Sahkan RUU PKS, Investasi Masa Depan Bagi Perempuan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Apa yang perlu dilakukan perempuan agar bisa maju, menembus langit-langit kaca (glass ceiling), saat ini? Penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) Sorong, menanyakan hal itu kepada saya, dalam program siarannya, Rabu, 24 Maret 2021.
Jawabannya bisa panjang. Risetnya banyak. Mau mengutip sejuta pakar dan perempuan yang menginspirasi pun mudah dicari pada era digital. Tapi, untuk durasi program radio yang terbatas, saya menjawab, “yang pertama, sesama perempuan perlu saling mendukung, bukannya sikut-sikutan."
"Kedua, perempuan perlu terus belajar, mengembangkan kemampuan dan pengetahuan. Keep learning attitude. Karena inilah esensi dari masa depan bekerja. The future of work.”
Untuk belajar pun, sekarang jauh lebih mudah. Kita bisa mengakses beragam sesi virtual. Selama pandemik COVID-19, jumlahnya ribuan. Era digital mendatangkan peluang, demokratisasi akses yang dinikmati semua, terutama perempuan.
Bak pisau bermata dua, era digital tidak hanya membuka peluang pengembangan diri bagi perempuan. Di ranah maya, tersimpan ancaman yang nyata pula.
Wawancara dengan RRI Sorong itu adalah bagian dari program memperingati International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional 2021 yang jatuh pada 8 Maret.
Dalam rangka IWD 2021 pula, IDN Times berkolaborasi dengan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menggelar dua acara secara daring. Pertama, #NgobrolSeru berjudul “Perempuan dan Perdamaian Dunia”, dengan narasumber Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Lestari Priansari Marsudi. Acara digelar pada Sabtu (6/3/2021).
“Investing in women means investing in a brighter future,” demikian kata kunci dari Menlu Retno. Investasi kepada perempuan, berarti investasi untuk masa depan yang lebih baik. Retno, Menlu perempuan pertama di Indonesia itu menjelaskan peran diplomasi dan diplomat perempuan dalam perdamaian, dan solusi pandemik COVID-19.
Baca Juga: Ngobrol Seru Menlu Retno Soal Perempuan dan Perdamaian
Saya mengutip ucapan Retno itu saat membuka sesi workshop FJPI x IDN Times, berkolaborasi dengan The Body Shop, yang gencar menyuarakan pentingnya segera disahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU PKS.
“Ucapan kunci dari Menlu Retno adalah pengingat keras, strongly reminder, bahwa RUU PKS ini jika disahkan adalah investasi untuk melindungi perempuan dan anak-anak perempuan dari kekerasan seksual. Jadi, harus kita dukung bersama,” demikian yang saya sampaikan.
Bagi IDN Times, dukungan pengesahan RUU PKS adalah bagian dari sikap kebijakan editorial. Anti-pelecehan seksual adalah salah satu dari tujuh konten pilar kami. Setiap Desember kami ikut kampanyekan 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan. Kami juga punya kampanye #AkuPerempuan dengan ratusan artikel sosok perempuan menginspirasi.
Tahun ini, kampanye digelar selama Maret, dengan sosok-sosok perempuan yang peduli dan berjuang melawan kekerasan terhadap perempuan.
FJPI didirikan 13 tahun lalu untuk meningkatkan profesionalisme jurnalis perempuan, sehingga makin peka dan peduli dengan pemberdayaan perempuan. Mendukung lahirnya undang-undang yang melindungi perempuan adalah sikap FJPI.
Sikap kami itu klop dengan semangat yang diusung The Body Shop, sebagaimana disampaikan kepala eksekutif (CEO)-nya, Aryo Widhiwardhono.
“Kami mengajak masyarakat untuk concern terhadap upaya mendesak disahkannya RUU PKS, sebab korban tidak hanya perempuan, tidak hanya yang muda, laki-laki dewasa dan anak laki-laki juga bissa menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Aryo pada awal workshop yang digelar pada Sabtu, 20 Maret 20021.
Editor’s picks
Sehari sebelumnya, 19 Maret 2021, perusahaan yang didirikan aktivis pro lingkungan hidup asal Inggris, Anita Roddick itu, telah mengumpulkan 428.865 petisi yang mendukung segera disahkan RUU PKS. Mereka menyerahkan petisi itu kepada anggota Komisi VIII DPR RI.
Diskusinya berjalan seru, melampaui dua jam rencana acara. Respons antusias yang mengingatkan saya kepada data kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan di seluruh dunia.
Dalam rangkaian 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilangsungkan mulai 25 November, Badan PBB untuk pendidikan, keilmuan dan kebudayaan (UNESCO), mengumumkan 73 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan daring saat bekerja, termasuk kekerasan fisik dan seksual.
UNESCO mengutip survei yang digelar International Center for Journalist (ICFJ), yang menemukan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami jurnalis perempuan di ranah maya, termasuk pelecehan, trolling, doxing, ujaran kebencian seksis, hingga ancaman seksual dan fisik.
Trolling adalah penyampaian pesan di media sosial yang ditujukan membangkitkan sikap emosional. Doxing adalah tindakan menyebarluaskan data pribadi seseorang di internet.
Survei ICFJ melibatkan 1.200 responden secara global. Sebanyak 25 persen mengalami ancaman fisik, 18 persen diancam dengan kekerasan seksual, 20 persen melaporkan serangan di dunia nyata yang berhubungan dengan ancaman di dunia maya yang mereka alami.
Data lain yang bikin miris diluncurkan Tow Center for Digital Journalism Columbia University dan ICFJ, yang menyebutkan 16 persen responden mengalami pelecehan daring terburuk sepanjang 2020, dibandingkan dengan sebelumnya.
IWD 2021 juga mengingatkan kenyataan pahit. Pandemik COVID-19 menciptakan krisis yang paling diskriminatif yang pernah dialami perempuan dan anak-anak. Direktur Eksekutif Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk perempuan, UN Women, Phumzile Mlambo-Ngcuka menyampaikan hal itu pada pembukaan pertemuan tahunan komisi soal status perempuan di kantor PBB, di New York, AS (15/3/2021).
Tahun ini, pertemuan mengusung tema soal partisipasi perempuan dan pengambilan keputusan dalam ruang publik, serta memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Pimpinan UN Women memaparkan, selama pandemik yang berlangsung setahun lebih ini, perempuan kehilangan pekerjaan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki.
Perempuan juga menjadi korban “pandemik bayangan” berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Parahnya lagi, lebih dari 47 juta perempuan jatuh ke jurang kemiskinan, dan harus hidup dengan ongkos kurang dari US$ 1.90 (setara dengan kurang dari Rp28.000) per hari selama 2020.
Phumzile Mlambo-Ngcuka juga mengatakan, pandemik membuat lebih banyak anak-anak kehilangan orang tuanya, kehilangan rumah tempat tinggal. “Angka perkawinan anak meningkat. Sebanyak 59 persen perempuan dilaporkan harus bekerja lebih banyak di sektor domestik. Kesenjangan digital yang terjadi membuat banyak perempuan tidak siap menyongsong masa depan,” ujarnya.
Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Mlambo-Ngcuka menambahkan, tingkat kekerasan oleh mitra intim, tertinggi selama ini, mencapai 16 persen untuk perempuan usia 15-24 tahun dalam 12 bulan terakhir.
“Kerusakan yang terjadi tak terperikan dan dampaknya bakal dirasakan jauh sampai ke generasi mendatang,” kata Mlambo-Ngcuka.
Jadi, melihat data-data yang sangat mungkin hanyalah puncak dari gunung es, sulit memahami mengapa pemerintah dan wakil rakyat, dengan 18 persen kursi diduduki para politisi perempuan, terus menunda mengesahkan RUU PKS ini.
Sudah banyak riset yang menunjukkan, betapa pandemik dengan kebijakan lockdown atau penutupan wilayah di berbagai negara, menjadikan rumah bagaikan ruang 'kematian' bagi perempuan dan anak-anak perempuan yang memiliki sosok yang punya kecenderungan melakukan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Jika RUU PKS sudah ada sebelum pandemik, payung hukum ini bisa mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Harusnya kita semua belajar, agar tidak terlambat bertindak.
Baca Juga: Pentingnya RUU PKS sebagai Payung Hukum yang Melindungi Masyarakat