Sikap Toleransi, Kunci Persatuan dan Kerukunan Bangsa

Millennial optimistis akan keberagaman

Jakarta, IDN Times – Menjelang Hari Ulang Tahun Ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Research Institute dan IDN Times membuat survei daring, dengan tema toleransi. Survei ini berangkat dari pertanyaan: Setelah 74 tahun Indonesia merdeka, apa definisi atau pandangan millennial tentang toleransi? Jika kita mengetik kata “toleransi” di laman mesin pencari di internet, maka kata ini identik dengan toleransi agama. Fenomena ini juga terjadi untuk global.

Survei daring yang dilakukan pada bulan Juli 2019 mendapatkan respons dari 438 responden, yang berada di 28 provinsi. Responden paling banyak berusia 20-27 tahun. Pertanyaan disampaikan secara terbuka maupun pilihan berganda, untuk lebih memahami apa yang dimaksud sebagai sikap dan makna toleransi di mata millennial.

Dalam survei ini, karyawan swasta merupakan responden terbanyak dengan perolehan angka 38,8 persen, diikuti oleh mahasiswa dengan angka 36,8 persen, selanjutnya ada wira usaha dengan angka 10 persen, dan job seeker atau pencari kerja serta pegawai pemerintah yang mengikuti survei ini sebesar 8 persen dan 6,4 persen.

Data kualitatif yang masuk dari jawaban survei, kata “menghargai” adalah kata kerja yang paling banyak disebutkan, disusul dengan kata “menghormati”, “menerima” dan kata “memahami”. 

Untuk kata benda yang muncul dalam mendefinisikan toleransi, paling banyak muncul kata “sikap”, disusul dengan “perbedaan”, kata “ras”, dan kata “agama”. Jika dirangkai berdasarkan kata kerja dan kata benda yang muncul paling banyak, hasilnya definisi toleransi menurut millennial yang menjadi responden adalah: “Sikap menghargai perbedaan ras, agama, dan pendapat sesama.”

Dari survei ini, dalam hal perilaku toleransi terdapat lima tipe toleransi yang umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pertama toleransi pikiran atau toleransi terhadap perbedaan pendapat atau ide, kedua toleransi sosial atau toleransi terhadap perbedaan status sosial, ketiga toleransi agama, keempat toleransi terhadap jenis kelamin, dan terakhir toleransi terhadap perbedaan ras.

Responden diminta untuk menilai perilaku yang menggambarkan toleransi jika dikaitkan dengan lima jenis toleransi di atas. Seperti tetap mendengarkan pendapat teman hingga selesai walaupun mereka tidak setuju dengan pendapat yang sedang disampaikan, contoh perilaku ini termasuk dalam perilaku toleransi pikiran dan menduduki pilihan terbanyak responden dengan angka 28 persen.

Selanjutnya perilaku tidak menilai seseorang hanya dari status sosialnya saja, contoh ini termasuk ke dalam toleransi sosial dan menduduki pilihan kedua. Menjalin relasi dengan teman yang berbeda agama, merupakan contoh perilaku toleransi dalam agama dan berada di posisi ketiga dengan angka 18 persen.

Perilaku membuka peluang pekerjaan yang sama baik untuk perempuan dan laki-laki merupakan tindakan toleransi gender dan terakhir tidak berkomentar buruk terhadap ras tertentu di media sosial merupakan contoh perilaku toleransi terhadap ras.

Survei ini juga mengumpulkan harapan dari millennial, seraya merayakan HUT ke-74 Republik Indonesia. Kesejahteraan Indonesia, terutama meningkatnya kualitas pendidikan merupakan hal yang paling banyak diutarakan responden sebagai harapan untuk masa depan negeri ini. Millennial berharap fasilitas pendidikan memadai dan merata di seluruh Indonesia. 

Millennial juga berpendapat, kunci untuk mempertahankan persatuan negara ini, sesuatu yang sering disebutkan dengan NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah menjaga semangat toleransi.

Singkat kata, millennial yang menjadi responden menganggap bahwa toleransi kini tidak hanya dimaknai hanya seputar agama saja, melainkan dalam bentuk lebih luas lagi, menghargai segala perbedaan pada segala aspek kehidupan. Menurut mereka, ini kunci menjaga keutuhan Indonesia.

Millennial jumlahnya signifikan dalam populasi kita. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan saat ini jumlah penduduk usia millennial sekitar 63 juta dari 265 juta populasi penduduk. Pada Pemilihan Umum 2019, sebanyak 40 persen dari pemilih yang jumlahnya 193 jutaan, ada di usia millennial, yaitu di antara usia 17-35 tahun.

Jadi, hasil survei soal toleransi perlu kita sambut gembira sebagai sebuah harapan positif, akan sikap millennial tentang pentingnya toleransi untuk menjaga kesatuan dan persatuan.

Sikap ini menjadi penting, di tengah menguatnya politik identitas berdasarkan agama yang terjadi di Indonesia, juga di sejumlah dunia. Sikap toleran adalah jantung dari keberagaman. Diversity is Beautiful.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam pidatonya mengatakan bahwa kemajuan pembangunan Indonesia membutuhkan kebersamaan, sebab Indonesia  adalah negara yang besar. “Jangan ada yang merasa ini negara kecil. Jangan sampai kita lupa itu, sebab itu persatuan dan kerukunan harus terus kita tingkatkan,” kata Jokowi, di Jakarta (16/6/2019). 

Saat itu, konteks pidato Jokowi adalah menguatnya politik identitas dalam pemilu. Tidak bisa dipungkiri, bahwa menguatnya politik identitas mengancam demokrasi dan keberagaman di masyarakat.  Sikap saling curiga karena berbeda makin kuat, sebaran informasi palsu alias hoaks menjalar luas dalam sekali klik, memecah belah masyarakat, bahkan sampai di level keluarga.

Literasi media, terutama di era digital sangat penting untuk membekali kelompok muda, kaum millennial dalam membaca dan memanfaatkan jutaan informasi yang mereka terima lewat gawai, agar tidak tersesat dalam pertikaian politik yang mengusung isu identitas dalam berbagai formatnya.

Mengapa penting? Karena millennial, sebagaimana hasil survei di atas, memiliki potensi untuk membangun semangat toleransi yang bisa merekatkan bangsa ini. Potensi millennial dikuatkan oleh data dari Indonesia Millennial Report 2019 oleh IDN Times.  Dalam survei yang melibatkan 1.400 responden di 12 kota besar di Indonesia itu, sebanyak 89,1 persen responden optimistis terhadap kehidupan keberagaman di Indonesia.

IMR 2019 juga memuat komentar misalnya dari ustaz muda Romzi Ahmad. “Narasi agama yang kita bawakan ke ranah publik harusnya bukan narasi yang menyeramkan. Kalau memahami agama, sesungguhnya persatuan dan kerukunan adalah hal yang wajib diajarkan oleh agama.”

Tentu saja kita tidak boleh menutup mata terhadap bahaya yang muncul. Misalnya, kasus ucapan rasialis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang memicu aksi di berbagai lokasi dan membuat situasi memanas, harusnya menggedor dinding empati kita semua, bahwa masih ada yang mengalami ketidakadilan dan ketinggalan. 

Pendekatan ekonomi termasuk pembangunan fisik tidak cukup, karena lebih penting adalah menyentuh jiwa warga Papua dengan pendekatan budaya, serta memastikan pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap mereka diusut tuntas dan dihukum.  Sikap toleransi di sini diharapkan mampu membangun rasa saling percaya.

Contoh lain adalah ancaman dari meluasnya paham radikalisme dengan kekerasan yang dipicu oleh kombinasi situasi global dan potensi bibit radikalisme dan ekstrimisme di dalam negeri. Dunia digital membuat transfer nilai-nilai, baik yang positif dan negatif menjadi lebih mudah. Tinggal klik, informasi berpindah. Menyebar. Lagi-lagi, millennial dan gen Z yang aktif menggunakan internet paling rentan terpapar konten yang berbahaya.  Konten yang mendorong sikap intoleran.

Mencegah dan mengatasi ancaman terhadap sikap toleransi memerlukan upaya yang terstruktur, sistematis dan masif. Sensor dan blokir internet tidak akan pernah efektif. Literasi digital harus diutamakan untuk memberikan benteng yang kuat dan kemampuan memilah informasi yang benar dan baik bagi warga. Ini bisa ditempuh lewat pendidikan. Bisa dimasukkan sebagai ukuran keberhasilan kinerja bagi kepala daerah, karena sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, pendidikan menjadi tanggung jawab daerah.

The highest result of  education is tolerance,” kata Helen Keller.

Baca Juga: Mengintip Kata Millennials Soal Toleransi di Koran IDN Times Vol. 2

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya