Mendadak! Pemerintah Indonesia Buka Visa Calling untuk Israel 

Israel gencar ajak normalisasi

Jakarta, IDN Times – Saat seluruh perbatasan Indonesia masih ditutup untuk kunjungan
orang asing karena pandemik COVID-19, pemerintah mendadak membuka layanan “calling
visa”. Layanan ini dibuka untuk delapan negara, termasuk Israel, Ketujuh negara lain adalah Afghanistan, Guinea, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria dan Somalia.

Calling Visa diperuntukkan bagi warga yang negaranya dalam kondisi atau keadaan
negaranya dinilai mempunyai tingkat kerawanan tertentu ditinjau dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara dan aspek keimigrasian.

Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan
HAM, Arvin Gumilang, menyatakan pelayanan akan dibuka mulai Senin (23/11/2020).
Menurut Arvin, layanan ini sempat dihentikan selama pandemik COVID19. Uji coba telah
dilakukan pada hari Jumat (20/11/2020). Para penjamin orang asing dari negara subjek
calling visa bisa mengajukan permohonan melalui laman www.visa-online. imigrasi.go.id.

Dalam keterangan tertulisnya, Arvin mengatakan untuk tenaga kerja asing bisa mengunggah dokumen permohonan melalui website tka-online.kemnaker.go.id milik Kementerian Tenaga Kerja. Alasan dibukanya kembali pelayanan calling visa ialah karena banyaknya tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara calling visa. Layanan khusus ini juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur.

Arvin mengungkapkan bahwa proses pemeriksaan permohonan elektronik visa bagi warga negara subjek calling visa melibatkan tim penilai yang terdiri dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional.

"Tim ini akan mengadakan rapat koordinasi untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk diberikan visa," ujar Arvin. Semacam clearing house.

RI masih menutup perbatasan untuk orang asing

Mendadak! Pemerintah Indonesia Buka Visa Calling untuk Israel Ilustrasi Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) (Dok. Angkasa Pura II)

Menilik situasi, waktu, serta alasan dibukanya layanan calling visa ini menarik. Sampai saat ini, praktis Indonesia masih menutup perbatasannya dari kunjungan warga negara asing, sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenhukham) Nomor 11 Tahun 2020, tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia, yang kemudian diganti dengan Permenhukman Nomor 26 Tahun 2020 tentang Visa dan Izin Tinggal Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru, yang
esensinya hampir sama dengan Permenhukham 11/2020.

Visa kunjungan dan visa tinggal terbatas yang berlaku saat ini adalah untuk satu kali
perjalanan yang diberikan dalam rangka: melakukan pekerjaan darurat dan
mendesak, melakukan pembicaraan bisnis, melakukan pembelian barang, uji coba
keahlian bagi calon tenaga kerja asing, tenaga bantuan dan dukungan medis dan
pangan, dan tergabung dengan alat angkut yang berada di wilayah Indonesia. Ada juga visa tinggal terbatas tidak dalam bekerja, meliputi: melakukan penanaman modal asing, penyatuan keluarga dan wisatawan lanjut usia mancanegara.

Selain itu, antara Juli sampai Oktober 2020, Indonesia menyepakati Pengaturan Koridor
Perjalanan atau Travel Corridor Arrangement (TCA) dengan empat negara, yaitu Korea Selatan, Tiongkok, Uni Emirat Arab dan Singapura. Bandar Udara Soekarno-Hatta menjadi
salah satu pintu masuk warga dari empat negara tersebut. TCA bertujuan memfasilitasi
kemudahan perjalanan khusus bisnis, ekonomi, diplomatik dan dinas.

Jadi, kalau payung besar penutupan perbatasan negara untuk perlindungan dari COVID-19
masih diberlakukan, mengapa justru Ditjen Imigrasi secara khusus membuka layanan
calling visa untuk delapan negara itu? Alasan tenaga ahli, investor, kawin campur menurut
saya kurang cocok dikenakan ke delapan negara, mengingat kondisi ekonomi dan politik
yang sama atau di bawah Indonesia. Kecuali Israel.

Diam-diam banyak warga Israel datang ke Indonesia

Mendadak! Pemerintah Indonesia Buka Visa Calling untuk Israel Ilustrasi Suasana Pandemik COVID-19 di Israel (ANTARA FOTO/Oded Balilty)

Mungkinkah, ketujuh negara itu hanyalah “pelengkap” bagi Israel? Selama ini sebetulnya
banyak warga Israel yang memiliki dual-passport, datang ke Indonesia, terutama untuk
urusan bisnis. Saat berkunjung ke Israel, saya bertemu dengan sejumlah pebisnis Israel yang mengaku pernah berkunjung ke Indonesia menggunakan paspor negara lain. Saya pun pernah bertemu warga Israel yang datang ke Jakarta dengan paspor negara lain.

Pemberian calling visa untuk Israel ini juga tak lama setelah kunjungan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ke AS. Di sana, Menko Luhut yang didampingi Duta Besar Republik Indonesia untuk AS, Muhammad Lutfi, bertemu dengan Presiden Donald J. Trump.

Baca Juga: Di Balik Pertemuan Menko Luhut dan Presiden AS Donald Trump 

Informasi yang saya dapatkan, sebetulnya agenda utama Luhut ke Gedung Putih adalah
bertemu dengan CEO International Development Finance Corporation (IDFC) Adam Seth
Boehler dan Jared Kushner, menantu Trump yang menjadi penasihat senior di Gedung Putih.

Boehler dan Kushner teman kuliah. Begitu ada jadwal kosong, Kushner dan istrinya, Ivanka
Trump membawa Luhut dan Lutfi bisa bertemu Trump. Namanya antara anak dan
bapaknya. Tidak heran, pertemuan itu tidak ada dalam jadwal harian Trump.

Dubes Lutfi membantah ada pembicaraan soal Israel-Palestina dalam pertemuan Menko
Luhut dengan Trump, maupun saat bertemu Kushner. “Pembicaraan hanya soal persahabatan dan ekonomi,” ujar Lutfi (21/11/2020).

Boehler saat berkunjung ke Indonesia sebelumnya, bertemu dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan mengatakan tertarik investasi di Sovereign Wealth Fund (SWF), lembaga dana abadi yang dibentuk sebagai implementasi Undang-Undang Cipta Kerja. IDFC adalah lembaga yang dibentuk di era Trump, untuk mobilisasi dana pembangunan negara mitra. Termasuk mobilisasi dana swasta.

Kushner, adalah utusan dan pelobi utama Trump untuk mencari solusi konflik Israel-
Palestina, lewat proposal Kesepakatan Abad Ini (Deal of the Century). Hasilnya, UAE,
Bahrain, dan Sudan, meneken normalisasi hubungan dengan Israel.

Juru bicara kementerian luar negeri, yang juga Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik, Teuku Faizasyah merespons pertanyaan saya apakah Kemlu sebagai salah satu anggota clearing house diajak bicara soal pembukaan layanan calling visa ini?

“Mengenai proses keputusan itu saya tidak tahu, ada baiknya ditanyakan ke Kumham yang
mengeluarkan pernyataan tersebut,” kata Faizasyah, Senin malam (23/11/2020).

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid saat saya kontak mengaku belum tahu dan akan
mempelajari urgensi calling visa untuk Israel dan tujuh negara itu.

PM Israel diam-diam bertemu Pangeran Salman

Mendadak! Pemerintah Indonesia Buka Visa Calling untuk Israel Perdana Menteri Israel Netanyahu. Foto : Twitter / @netanyahu

Pergerakan Israel yang ingin normalisasi hubungan dengan negara berpenduduk Islam makin kencang. Senin (23/11/2020), media Israel, Haaretz melaporkan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu diam-diam terbang ke Arab Saudi dan bertemu dengan Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) dan Menteri Luar Negeri AS Michael “Mike” Pompeo.

Kepala Dinas Rahasia Mossad Yossi Cohen disebut-sebut ikut dalam pertemuan yang
berlangsung di kota Neom. Kantor PM Netanyahu awalnya bungkam soal pertemuan ini,
namun pergerakan pesawat pemimpin Israel itu pada Minggu malam (22/11/2020) dipantau lewat situs pelacakan penerbangan.

Penasihat senior pemerintah Arab Saudi mengonfirmasi pertemuan Netanyahu dengan
Pangeran Salman, namun menolak adanya kesepakatan dari pertemuan itu. Menurut
informasi yang didapat Wall Street Journal, pertemuan itu membahas isu normalisasi
hubungan dan soal Iran. Bagi Israel, Iran adalah musuh. Setiap kali mendapatkan paparan
penjelasan soal negara Israel, mereka secara jelas menyatakan musuh negara adalah Iran.

Laman CNN memuat pernyataan Menteri Pendidikan Israel Yoav Gallant yang dalam
wawancaranya dengan Radio Tentara mengucapkan selamat kepada Netanyahu atas
pertemuan dengan Pangeran Salman dan menyebut sebagai “pencapaian luar biasa”. Pihak Pompeo menolak berkomentar soal pertemuan antara Netanyahu dengan Pangeran
Salman. Mereka juga bungkam soal kehadiran Pompeo di pertemuan itu. Satu-satunya jadwal yang diumumkan resmi hanya pertemuan Pompeo dengan Pangeran Salman. Bulan lalu Pompeo ke Indonesia bertemu Presiden Jokowi dan Menlu Retno Marsudi.

Madawi al-Rasheed, guru besar tamu di Institut Timur Tengah, di London School of
Economics menyebutkan, Pangeran Salman diduga tidak akan terang-terangan meneken
normalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel. Banyak pihak yang menentang itu,
termasuk di kalangan keluarga Kerajaan. Reputasinya bisa terancam, bahkan nyawanya juga.

“Saat ini rezim Saudi, khususnya MBS, merasa lebih bermanfaat untuk menormalisasi
hubungan dengan Israel tanpa menyatakannya terbuka, misalnya dengan membiarkan
pengibaran bendera Israel di Riyadh,” kata al-Rasheed dalam artikel yang dimuat di laman
middleeasteye.net pada 28 Oktober 2020.

Menurut al-Rasheed, sejauh ini, lewat “Payung Saudi”, UAE, Bahrain dan Sudan, berhasil
diseret ke normalisasi dengan Israel, tanpa MBS, nampak terlibat. Soalnya, kalau terbuka,

hal itu bisa dibaca sebagai dukungan terhadap Presiden Trump yang berjuang untuk terpilih lagi. Faktanya Trump dikalahkan Joe Biden. Sambil menunggu saat yang tepat untuk secara terbuka menormalisasi hubungan dengan Israel, MBS diduga akan membawa lebih banyak negara Arab normalisasi hubungan dengan Israel, dan ini diharapkan membuat dukungan Washington kepada dirinya menguat.

Pangeran Salman juga diduga akan menggunakan mesin pengaruhnya ke media massa untuk menggerogoti citra Palestina di mata publik, sampai titik di mana normalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel tak bisa ditolak lagi, dan tidak membahayakan posisinya dan rezim Saudi. Semacam hubungan suami istri tanpa pernikahan resmi.
Pertanyaan berikutnya, apakah Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, dan diharapkan oleh sejumlah pihak ikut menjadi mediator konflik Israel-Palestina, bakal masuk dalam “Payung Saudi” pula?

Apakah membuka calling visa bagi Israel adalah langkah ke arah itu?

Baca Juga: [WANSUS] Dubes Lutfi soal Indonesia-AS di Era Trump vs Biden

https://www.youtube.com/embed/sjsGBVcSM1E

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya