Rasa Haru Menko Mahfud Vs Haru Rakyat di Pusara COVID-19

Tragedi penanganan pandemik berulang

Jakarta, IDN Times – “Mengharukan. Ada seorang kaya raya di Jatim meninggal ktk sdg menunggu antrean penanganan. Ada jg Profesor kedokteran senior menyerahkan kesempatan kpd yuniornya utk menggunakan satu-satunya oksigen yg tersisa ketika keduanya sama2 terserang Covid. Sang profesor kemudian wafat. Sebelum wafat Profesor bilang itu bilang kpd yuniornya, “Kamu muda, msh pny kesempatan lama utk mengabdi. Pakailah oksigen itu.” Itu cerita haru. Tp bnyk cerita bagus dimana orng yg terinfeksi Covid19 dan sempat ditangani dan menjalani perawatan dengan tenang dan ikut prokes bisa sembuh.”

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam) Mohamad Mahfud, MD, menyampaikan kalimat di atas, lewat dua kicauan di akun Twitter-nya, @mohmahfudmd, Senin, 26 Juli 2021. Cuitannya ditanggapi ribuan pengguna Twitter secara kritis. Sebelumnya, Mahfud juga pernah berkicau soal bekerja dari rumah yang membuatnya bisa menonton sinetron.

Berlian Idris, seorang dokter jantung, misalnya, menanggapi cuitan Mahfud dengan status, “Sepupu saya meninggal di RS saya sendiri, sesak nafas meregang nyawa, ga dapat ICU, ventilator & HFNC terpakai semua, Sangat merasa bersalah karena gak bisa nolong. Yang mengharukan itu punya pemimpin seperti Bapak,” tulisnya di akun @berlianidris, yang mengutip kicauan Mahfud, sosok yang pernah digadang-gadang menjadi kandidat calon wakil presiden Joko “Jokowi” Widodo di pemilihan presiden 2019.

Ada ribuan kisah kematian karena sengatan virus corona yang terjadi di rumah sakit, lorong-lorongnya, tempat isolasi terpusat, maupun saat isolasi mandiri di rumah. Data yang diumumkan  Lapor COVID-19 per 23 Juli 2021, lebih dari 2.300 pasien meregang nyawa saat isoman. Dari jumlah tersebut, 1.214 berasal dari DKI Jakarta. Data itu dikumpulkan dari periode Juni sampai 21 Juli 2021. Jumlah sebenarnya, jauh lebih besar dari yang dilaporkan.

Cuitan haru Menko Mahfud terlintas saat saya bertemu Puji Rahayu, 47 tahun. Perempuan asal Namburan, Yogyakarta itu, bersimpuh di sebuah makam di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Rorotan, di kawasan Jakarta Utara, Senin 26 Juli 2021. Suaminya, Suparman, dimakamkan di situ pada 4 Juli 2021. Suparman yang bekerja di sebuah pabrik keramik, tidak beraktivitas selama pandemik. Gaji tidak dibayarkan. Warga yang tinggal di kawasan Koja ini terinfeksi virus jahanam itu, 13 hari sebelum menghadap Ilahi.

Suparman sempat dirawat di rumah selama tiga hari, kondisinya memburuk, lantas dibawa ke RSUD Koja. Sepuluh hari di RS, Suparman, bapak dua anak asal Tegal itu, meninggal dunia. “Oksigen di RS habis,” tutur Puji. Putri tertua mereka, Nila Santika, membaca ayat suci Al Qur’an saat kami berbincang-bincang. Panas matahari terasa membakar sekujur badan, tepat di tengah hari. Puji mengusap air mata sambil menaburkan segenggam bunga. Dia menyiramkan sebotol air mawar ke makam yang nampak padat oleh tanah keras bergumpal itu. “Saya belum bisa mikir bagaimana ke depannya,” ujar Puji, yang selama ini jadi ibu rumah tangga.

Saya punya banyak kisah soal teman, kenalan, kerabat yang menjemput nyawa karena kelangkaan oksigen sampai sulit mengakses obat terapi COVID-19. Keponakan saya, berusia 16 tahun 11 bulan ketika direnggut kehidupannya, pertengahan Juli ini, di sebuah RS di Yogyakarta. Air mata menetes deras, jantung berdegup, sedih luar biasa ketika membaca chat, percakapan via Whatsapp antara keponakan dan sang ibu. Kesakitan yang dia rasakan sejak oksigen di RS itu mati, saturasi yang tak pernah naik lagi, detik-detik terakhir hayatnya. Innalillahi waina ilaihi rojiun. Begitulah kira-kira yang dialami ribuan pasien yang alami tragedi serupa minggu-minggu ini.

Baca Juga: 33 Pasien di RSUP Sardjito Yogya Meninggal Usai Oksigen Sentral Habis

Rasa Haru Menko Mahfud Vs Haru Rakyat di Pusara COVID-19Ilustrasi tabung oksigen medis (ANTARA FOTO/Novrian Arbi).

Apa yang disampaikan pejabat tinggi seperti Mahfud adalah pengakuan gamblang pemerintah yang tidak sanggup mengendalikan penyebaran infeksi COVID-19, sejak gelombang pertama, dan makin parah di gelombang kedua dengan datangnya varian baru yang lebih mengerikan, varian Delta. Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaini mengatakan, jumlah dokter dan tenaga kesehatan (nakes) yang meninggal dunia pada gelombang kedua, Juni-12 Juli 2021, 63 orang. Jumlah ini jauh lebih banyak ketimbang periode Desember 2020-Januari 2021. Dia menduga kuat, jumlah sebenarnya lebih besar.

Data dari IDI pula, ada 458 dokter meninggal dunia karena COVID-19 per 8 Juli 2021. Termasuk gurubesar, profesor yang membuat Mahfud terharu. Bayangkan, jika pemerintah mempersiapkan kondisi lebih baik menghadapi serbuan varian Delta, kita tidak perlu kehilangan begitu banyak nyawa, termasuk profesor, dokter dan nakes. Proses akademi menjadi profesor itu sulit dan lama. Begitu juga proses menjadi dokter dan nakes.

“Februari 2020, media sudah mengingatkan pemerintah soal virus corona di Wuhan, Tiongkok, yang pasti masuk ke Indonesia, negara dengan 135 pos perbatasan. Tapi pemerintah masih sibuk promosi pariwisata. Maret 2021, kami banyak memberitakan tragedi di India. Tsunami varian Delta. Kelangkaan oksigen. Mayat bergelimpangan di RS, dan di rumah-rumah. Tapi, pemerintah ternyata tidak siap lagi. Saya merasa de ja vu.” Ini yang saya sampaikan kepada Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Kamis 1 Juli 2021, dalam pertemuan virtual antara pemimpin redaksi media massa dengan Luhut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.

Pertemuan itu sifatnya latar-belakang, tidak untuk dikutip. Temanya soal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM Darurat). Tapi, yang disampaikan Luhut tidak berbeda dengan konperensi pers yang dia lakukan sore harinya. Saya menonton penuh videonya. Luhut menggarisbawahi pemulihan ekonomi. Pada menit 16.40, ada kalimat Luhut, berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial (bansos). “Karena jujur kita juga tidak pernah memprediksi setelah Juni tahun ini keadaan ini terjadi lonjakan lagi. Karena inilah yang kita ketahui baru, jadi banyak ketidaktahuan kita tentang COVID ini.”

Mengapa pemerintah terus-menerus salah prediksi? Kalau pemerintah membaca apa yang terjadi di India, harusnya persiapan lebih baik. Itu pertanyaan dan pernyataan saya berikutnya. Ironinya, Indonesia mengirim 2.000 tabung oksigen ke India, tapi gagal bersiap untuk warganya sendiri. Meledak kasus, kisah miris warga yang antre tabung oksigen, pasien yang memenuhi lorong RS, tragedi di balik kamar di RS maupun di rumah, kita baca di media, termasuk di media sosial. Salah satu yang menonjol adalah kematian di RS Sardjito Yogyakarta, 3-4 Juli 2021.

Suasana diskusi malam itu sempat menghangat.

Baca Juga: Mesin Oksigen Diganti, Saturasi Pasien RSUP Dr Sardjito Drop Lagi

Rasa Haru Menko Mahfud Vs Haru Rakyat di Pusara COVID-19Ilustrasi perawatan pasien COVID-19 (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Seperti berjarak dengan realita, Menko Luhut mengklaim, berdasarkan data yang dimilikinya, COVID-19 di Indonesia masih terkendali. “Jadi, kalau ada yang berbicara bahwa tidak terkendali keadaannya, sangat-sangat terkendali. Jadi yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya. Nanti saya tunjukkan ke mukanya bahwa kita terkendali,” kata Luhut, dalam jumpa pers daring, Senin 12 Juli 2021.

Pukulan berikutnya dari klaim pandemik terkendali ini datang dari Presiden Jokowi saat inspeksi mendadak (sidak) ke sebuah apotek di Bogor, Minggu 23 Juli 2021. Jokowi mendapati fakta sejumlah obat terapi COVID-19, bahkan vitamin, tidak ada. “Stok enggak ada sudah seminggu lebih. Terus vitamin D3 yang 5.000 IU juga enggak ada. Ini saya yang dapat hanya multivitamin yang mengandung zinc, hanya itu. Suplemen juga, suplemen apa, ini ada yang D3 ada, tapi yang 1.000 IU. Hanya ini aja,” kata Jokowi, kepada Menkes Budi lewat panggilan video.

Temuan Jokowi sudah saya alami sejak awal Juli. Dua hari sekali saya mengirimkan bantuan makan siang untuk penggali kuburan di TPU Rorotan, titipan donasi sejumlah teman yang peduli. Dalam kotak nasi, saya selipkan vitamin dan masker. Untuk mendapatkan vitamin buat 35 orang sekali kirim, saya harus ke 2-3 apotek. Stok sering kosong.

Bukan sekali ini Jokowi mempertanyakan penanganan program COVID-19 kepada menterinya, di depan umum. Apa yang dia lakukan, makin mengukuhkan, bahwa pemerintah tidak siap, dan selalu bertindak bak pemadam kebakaran. Ibarat pepatah, seperti menepuk air di dulang, tepercik ke muka sendiri. Setelah kasus meledak, baru ramai-ramai diperintah membuka tambahan ruang rawat, isolasi, impor oksigen sampai pacu produksi dan impor obat dan vitamin. Ribuan nyawa melayang sia-sia, meninggalkan luka basah di benak keluarga. Perih. Pedih.

Saifullah, penggali kubur di TPU Rorotan, berkata, “Setiap kali saya menguburkan, melihat keluarga yang enggak bisa megang jenazah yang sudah dibungkus peti, saya benar-benar terharu. Enggak ngebayangin, saat akhir begitu. Saya udah nguburin ribuan bareng teman-teman di sini.” Saifullah adalah satu dari 30 penggali kubur yang berjibaku memakamkan jenazah dari pagi hingga tengah malam. Angka tertinggi jumlah pemakaman dalam sehari di TPU Rorotan adalah 233 orang, pada 8 Juli 2021.

Sampai 20 Juli tercatat ada 5.019 jenazah menghuni TPU Rorotan. Setelah PPKM Darurat diberlakukan dan oksigen ditambah, jumlah yang dikuburkan di sana berkurang. Secara nasional angkanya masih naik. Selasa (27/7/2021), kematian COVID-19 mencetak rekor tertinggi selama pandemik, 2.069 orang dalam 24 jam terakhir. Lagi-lagi, jumlah riilnya jauh lebih besar. Data kematian ini dbarengi jumlah tes yang terbesar pula selama ini, 270.434.

Menko Luhut menjanjikan 400 ribu tes per hari. Belum kejadian.

Hanya dalam hitungan 24 jam, saya menangkap derajat haru yang berbeda antara haru versi Menko Mahfud, dengan versi Puji Rahayu, Saifullah, dan ribuan rakyat kecil di tanah air yang berjuang melawan COVID-19. Haru pihak penguasa versus haru rakyat jelata.

Baca Juga: Luhut: Yang Bicara COVID-19 Tak Terkendali Bisa Datang ke Saya

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya