Taliban Sejak Lama Siapkan Pemerintahan Bayangan di Afghanistan

Pemerintah AS sudah diingatkan

Jakarta, IDN Times – Sering disebutkan bahwa pekerjaan saya adalah yang paling berat di dunia. Ucapan ini meluncur dari mulut Ashraf Ghani, di depan belasan pemimpin redaksi kelompok media internasional di Forum Ekonomi Dunia (WEF), 23 Januari 2020.

Di sebuah ruangan di gedung Kongres, pusat pertemuan tahunan para pembuat kebijakan ekonomi dunia yang letaknya di Davos, Swis, Ghani, saat itu presiden Afghanistan, berbagi masalah berat yang dialami negeri yang dikoyak perang saudara selama dua dekade itu.

Ghani, sebagaimana presiden sebelumnya, Hamid Karzai, sering dikritik sebagai boneka AS. Lewat operasi militer dan intelijen, AS menggelontorkan sedikitnya US$17 miliar dolar atau Rp244,9 triliun ke negeri itu dalam upaya melakukan kontra-terorisme. “Saya berhadapan dengan kekuatan yang mendapatkan US$220 miliar dukungan dana dari hasil perdagangan narkotika,” ujar Ghani.

Data dari Bank Pembangunan Asia, pada 2020 rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan di Afghanistan mencapai 47,3 persen. Setiap 1.000 bayi yang lahir di sana tahun 2019, 60 meninggal dunia sebelum melewati ulang tahun ke-5.

“Kemiskinan begitu parah, sehingga mudah bagi mereka untuk mendapat pengaruh dari pihak manapun termasuk Taliban, apalagi di desa-desa,” kata Ghani. Empat dari lima orang miskin tinggal di desa.

Saya mengingat percakapan dengan Ghani itu, hari-hari ini, seraya mengikuti perkembangan di sana setelah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban. Ghani diberitakan melarikan diri begitu tersiar kabar pada 15 Agustus 2021, Kabul, ibukota negera, dikuasai Taliban. Ghani yang sempat diberitakan lari ke luar negeri membawa duit tunai empat koper, diperkirakan senilai Rp2,4 triliun, membantah tudingan itu dan kemudian ditampung suaka kemanusiaan di Uni Emirat Arab.

Baca Juga: Obrolan dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani di WEF 2020 Davos

Taliban Sejak Lama Siapkan Pemerintahan Bayangan di AfghanistanPengungsi anak-anak menunggu penerbangan berikutnya setelah didaftarkan di Bandara Internasional Hamid Karzai, di Kabul, Afghanistan, Kamis (19/8/2021). Gambar diambil 19 Agustus 2021 (ANTARA FOTO/1stLt. Mark Andries/U.S. Marine Corps/Handout via REUTERS)

Jatuhnya Afghanistan dipicu penarikan pasukan AS di sana.

Apa yang terjadi jika Presiden AS Joe Biden bersikukuh dengan keputusannya menarik seluruh pasukan militer AS dari Afghanistan pada 31 Agustus 2021?

Rusia dan Tiongkok sudah mengatakan, negeri berpenduduk 38 juta yang bertahun-tahun dilanda konflik itu, bakal baik-baik saja di tangan kekuasaan Taliban. Biden, presiden ke-46 AS, yang menuai kritik atas keputusannya menarik pasukan AS, membela diri. “Saya bertahan dengan keputusan (itu). Setelah 20 tahun, saya belajar bahwa tidak ada waktu yang benar-benar tepat untuk menarik pasukan AS,” kata Biden, seperti dimuat laman Reuters (17/8/2021).

Biden menimpakan kesalahan kepada pihak Pemerintahan Presiden Donald J Trump yang dianggap gagal menuntaskan negosiasi yang menguntungkan Afghanistan. Dia juga beranggapan, 20 tahun keberadaan pasukan AS sudah cukup. “Pengambilalihan terjadi lebih cepat dibanding perkiraan kami. Para pemimpin politik Afghanistan menyerah dan kabur. Militer mereka juga menyerah, tanpa mencoba untuk berperang,” kata Biden.

Jatuhnya Afghanistan ke tangan Taliban, yang menurut Resolusi 1988 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dianggap kelompok teroris yang membahayakan pemerintahan Afghanistan, menjadi diskusi hangat di media dan pemerhati dunia.

Berbagai analisa membahas peristiwa ini sebagai kelengahan intelijen AS dan negara sekutunya. Davis S. Sedney, mencuitkan pendapatnya lewat akun Twitter, “Afghanistan bukanlah krisis militer, melainkan krisis politik, krisis moral, sebuah krisis jiwa Amerika.” Sedney adalah mantan ketua eksekutif Universitas Amerika di Afghanistan untuk periode 2019-2021, sampai sebelum krisis di negeri itu terjadi.

Di pihak AS, kita melihat tengah terjadi lomba menimpakan kesalahan kepada pihak lain. Sebuah tulisan menyebutkan, realitas yang memicu kejatuhan Afghanistan ke tangan Taliban dalam waktu cepat, lebih parah dari sekadar miskalkulasi intelijen.

Douglas London, mantan kepala Kontra Terorisme Dinas Intelijen AS (CIA) untuk kawasan Asia Selatan dan Barat Daya menuliskannya di laman Just Security. Sebelum pensiun dari jabatan itu tahun 2019, dia bertanggung jawab membuat analisa penilaian soal Afghanistan untuk Presiden Trump. Hal yang sama dia lakukan sebagai relawan di grup kerja kontra-terorisme kandidat presiden penantang Trump, yaitu Biden.

“Keputusan yang dibuat Trump dan diratifikasi Biden, untuk menarik pasukan AS sesegera mungkin dilakukan meskipun input intelijen mengingatkan konsekuensinya, seperti yang kita lihat saat ini,” tulis London (18/8/2021). Menurutnya, kedua pemimpin terperangkap dalam slogan, “mengakhiri perang selamanya".

Komunitas intelijen AS menilai nasib Afghanistan dalam beberapa skenario dan kondisi, tergantung kepada berbagai alternatif kebijakan yang dipilih oleh presiden. Apakah kejatuhan Afghanistan ke tangan Taliban terjadi 30 hari sesudah penarikan pasukan? 60 hari? 18 bulan? Semuanya ada, dan diperkirakan dengan asumsi “bagaimana jika”.

Semuanya memperkirakan pasukan Afghanistan menyerah dalam “beberapa hari saja”, dan itu yang terjadi saat ini. Baik Trump maupun Biden tahu soal ini sejak awal.

Dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 2021, tak urung Biden mengakui, “Saya selalu berjanji ke rakyat AS, bahwa saya akan terbuka. Yang sebenarnya, hal ini terjadi lebih cepat dari yang kami antisipasi.”

Menurut London, pernyataan Biden tidak akurat. “CIA mengantisipasi sebagai skenario yang bisa terjadi.”

Pada awal 2018, jelas bahwa Presiden Trump ingin AS cabut dari Afghanistan, lepas dari konsekuensinya, sebagaimana diingatkan komunitas intelijen. Tapi, Trump juga ingin menghindar dari kejadian mengerikan seperti yang sekarang terjadi.

Adalah Menteri Luar Negeri Trump saat itu, Mike Pompeo, yang menjadi arsitek perundingan dengan Taliban, dan hasilnya adalah keputusan penarikan mundur yang dicapai pada Februari 2020. Keputusan diambil, dengan alasan yang penting melewati masa pemilihan presiden. Padahal intelijen mengingatkan, keputusan yang dibuat Pompeo, gak bakalan memenuhi kebutuhan: memastikan Taliban memutus hubungan dengan Al Qaeda dan mencapai resolusi damai dari konflik yang ada.

Di sisi lain, perwakilan khusus AS di Afghanistan, Duta Besar Zalmay Khalilzad, bergerak juga, dengan ambisi ingin menggantikan Pompeo jika Trump menang pilpres lagi. Dia memberikan masukan hal-hal yang disukai Trump, meskipun situasi lapangan tidak mendukung.

Bagi Biden yang memenangi pilpres, mendukung janji penarikan pasukan yang diputuskan Trump adalah keputusan “win-win”. “Masyarakat AS kebanyakan mendukung,” tulis London. Lagi pula, konsekuensi negatif dari eksekusi penarikan pasukan, diduga bakal ditanggung Trump, Partai Republik pendukung Trump, dan Khalilzad, pejabat tinggi yang masih tertinggal di sana, yang mudah dijadikan kambing hitam.

Pihak Biden dianggap terlalu percaya diri, bahkan naif, bahwa kepentingan Taliban sudah dipenuhi dari kesepakatan yang ada (yang dibuat Pompeo). Artinya, keputusan penarikan pasukan bakal diikuti komunikasi yang konstruktif, bahkan kemungkinan melanjutkan pemberian bantuan, jika Taliban ternyata memimpin.

Baca Juga: Konflik dan COVID-19, 14 Juta Warga Afghanistan Terancam Kelaparan

Taliban Sejak Lama Siapkan Pemerintahan Bayangan di AfghanistanTentara AS yang ditugaskan di Brigade ke-3, Divisi Gunung ke-10 mengawal warga yang dievakuasi menuju terminal check-in di Bandara Internasional Hamid Karzai, di Kabul, Afghanistan, Jumat (20/8/2021) (ANTARA FOTO/Lance Cpl. Nicholas Guevara/U.S. Marine Corps/Handout via REUTERS)

Di pihak Taliban, sejak 2001 mereka melakukan pembentukan opini publik, memanfaatkan media barat, bahkan lewat kolom opini di koran New York Times yang ditulis Sirajuddin Haqqani, wakil pemimpin jejaring Haqqani (diduga kuat kolom itu dibuat penulis bayangan). Tulisan yang mengisyarakatkan bahwa jika Taliban memimpin, mereka akan lebih terbuka, dan menghentikan teror pembunuhan.

Realitanya, menurut data yang dikumpulkan CIA, kontrol Taliban di Afghanistan didasarkan kepada skenario isolasi negeri itu ketimbang integrasinya dengan komunitas dunia. Pengakuan internasional, akses ke keuangan global dan bantuan asing tidak akan mempengaruhi bagaimana Taliban akan memerintah di sana.

London juga memaparkan bahwa pembuat kebijakan di AS menilai, koalisi besar antara politisi, pemimpin perang lokal dan pemimpin militer di negeri itu yang mendapat manfaaat dari uang dan kekuasaan yang mereka nikmati dari AS, bakal kehilangan pijakan dan kepercayaaan diri jika AS menarik diri dari Afghanistan. Mereka sudah lama dimanjakan oleh duit yang mengalir lewat operasi keamanan di sana, selama dua dekade.
Tambahan lagi, kebijakan keras kepala Presiden Ghani antara lain membeli pengaruh dengan uang, memereteli petugas keamanan pribadi yang dipelihara pemimpin perang lokal, bikin pemerintahan Ghani makin tidak populer di mata rakyat.

Intelijen AS memberikan skenario yang mereka anggap paling realistis, mulai dari mempertahankan 5 ribuan pasukan, termasuk operasi intelijen, sampai 2.500 pasukan saja, menjaga wilayah yang penting bagi infrastruktur perang anti terorisme AS di Kabul, Bagram, Jalalabad, dan Khost. Skenario 5 ribu pasukan diperkirakan bakal menahan Afghanistan dari potensi jatuh ke Taliban selama 1-2 tahun, seraya menjaga kepentingan AS untuk operasi kontra-terorisme.

Pada awalnya, opsi “hanya Kabul” yang diamankan, termasuk mempertahankan kawasan lapangan udara yang dikelola AS, Bagram Air Base, serta fasilitas intelijen di sekitarnya, diharapkan bisa menjaga pasokan logistik esensial, dukungan medis dan kebutuhan teknis intelijen bagi AS. Ini masuk skenario juga.

Namun, kata London, realitanya tanpa kehadiran militer dan intelijen AS di luar basis kedutaan besar mereka di Kabul, berhadapan dengan propaganda dan serangan militer kelompok Taliban, diperparah hubungan buruk Presiden Ghani dan mitra politiknya di pemerintahan nasional, kejatuhan Afghanistan bakal terjadi dalam hitungan hari. Itu yang terjadi.

Jarum jam berdetak semakin cepat dimulai ketika militer dan intelijen AS mulai ditarik dari Kandahar pada 13 Mei 2021. Pangkalan udara Bagram ditutup pada 1 Juli, pasukan PBB dan NATO yang dianggap sekutu AS mulai meninggalkan Herat, Mazar I Sharif, Jalalabad, Khost, dan sejumlah lokasi lainnya. Begitu daerah itu ditinggalkan, Taliban masuk.

“Mereka disertai banyak anggota Al Qaeda yang sempat menikmati perlindungan hidup di Iran (Iran dianggap berikan bantuan operasional. Taliban membebaskan anggotanya dari tahanan di Bagram dan kota lain.

Menurut penelusuran intelijen AS, Taliban juga menyiapkan diri dengan membuat struktur “pemerintahan bayangan” selama ini, dan menjalin komunikasi dengan pemimpin senior di level lokal termasuk pemerintah daerah. Banyak di antara hubungan-hubungan itu terjadi karena pertalian hubungan kekerabatan dan klan. “Bagi kita di AS mungkin aneh ya, tapi biasa banget seorang komandan militer Afghanstan atau kepala polisi sering kontak komunkasi, bahkan dengan pihak yang berhadap-hadapan secara sehari-hari dalam perang,” tulis London.

Jadi, tidak heran jika Taliban dengan mudah bernegosiasi dengan pemerintahan lokal saat mengambil alih kekuasaan. Mereka belajar dari kekalahan di tahunn 2001 soal pentingnya menjaga setiap wilayah batas area yang mereka kuasai dan komunikasi.

Taliban Sejak Lama Siapkan Pemerintahan Bayangan di AfghanistanIlustrasi para pejabat Taliban yang terdiri dari anggota kantor politik Taliban Abdul Latif Mansoor (kiri), Shahabuddin Delawar (tengah) dan Suhail Shaheen menghadiri konferensi pers di Moskow, Rusia, Jumat (9/7/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Tatyana Makeyeva.

Bagaimana Taliban mendapatkan dana untuk operasinya?

Membujuk militer lokal untuk menyerahkan senjata termasuk mengajak pemda bergabung, bukan hal mudah dan murah. Belum lagi membiayai para petarung Taliban, termasuk memastikan keluarga militer Taliban yang meninggal dunia dibiayai pula. Hal-hal yang menjadi insentif untuk menarik minat rakyat yang mau bergabung dengan militer Taliban.

Banyak diberitakan bahwa pendanaan bagi Taliban datang dari berbagai sumber, termasuk jejaring internasional Haqqani Taliban di kawasan Timur, serta pemimpin militernya di kawasan Barat.

Pendapatan datang dari pajak lokal yang mereka kenakan di wilayah kekuasaan, perdagangan narkotika, donasi luar negeri (kebanyakan dari negara di Arab), pungutan dari eksplorasi tambang yang kebanyakan dikelola perusahaan Tiongkok sampai dukungan Pakistan. Dalam tahun-tahun terakhir, Rusia dan Iran meningkatkan investasinya di wilayah yang dikuasai Taliban. Negara-negara ini mendapatkan keuntungan dari berurusan dengan Taliban yang bertangan besi memastikan investasi berjalan lancar, sekaligus ingin mempermalukan AS.

Ada juga tujuan baiknya menurut negara pendukung Taliban itu, mereka ingin meminimalisasi potensi instabilitas di kawasan itu, yang bisa memicu aliran pengungsi ke negara mereka.

Apa yang disampaikan London, sebenarnya senada dengan Sedney. Sukses Taliban dan jatuhnya rezim Afghanistan yang didukung AS selama 20 tahun, adalah bagian dari masalah ego politik, sikap moral politisi pembuat kebijakan di AS, termasuk ketika sejak awal memanjakan Afghanistan.

Bagaimana dampak situasi di Afghanistan ke Indonesia? Berbagai pihak, termasuk Kepala Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Anwar mengingatkan ada pihak yang menggalang simpati atas isu Taliban. Boy juga mengatakan bahwa Taliban tidak memiliki koneksi jejaring dengan kelompok negara Islam (ISIS). “Namun dalam pergerakannya terjebak perbuatan kekerasan yang dalam terminologi hukum disebut sebagai perbuatan teror,” kata mantan Kapolda Papua itu.

Mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang pernah diminta mediasi konflik di Afghanistan dan mengaku dekat dengan kedua pihak yang bertikai, mengatakan bahwa sebenarnya Taliban ingin damai dengan pemerintah Afghanistan.

“Waktu saya berbicara dengan mereka, sebenarnya ingin damai, ingin kompromi dengan pemerintah, ingin power sharing. Tapi yang paling resah di Afghanistan justru AS, “ kata JK dalam sebuah forum diskusi daring (21/8/2021). JK menyebutkan AS trauma dengan kekalahan di Perang Vietnam, di mana negeri adidaya itu dianggap gagal memerangi komunis.

Saya bukan ahli intelijen dan tentu tidak punya datanya. Tapi, apakah sentimen “kemenangan” Taliban akan menular ke Indonesia, menurut saya kuncinya ada pada bagaimana pemerintah menunjukkan kebijakan yang berpihak kepada keadilan sosial, demokrasi, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, pemberantasan kemiskinan dan komitmen anti korupsi. Hal-hal yang menjadi agenda Reformasi 1998, dan belakang terasa meluntur secara kasat mata.

Hal-hal di atas adalah fondasi untuk memastikan ketidakpuasan tidak tumbuh subur, terutama saat negeri ini sedang bertarung melawan musuh yang tak kasat kata, virus corona.

Masalah lain yang bisa menjadi bom waktu adalah soal pengungsi. Kementerian Luar Negeri mencatat bahwa 56 persen pengungsi asing yang ada di Indonesia adalah dari Afghanistan.

Baca Juga: Kisah Pilu dari Afghanistan: "Dunia Meninggalkan Kami Sendirian"

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya