Pesan Olimpiade Tokyo 2020, Harapan Saat Pandemik COVID-19

Banyak momen humanis

Jakarta, IDN Times - Di media sosial beredar foto-foto yang membandingkan tampilan acara penutupan Olimpiade Tokyo 2020 di layar televisi dengan fakta di Stadion. Versi layar televisi tergolong megah, cantik dengan atraksi dan permainan lampu yang memikat. Di lokasi, hadir para atlet, pelatih dan pendamping, panitia dan tamu undangan secara terbatas. Ratusan ribu bangku stadion kosong. Sepi.

Publik dunia yang menyaksikan rangkaian pertandingan sejak pembukaan pada 23 Juli sampai penutupan pada 8 Agustus 2021 akan mengenang Olimpiade Tokyo 2020, sebagaimana Jepang tetap menyebutnya sebagai olimpiade bersejarah penuh kerumitan dan masalah, karena dilakukan saat dunia masih situasi pandemik COVID-19 dan bahkan sedang diterjang gelombang kedua, atau ketiga di berbagai negara, yaitu varian Delta. Olimpiade yang abnormal.

Bagi Jepang, tuan rumah yang sudah jauh hari menyiapkan diri, tapi harus menundanya setahun, ajang pesta olahraga musim panas terbesar di jagat ini, meninggalkan bekas kenangan beragam. Kontingen tuan rumah meraih 27 medali emas dari 58 total medali,. Jumlah terbesar dalam sejarah perolehan Jepang di Olimpiade. Mereka juga mencatat rekor peraih medali emas termuda dari ajang skateboard, Nishiya Momiji, yang baru berusia 13 tahun.

Rekor lain adalah, pada hari penutupan, sebagaimana dikutip The Economist, Jepang mencatat pertambahan kasus COVID-17 sebanyak 15.700-an.

Saya membayangkan bukan hanya capek yang dialami para panitia, atlet dan semua yang berpartisipasi di Olimpiade Tokyo 2020. Setiap bangun pagi menuju lokasi tugas dan pertandingan, ibarat menuju medan perang dengan musuh tidak kasat mata. Virus mematikan yang macam siluman. Ninja gak ada apa-apanya.

Baca Juga: 7 Momen Unik di Olimpiade Tokyo 2020, Bakal Jadi Sejarah!

Pesan Olimpiade Tokyo 2020, Harapan Saat Pandemik COVID-19Sejumlah jurnalis menunggu dimulainya pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 di Stadion Nasional Jepang,Tokyo, Jepang, Jumat (23/7/2021). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

Sebagian warga Jepang sempat menolak penyelenggaraan olimpiade di saat pandemik masih mencekam. Saat acara pembukaan, banyak yang berjalan menuju Stadion Olimpiade dan berteriak, “Hentikan Olimpiade! Toh, banyak yang juga antusias meskipun pertandingan selama olimpiade dilakukan tanpa penonton. Penggemar olahraga berkumpul di depan lokasi pertandingan berharap bisa melihat atlet idola yang datang dan pergi diangkut bus ulang-alik dari hotel ke lokasi pertandingan.

Begitupun, tak ada riuh-rendah di masyarakat saat menyambut perolehan medali atau pertandingan yang memukau. “Sepi banget,” kata Iizuka Masaki, seorang kolektor pin olahraga yang setia menunggu di depan gerbang stadion, berharap ada peserta dari negara lain mau bertukar pin dengannya.

Meskipun akhirnya Olimpiade Tokyo 2020 berjalan lancar dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) memberikan medali emas kehormatan untuk Perdana Menteri Suga Yoshihide, penilaian publik terhadap kabinet anjlok sampai di bawah 35 persen. Ini juga rekor, terendah. Publik merasa terdiskoneksi dengan semangat olimpiade di negeri sendiri. Setidaknya, PM Suga bisa bernafas lega. Gak ada yang meninggal dunia karena COVID-19 di antara 11 ribu atlet yang bertarung. Oktober ini dia bakal menghadapi pemilihan umum. Kansnya tetap tanda-tanya besar.

Penilaian bahwa Olimpiade Tokyo 2020 sukses, antara lain karena pertemuan yang melibatkan 50 ribu orang dari 200 negara itu tidak menjadi penyebar besar virus corona. Hanya 436 yang hasil tesnya positif, dan kebanyakan adalah warga Jepang. Ada sejumlah atlet yang gagal bertanding karena tes yang positif, tapi secara keseluruhan acara berjalan lancar.

Kehidupan di luar arena olimpiade masih mengkhawatirkan. Data yang dimuat Kyodo News, menunjukkan bahwa ada 4.066 kasus baru di Tokyo, per 8 Agustus 2021. Jumlah tertinggi selama lima hari terakhir yang mencatat sekitar 4 ribuan kasus setiap hari.

Sebanyak 26 orang yang terkait dengan olimpiade, terinfeksi COVID-19 dalam lima hari terakhir. Jepang mencatat 1,03 juta kasus dengan 15.295 kematian per Senin (9/8/2021). Untungnya, tingkat kematiannya lumayan rendah, sekitar 0,58 kematian dalam 1.000 populasi selama tujuh hari terakhir. Negeri Sakura ini mencatat tingkat kematian rata-rata 1,5 persen karena vaksinasi yang sudah baik di kelompok usia lanjut.

Bagi kita di Indonesia, Olimpiade Tokyo 2020, memberikan oase dari kepungan pandemik. Momen medali emas yang diraih pasangan ganda campuran Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, untuk sesaat seolah mengangkat beban berat kesedihan yang memghimpit warga negeri +62. Begitu juga menyaksikan perjuangan Eko Yuli Irawan, Anthony Sinisuka Ginting, Windy Cantika Aisah dan Rahmat Erwin Abdullah. Indonesia ada di peringkat ke-55 dalam peraihan medali. Peringkat 1, 2 dan 3 diraih AS, Tiongkok, dan Jepang.

Baca Juga: Cerita Unik Greysia/Apriyani dan Anthony Ginting Raih Medali Olimpiade

Pesan Olimpiade Tokyo 2020, Harapan Saat Pandemik COVID-19Peselancar Indonesia Rio Waida membawa bendera Merah-Putih saat defile pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 di Stadion Nasional, Tokyo, Jepang, Jumat (23/7/2021). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

Olimpiade ini juga mencatat sejumlah momen humanis. Simone Billes pesenam artistik putri dari AS, mundur dari nomor beregu putri. Secara terbuka dia mengakui mengalami tekanan mental, ragu-ragu dan takut. Billes, pemegang medali emas Olimpiade Rio de Janeiro 2016, akhirnya meraih perunggu di nomor balok keseimbangan. Jujur dia mengakui perunggu yang ia dapat di Tokyo lebih bermakna, karena diperoleh setelah sepekan dia berjuang melawan tekanan mental dan disorientasi. Pertama kalinya masalah mental diutarakan secara terbuka.

Kisah Isiah Jewett, pelari AS, yang tersandung Nijel Amos, pelari Botswana saat bertanding di nomor lari 800 putra, juga menarik. Jewett terjegal jelang garis akhir. Dia tidak marah, padahal peluang dapatkan medali kandas. Jewett merangkul Amos, dan menghiburnya. Media merekam momen itu. Medali bukan segalanya.

Kita juga membaca soal Mutaz Essa Barshim atlet loncat tinggi putra dari Qatar dan Gianmarco Tamberi dari Italia. Catatan lompatan terbaik mereka sama, 2,37 meter. Barshim lantas meminta agar panitia bisa memberikan medali emas kepada keduanya, yang sudah sama berjuang untuk sampai final, bertarung di tengah ancaman pandemik. Panitia setuju. Jadilah mereka berbagi medali emas.

Pelompat indah Tom Daley asal Inggris, viral fotonya, karena merajut sambil menonton pertandingan. Dia memamerkan kardigan warna putih hasil rajutannya, di akun TikToknya. Ada tulisan “Tokyo dalam huruf Jepang di bagian dada rajutannya itu. Daley meraih medali emas di Tokyo. Dia belajar merajut sejak mengalami penguncian wilayah (lockdown) di Inggris, karena COVID-19.

Pasti banyak cerita di balik perjuangan para atlet dan pendamping, dan tentu saja panitia di semua tingkatan, sampai ke petugas pembersih lapangan. Momen haru, dan solidaritas antarwakil negara, yang sempat tertunda untuk bisa berlaga di ajang bergengsi itu. “Banyak tantangan yang harus dihadapi. Olimpiade ini menumbuhkan harapan,” kata Thomas Bach, Presiden IOC dalam pidato penutupannya.

Baca Juga: Ternyata Ini Target Peringkat Dibidik Tim Indonesia di Olimpiade Tokyo

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Wendy Novianto

Berita Terkini Lainnya