sejarah setelah refomasi, menteri yang mundur karena merasa beda pendapat dengan presiden adalah Ryaas Rasyid, di era Presiden Abdurahman Wahid.

Menteri di era Jokowi ada yang mundur karena terlibat kasus hukum, atau ikut pemilu legislatif. Sama halnya dengan menkes di negara lain yang mundur karena dianggap gagal tangani pandemik, kita tidak pernah tahu persis, bagaimana proses mundurnya menteri yang kena kasus hukum. Inisiatif sendiri? Atau diminta mundur?

Begitu juga dengan Menkes Terawan. Yang pasti, dan jelas, Jokowi pernah mengatakan, tidak ada visi misi menteri, yang ada adalah visi misi presiden dan wakil presiden. Jadi, kalau Menkes Terawan memilih tetap berada di posisinya, meskipun penanganan pandemik dianggap bermasalah besar, tentu atas izin dan kemauan Presiden. Bahkan kalau Terawan merasa gagal dan ingin mundur pun, tidak kejadian tanpa restu Presiden.

Jadi, buat apa “mlipir” dengan menimpakan kritik atas penanganan COVID-19 ke Menkes? Kalau sedikit-sedikit mau merujuk ke AS, yang dikritik media dan publik adalah Presiden Donald J Trump. Yang minta maaf karena ketahuan gak pakai masker saat ketemu warga adalah Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Arden. Menkes Selandia Baru mundur karena ketahuan melanggar aturan lockdown. Dua menkes Brasil mundur karena gak setuju dengan cara Presiden Jair Bolsonaro menangani COVID-19. Menkes Belanda mundur karena alasan kesehatan, ambruk dalam debat di parlemen. Ini biar jelas ya, jangan begitu saja dibandingkan dengan kondisi kita.

Keputusan jalan terus Pilkada 2020 yang menyimpan bom waktu ledakan kasus COVID-19, misalnya, bukan tanggung jawab Menkes. Itu kemauan Presiden. Yang mendapat mandat dari rakyat siapa?

Baca Juga: Komunikasi Publik yang Ambyar di Masa Pandemik Virus Corona

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya