[OPINI] Habibie, Kontroversi Beredel dan Warisan Jalan Demokrasi 

17 Bulan Habibie memerintah, lahir UU monumental

Jakarta, IDN Times – "Habibie sangat mengasyikkan, kedua tangannya bergerak seiring dengan perubahan cepat ekspresi di wajah dan nada suaranya. Dia tidak bisa duduk diam saja, tampak sangat bersemangat dan gelisah. Habibie berganti-ganti topik bicara, di antaranya menggarisbawahi pencapaiannya, kualitas spesialnya, dan secara tersirat melancarkan ancaman ke Singapura. Dia menceritakan bahwa dia hidup di Eropa selama 25 tahun sejak usia 18 tahun, dan memahami nilai-nilai seperti demokrasi dan hak asasi manusia”.

Kutipan di atas adalah cerita Menteri Pendidikan sekaligus Wakil Menteri Pertahanan Singapura, Theo Chee Hean, sebagaimana diceritakan mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew di bukunya, "From Third World to First, The Singapore Story: 1965-2000".

PM Lee menyebutkan, Presiden BJ Habibie memberikan “kuliah” sepanjang 80 menit kepada Menteri Theo.

Saya membaca kembali bagian dari buku itu setelah Pak Habibie meninggal, Rabu 11 September 2019, pukul 18.05 WIB, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta.

Pak Habibie meninggal dalam usia 83 tahun. Innalillahi wainna ilaihirajiun.
Saya pernah mewawancarai Pak Habibie secara khusus, dua kali saat menjadi reporter ekonomi. Pak Habibie masih menjadi menteri riset dan teknologi. Apa yang dialami Menteri Theo menggambarkan suasana ngobrol atau wawancara dengan Pak Habibie.

Dia sosok ilmuwan yang selalu ingin menjelaskan sesuatu hal dengan lengkap. Panjang lebar. Tidak kehilangan energi meskipun sudah lewat satu jam. Sangat ekspresif. Penuh energi. Suaranya khas, tiada duanya. Mudah dikenali.

Karena itu, ketika suatu hari di bulan Februari 1999, saya yang saat itu menjabat pemimpin redaksi Majalah Panji Masyarakat, mendapatkan kaset rekaman yang isinya adalah bocoran pembicaraan telepon antara Presiden Habibie dan Jaksa Agung saat itu, Andi M. Ghalib, saya langsung merasa yakin bahwa itu suara Pak Habibie. Publik Indonesia pun yakin. Waktu itu belum populer teknologi kecerdasan buatan (AI) yang bisa memproduksi konten "deep fake".

Rekaman percakapan telepon itu tentang pemeriksaan terhadap Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto. Habibie menanyakan pemeriksaan atas kasus dugaan korupsi berkaitan dengan sejumlah yayasan.

Saya yakin itu suara Habibie. Meskipun begitu, proses verifikasi jurnalistik kami lakukan termasuk ke pihak Jaksa Agung Andi Ghalib.

Gara-gara memuat bocoran rekaman pembicaraan telepon itu, saya diperiksa oleh polisi seharian penuh. Inti pemeriksaan polisi adalah, siapa yang memberikan kaset rekaman itu. Tentu saja saya menggunakan Hak Tolak, yang diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Hak Tolak adalah hak yang dimiliki seorang wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Hak Tolak merupakan bentuk tanggung jawab wartawan di depan hukum terhadap pemberitaan yang dibuatnya.

Kasus itu kemudian tidak dilanjutkan oleh pemerintah saat itu. Pemeriksaan kepada saya selaku penanggung jawab redaksi Majalah Panji Masyarakat saat itu, tentu berdasarkan perintah dari atasan polisi. Beberapa tahun kemudian saya mendapatkan informasi, bahwa Pak Habibie menerima saran dari orang dekatnya agar tidak melanjutkan pemeriksaan kepada kami, dengan alasan itu mencederai kemerdekaan berekspresi.

Pak Habibie saat itu naik menjadi presiden menggantikan Soeharto yang menyatakan berhenti. “Pak Habibie sebenarnya lebih marah kepada siapa yang menyadap percakapan telepon itu dan menyebarkannya ke media,” demikian kata sumber saya.

Kamis pagi, 12 September 2019, saya menelepon Mas Parni Hardi. Mas Parni adalah salah satu wartawan senior yang sangat dekat dengan Pak Habibie. Dia adalah salah satu pendiri dan pernah menjabat Pemimpin Redaksi Republika, koran yang didirikan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dibidani oleh Pak Habibie.

Saat Pak Habibie menjabat presiden, Parni Hadi juga menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi LKBN Antara, kantor berita yang dikuasai pemerintah.

“Begitulah Pak Habibie. Lama di Jerman dan Eropa, dia sangat terbuka, demokratis, super cerdas, gak bisa terima pengekangan. Berpikir bebas. Habibie itu ilmuwan, bukan politisi,” kata Mas Parni di ujung telepon.

Saya menanyakan soal sikap Habibie terhadap beredel alias penutupan Majalah Tempo, Majalah Editor, dan Tabloid DeTik pada Juni 1994. 

Majalah Tempo edisi 7 Juni 1994 mengkritisi pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Tempo dan kedua media yang diberedel itu, menyoal harga pembelian yang diperdebatkan antara Menristek BJ Habibie dan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad.

Fokusnya pada perbedaan besaran harga dari US$ 12,7 juta menjadi US$ 1,1 miliar. Tempo juga memuat indikasi pembengkakan harga kapal bekas sebesar 62 kali.

Sebagaimana dimuat dalam laman Tempo pada 9 Juni 1994, dua hari setelah pemberitaan tersebut, Presiden Soeharto marah besar. Saat meresmikan pembangunan Pangkalan Utama Angkatan Laut di Teluk Ratai, Lampung, Soeharto menegaskan keberpihakannya kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang bakal menggunakan kapal-kapal bekas itu. Soeharto memerintahkan supaya menindak tegas media yang “mengadu domba”.

Beredel tiga media membuat Habibie ikut menuai kritik. Apalagi, Habibie dianggap sebagai bagian dari rezim Soeharto, karena sangat dekat dan jadi menteri kesayangan. Terbukti kemudian Soeharto memilihnya menjadi wakil presiden.

“Waktu pers ditutup, diberedel, beliau gak ada di Jakarta. Beliau ada di Tokyo. Jam satu malam, saya cari beliau. Saya telepon. Mas Rudy (panggilan BJ Habibie), ini bagaimana? Media diberedel setelah memuat berita kapal perang bekas. Saya kan perlu konfirmasi bagaimana kami akan memberitakan ini di Republika. Beliau saat itu menyatakan tidak tahu, dan tidak merekomendasikan beredel,” ujar Parni.

Belajar dari pengalaman saat memuat berita pertemuan Soeharto dengan petani transmigran di Kalimantan Utara, di mana Antara memuat “Presiden prihatin” atas keluhan petani, Parni Hardi menggunakan kata “prihatin” saat menyampaikan sikap PWI dan memuat beritanya.

“Saat itu, di era Soeharto, wartawan harus pandai-pandai merangkum kalimat agar substansi tetap bisa diberitakan oleh Antara,” kenang Parni sambil tertawa.

Ketika menyampaikan pidato di perayaan Hari Ulang Tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada Agustus 2013, Habibie menyampaikan klarifikasi soal beredel tiga media itu. Habibie mengaku memprotes pemberedelan itu ke Menteri Penerangan Harmoko. Harmoko melakukannya atas perintah Soeharto.

Habibie mengaku menegur Harmoko. Namun Harmoko mengaku terlanjur menandatangani pemberedelan itu. Keputusan beredel secara hitam di atas putih ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pers dan Grafika, di Departemen Penerangan saat itu, Subrata. Kuat dugaan Harmoko memanfaatkan situasi marahnya Soeharto untuk menutup ketiga media itu.

Peristiwa lain yang dianggap sebagai bukti Habibie mau menerima kritik, adalah saat dia melawan budaya "cekal" di era Orde Baru. Soal ini diceritakan A. Makmur Makka dalam buku berjudul ‘Total Habibie, Kecil Tapi Otak Semua”. Makmur Makka pernah menjabat pemimpin redaksi Republika dan menjadi staf menristek juga.

Habibie biasa bersilaturahmi Idulfitri ke kediaman Jenderal (Purn) A.H. Nasution dan beberapa jenderal senior lainnya. Pada Idulfitri 25 Maret 1993, ketika bersiap akan pulang, tiba-tiba ada suara memanggil, “Hai Pak Habibie!” Yang memanggil adalah Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.

Dalam buku Total Habibie diceritakan bahwa Ali Sadikin mengkritik PT PAL (karena industri strategis masuk di bawah supervisi Menristek Habibie). Ali Sadikin menyampaikan hal yang dia baca di surat kabar, bahwa PT PAL itu boros karena antara investasi dan hasil tak seimbang.

Habibie tentu membantahnya. Tapi kata Ali Sadikin, "coba periksa surat kabar, kalau memang tidak benar, counter dong.”

Habibie ingin membuktikan kritik surat kabar tidak benar, dengan mengundang Ali Sadikin berkunjung ke PT PAL di Surabaya. Ali Sadikin pernah menjabat menteri kemaritiman di era Sukarno.

Ali Sadikin kaget dan sempat tidak yakin Habibie berani mengundangnya, setelah pemerintah Soeharto “memusuhi" kelompok Petisi 50 di mana Ali Sadikin bergabung di dalamnya. Habibie menjawab, “Saya berani.”

Habibie menyampaikan niatnya mengundang Ali Sadikin dan kelompok Petisi 50 ke PT PAL. Tanggapan Soeharto positif. Kunjungan mereka yang dicekal dan dilarang untuk terlibat dalam sejumlah aktivitas, termasuk tidak diundang ke acara pribadi, itu membuat heboh di media massa.

Bagi pers Indonesia, kontribusi paling besar dari era Presiden Habibie yang singkat, 17 bulan, adalah UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Menurut Parni Hadi, saat itu Habibie memerintahkan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah untuk mendukung lahirnya UU Pers yang membuka lebar ruang gerak demokrasi bagi pers.

“Istilah beliau, harus buka keran. Pers harus bebas. Tahanan politik dibebaskan, agar suasana tidak tegang. Pak Habibie mengibaratkan harus ada relaksasi, semacam teori di energi,” kata Parni. Katup-katup yang menyumbat di era sebelumnya harus dibuka.

Penghargaan Habibie terhadap HAM juga menjadi dasar keputusan melepaskan Timor Leste lewat referendum. Sayangnya, niat baik Habibie dinodai dengan kerusuhan usai jajak pendapat itu. Tentu ini kegagalan di pihak aparat keamanan yang tidak bisa mencegahnya.

Rabu malam saya melayat ke kediaman pribadi Habibie di kawasan Patra Kuningan, Jakarta. Di Pendopo Habibie-Ainun, jenazah Habibie disemayamkan. Sampai larut malam, tamu yang menyampaikan doa dan duka cita terus berdatangan. Di samping pendopo, ada Perpustakaan Habibie-Ainun yang dinding-dindingnya dipenuhi buku. Koleksi bacaan yang bikin Wow.

“Pak Habibie jarang sekali baca koran atau media. Yang dibaca yang disodorkan orang,” tutur Parni Hadi yang mengenal Habibie secara dekat sejak 1977.

Sebagai ilmuwan, tampaknya Pak Habibie lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dan membaca buku. Sebagai ilmuwan, Habibie sosok yang perfeksionis. Itu salah satu alasan mengapa dia memutuskan tidak maju dalam pencalonan presiden di Sidang MPR 1999.

“Tidak semua parpol mau mencalonkan dia, jadi dia legowo saja,” ujar Parni Hadi.

Sikap ini yang kemudian menyelamatkan Indonesia dari silang sengkarut politik yang berkepanjangan.

Dalam masa tugas yang singkat, BJ Habibie meninggalkan warisan yang monumental, karena membuka jalan bagi kehidupan demokrasi di negeri ini.Selain UU Pers, ada UU Otonomi Daerah, juga UU Bank Indonesia yang independen. Kita perlu menjaga warisan itu agar tidak direbut kembali oleh mereka yang anti demokrasi.

Baca Juga: Pengakuan Habibie ke Hanung Kenapa Tak Mau Lagi Jadi Presiden 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya