Mural Selalu Jadi Ekspresi Kritik Secara Damai

Pembuat mural harusnya tak perlu dikriminalisasi

Jakarta, IDN Times - Seniman asal Meksiko, Enrique Chiu, bekerjasama dengan 3.800 relawan untuk melukis pesan-pesan yang membangkitkan semangat perdamaian. Ketika kerja bareng itu rampung, lukisan mural mereka terbentang dari kawasan Laut Pasifik sampai Teluk Meksiko. Chiu dan ribuan relawan melukis di ‘kanvas’ yang tidak biasa.

Mereka menghiasi dinding perbatasan Meksiko dengan Amerika Serikat, tentu di bagian wilayah Meksiko. Lukisan mural yang masif, dilengkapi pesan-pesan itu, dimaksudkan membangun, “dinding indah yang besar” di antara kedua negara. Momennya saat pemilihan presiden AS 2016. Mural dan pesan merespons agenda kandidat presiden Donald. J. Trump yang bertekad membangun tembok yang membendung, menghalangi imigran masuk ke AS.

Mural menjadi karya seni dan aktivisme, simbol ekspresi di zaman ini. “Mural tidak hanya berbicara tentang perpecahan dan pengalaman universal migrasi, tetapi juga tentang ketahanan dan harapan,” tulis Sarah Jilani yang menekuni literatur pasca kolonial di Universitas Cambridge. Jilani yang menulis soal budaya di sejumlah media ternama termasuk The Economist, menyajikan sejarah eratnya hubungan antara seni mural dengan ekspresi politik.

Menilik sejarahnya, mural di Meksiko adalah sebuah upaya keras menyampaikan pesan yang disajikan secara artistik. Masa awal lukisan dinding Mesoamerican terjadi tahun 900 sebelum masehi, di masa peradaban Olmec. Muralisme pertama kali menjadi alat kendali seni oleh pemerintah sosialis yang muncul sebagai pemenang setelah Revolusi Meksiko 1910-1920.

Untuk mempromosikan cita-cita sayap kiri revolusi, tiga muralis terkemuka di periode itu, David Alvaro Siqueros, Jose Clemente Orozco, dan Diego Rivera (mereka dkenal sebagai los trees grandes, atau tiga yang hebat), ditugasi membuat karya mural di gedung publik, menceritakan masa lalu dana masa kini orang-orang Meksiko.

Maksud penugasan itu adalah menjalankan fungsi edukasi sejarah, sesuai agenda penguasa. Alih-alih tunduk kepada agenda propaganda itu, ketiganya tidak hanya membuat grafis mural saja, melainkan menyampaikan pesan sosial lewat mural sesuai interpretasi mereka tentang budaya revolusioner.

Orozco, tidak seperti rekan muralisnya, tidak pernah mengagungkan Revolusi Meksiko. Dia justru menggambarkan kengerian semua perang, terlepas ideologinya. Lukisan muralnya dikritik, bahkan ada yang dirusak.

Mural Selalu Jadi Ekspresi Kritik Secara DamaiMural pria mirip Presiden Jokowi di tembok Jembatan Pasupati sebelum dan setelah dihapus. IDN Times/Debbie Sutrisno

Baca Juga: Mural Pria Mirip Presiden Jokowi di Bandung Dihapus Aparat

Di bagian lain, pelukis mural terus berhadapan dengan kekuasaan. Mural menjadi ekspresi kolektif identitas, seperti para seniman mural yang tergabung dalam Gerakan Seni Kulit Hitam Afrika-Amerika di tahun 60-an dan 70-an. Mereka melukis potret pada pahlawan kulit hitam, laki-laki dan perempuan, di dinding kawasan pemukiman orang kulit hitam. Ada “The Wall of Respect” di Chicago (1967-1971) yang digunakan untuk mengekspresikan peringatan politik dan literasi sejarah.

Melintasi atlantik, warga melukis mural di dinding bagian barat dari Tembok Berlin sampai kejatuhannya pada 1989. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan itu, sambil berfoto di Check Point Charlie tentunya, masih bisa menikmati seni mural di sana.

Tak kurang dari 2.000 mural terpampang di Irlandia Utara, di kota seperti Belfast dan Derry, sepanjang tahun-tahun sulit (1968-1998). “Jika mural dianggap sebagai tempat berkaca bagi perubahan politik, maka ia menjadi refleksi perjuangan di abad ke-20,” tulis Jilani.

Ekspresi protes lewat mural juga dilakukan di Hongkong, ketika pada 2018 warga menggunakan mural sebagai alat kampanye mendukung kelestarian wilayah desa. Mereka menggambar mural di kawasan Desa Ping Yeung San Tsuen, dikenal kemudian sebagai “Desa Pelangi”, dan menjadi tujuan wisata. Lewat mural itu, warga memaksa buldoser yang hendak meratakan desa mereka, untuk mundur. Mural menjadi simbol perlawanan secara damai.

Gelombang protes terbesar di Hongkong yang terjadi 2019, melawan pemerintahan Tiongkok, juga menggunakan mural, grafiti pesan protes yang secara sengaja dipajang di dekat gedung dewan legislatif. Pesan seperti, “Kalian kan yang mengajari bahwa protes secara damai tidak mempan”, menjadi alasan pembenar 2 juta warga Hongkong turun ke jalan. Mereka pernah melakukannya pada 2014 lewat Gerakan Payung, yang ternyata tidak menghentikan upaya Beijing membawa jarum jam demokrasi dan otonomi yang sempat dinikmati wilayah Hongkong, berputar balik.

Revolusi Payung di Hongkong lewat mural, terinspirasi Lennon Wall di Praha. Ada banyak contoh lain, termasuk di Melbourne ketika seniman ekspresikan protes sikap Islamophobia yang ditunjukkan anggota parlemen Australia, Paulina Hanson dan Fraser Anning, setelah peristiwa serangan masjid ke Selandia Baru. Di Sydney ada mural yang mendukung masyarakat adat. Saat Revolusi Januari dan Arab Spring di Mesir, mural dan grafiti juga menjadi sarana ekspresi dan menjadi seni jalanan.

Ada banyak referensi selain tulisan Jilani di frieze.com yang membuka mata persan mural dalam ekspresi sosial dan politik, terutama berhadapan dengan kekuasaan. Jika penguasa dan elite bisa menggunakan baliho, iklan ratusan juta di media, sampai mengerahkan pendengung di media sosial, mestinya ekspresi kritik warga lewat seni mural tak perlu dibungkam, apalagi dianggap sebagai aksi kriminal.

Kita ingat, sejumlah daerah pernah mengundang seniman melukis mural di dinding bawah jalan tol, agar kota jadi lebih enak dipandang. Jika dinding bawah jembatan tol adalah ruang publik, bukankah warga juga berhak melukis mural sebagai ekspresi sikap sosial dan politiknya di dinding yang sama? Mengapa harus meminta izin, kecuali di wilayah privat?

Pemerintah dan politisi bebas menciptakan polusi pemandangan dengan memasang slogan dan foto diri mereka di berbagai lokasi, mengapa warga tak boleh menggelar seni jalanan yang lebih menarik dipandang?

Di masa pandemik, ketika warga diminta tidak turun berkerumun, termasuk menyampaikan protesnya, maka mural menjadi ekspresi yang ”aman dan damai” bagi mereka untuk menyampaikan pesan.

Kritik, jika benar dan beralasan tak perlu ditangkap dan dikriminalisasi, melainkan dijadikan input perbaikan kebijakan. Penguasa perlu keluar dari perangkap “Asal Bapak Senang” yang dibuat lingkaran terdekatnya. Ketika warga merasa negara tidak hadir saat orang kesayangan mereka meregang nyawa, tak kuasa mereguk nafas karena oksigen dan obat sulit didapatkan, maka itu adalah realita yang ada, yang harus diakui, agar bisa memperbaiki agar tidak terjadi lagi. Jika Presiden dianggap sebagai “orang tua” oleh rakyatnya, di mana jahatnya jika anak yang sengsara, susah hidupnya, mencari bapaknya?

Memusuhi mural dan pembuatnya, tak akan bisa membungkam rasa dan asa warga. Mati satu tumbuh seribu. Tengoklah kompetisi melukis mural yang dibuat Gejayan Memanggil, yang salah satu kriteria dapat poin adalah paling cepat dihapus aparat. Sindiran tajam. Pengalaman di masa lalu harusnya jadi tempat penguasa berkaca.

Baca Juga: Gejayan Memanggil Gelar Lomba Mural, Karya Dihapus Dapat Nilai Lebih  

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya