Tamparan Keras Sekjen PBB Di Forum WEF 2023

Antonio Guterres sindir ekspansi produsen minyak

Davos, IDN Times – “Wah, bagus juga ada nasihat saya yang bermanfaat,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, saat kami bertemu. Malam itu, 17 Januari 2023, di hari kedua Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) yang digelar di Davos, Swiss, kami bertemu lagi setelah dua tahun terpisah karena pandemik COVID-19. 

Antonio Guterres adalah tamu tetap acara terbatas bagi pemimpin media di bawah bendera International Media Council (IMC) WEF, yang dibentuk pada 2019. Nasihat dia saat kami bertemu Januari 2020, di WEF ke-50, “Jangan duduk bertopang kaki.  Nanti kamu gampang sakit punggung.  Kayak saya, kalau duduk harus diganjal bantal.”

Saya mengingatkan hal ini saat kami bertemu lagi di WEF 2023. Dia tampil kasual, dengan kemeja dan jaket rajut abu-abu.  Lebih nampak seperti kakek yang ramah, juga lelah, ketimbang menggambarkan salah satu orang berpengaruh di dunia dan memimpin organisasi multilateral terbesar dengan 193 negara anggota. Pertemuan IMC dengan tokoh dunia, kepala negara maupun sekjen PBB selalu dilakukan dengan prinsip chattam house rules, alias cuma sebagai latar-belakang informasi.  Tidak boleh dikutip.  Maka, mantan Perdana Menteri Portugal itu tampil blak-blakan selama hampir dua jam.  Seperti orang sedang ‘curhat', berkeluh-kesah di hadapan 30-an pemimpin redaksi berbagai media dari berbagai negara yang hadir di acara yang dikemas sambil makan malam.

Soal perang Rusia-Ukraina, dia menjelaskan panjang lebar mulai dari sejarah ratusan tahun ke belakang. Kelihatan banyak baca. Apalagi sebagai bos PBB dia punya sekelompok grup pemikir dan periset, pastinya.

Malam itu dia nampak pesimistis. Frustrasi dengan situasi dunia. Kecewa dengan sikap sejumlah pihak dan beberapa negara.

Rupanya dia tak mau menutupi rasa frustrasi itu.  Keesokan harinya, di depan ribuan peserta WEF 2023 yang memenuhi Congress Hall, seperti tahun-tahun sebelumnya, Antonio Guterres tampil, dan pidatonya praktis bagaikan “tamparan” bagi sejumlah pihak. Sebagian besar, adalah apa yang disampaikan semalam sebelumnya kepada kami, di acara IMC.

Dia mulai dengan menggarisbawahi tema WEF 2023, “Kerja sama Dalam Dunia Yang Terbelah”, sebagai tema yang pas menggambarkan dilema yang dihadapi dunia saat ini.

“Kita perlu kerja sama, di saat kita tengah hadapi perpecahan. Saya tidak ingin bicara manis menutupi betapa peliknya tantangan yang ada.  Kita tak bisa menghadapi masalah tanpa memelototinya. Kita sedang melihat angin topan kategori lima,” kata dia menggambarkan dahsyatnya masalah yang mengepung dunia.

“Kita berhadapan dengan badai sempurna di sejumlah jurusan,” tambahnya.

Di bawah ini saya menyajikan lengkap apa yang disampaikan Antonio Guterres di hadapan para pemimpin dunia dan pemimpin korporasi yang hadir di Congress Hall, Congress Center, lokasi WEF. 

Tamparan Keras Sekjen PBB Di Forum WEF 2023World Economic Forum 2023 di Davos, Swiss (IDN Times/Uni Lubis)

Mulai dari yang jangka pendek, yakni krisis ekonomi global. Prediksinya muram. Di banyak tempat di dunia, negara menghadapi resesi. Dunia menghadapi pelambatan Kita melihat kesenjangan yang kian dalam, dan krisis karena meroketnya ongkos hidup dan yang paling terkena dampaknya adalah perempuan dan anak-anak perempuan. Kemudian disrupsi atas rantai pasok dan krisis energi, harga-harga yang melonjak, suku bunga naik berbarengan dengan inflasi, dan tingkat utang menumpuk yang mengancam di sejumlah negara.

Ini masih ditambah dengan efek berkepanjangan dari pandemik. COVID-19 masih menjadi ancaman bagi ekonomi, sementara dunia gagal bersiap untuk pandemik di masa depan. Sesudah apa yang kita hadapi, kita gak belajar dari krisis kesehatan global, pandemik yang baru kita hadapi. Kita belum siap untuk pandemik yang akan datang.

Tantangan paling besar yang kita hadapi sebenarnya adalah krisis iklim, dan kita bermain-main dengan itu.  Setiap minggu membawa kisah horor menakutkan soal kisis iklim. Efek Gas Rumah Kaca pada rekor tertinggi. Komitmen untuk membatasi kenaikan suhu global ke 1,5 derajat Celcius buyar bagaikan asap angin. Tanpa aksi nyata, sebenarnya kita sedang menuju ke kenaikan 2,8 derajat Celsicus.

Konsekuensinya tentu bisa mengerikan. Sebagian dari planet kita bakal gak bisa dihuni.  Bagi sebagian orang, ini bagaikan hukuman mati.

Tapi ini tak mengejutkan. Sains telah menunjukkan kepada kita beberapa dekade lalu.  Saya tidak hanya bicara soal pakar PBB. Saya bicara soal pakar bahan bakar fosil.  Kita belajar baru-baru ini, bahwa para produser bahan bakar fosil sudah tahu sejak 1970-an bahwa produk yang mereka hasilkan membakar dunia.

Tamparan Keras Sekjen PBB Di Forum WEF 2023Infografis Emisi CO2 dari Pesawat (IDN Times/Aditya Pratama)

Sebagaimana halnya industri tembakau, mereka menunggangi informasi saintifik yang mereka ketahui. Pedagang minyak besar menjajakan kebohongan besar. Hari ini, produser bahan bakar fosil dan mereka yang mendukungnya masih berpacu untuk ekspansi produksi, padahal mereka tahu bahwa model bisnis mereka inkonsisten dengan keberlanjutan manusia.

Kegilaan ini seakan dalam fiksi sains. Tapi kita tahu fakta saintifiknya bahwa ekosistem dunia sedang mencair, makin dingin. Dan untuk menambah ke kondisi toksik yang ada, kita ketambahan faktor yang mengobarkan panas pula –konflik, kekerasan dan perang.

Terutama invasi Rusia ke Ukraina, yang tidak hanya karena penderitaan yang dialami orang Ukraina, tetapi juga karena dampaknya yang luar biasa bagi global. Kepada harga pangan dan energi dunia. Kepada rantai pasok perdagangan dan barang. Menimbulkan pertanyaan besar kepada keselamatan nuklir.  Dan, juga menciptakan gangguan dan pertanyaan bagi hukum internasional.

Kita membuat kemajuan yang mungkin dilakukan terutama dalam memfasilitasi ekspor pangan dan pupuk dari Ukraina dan Rusia. Tetapi kita masih jauh dari perdamaian sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB.

Tantangan ini saling berkaitan. Mereka menumpuk bagaikan mobil-mobil dalam tabrakan beruntun.

Jelas, sangat sulit mencari solusi masalah global. Jika saja waktu berpihak kepada kita dan dunia bersatu. Masalahnya, waktu gak berpihak untuk kita dan dunia sedang terbelah.

Yang ada, kita berhadapan dengan tingkat terdalam dari konflik geopolitik dan ketidakpercayaan antar generasi. Ini memperburuk semuanya. Timur dan Barat terbelah.

Kita berisiko alami apa yang saya sebut dengan "patahan yang hebat". Terciptanya dua ekonomi terkuat di dunia yang saling berhadapan. Perbedaan yang ada bisa menciptakan dua aturan perdagangan yang berbeda, dua mata uang yang dominan, dua internet dan dua strategi yang berlawanan dalam kecerdasan buatan.

Ini hal yang paling tidak kita inginkan. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyebutkan bahwa ekonomi dunia yang terbelah ke dua blok akan memangkas produk domestik bruto global sampai 1,4 triliun dolar AS.

Ada banyak aspek di mana relasi AS dan China berseberangan, terutama dalam hak-hak asasi manusia dan keamanan regional.  Tapi, sangat mungkin dan sangat diperlukan bahwa dua negara ini memiliki kepedulian yang berarti dalam hal iklim, perdagangan dan teknologi untuk menghindari dualisme ekonomi atau bahkan kemungkinan konfrontasi di masa depan.

Bagi kalian yang baca sejarah. Kita harus menghindari sekuel sejarah abad ke-21, Thucydides Trap. Pada saat yang sama, perbedaan antara Utara - Selatan makin dalam. Saya kok gak yakin bahwa negara kaya benar-benar merasakan tingkat frustrasi dan kemarahan dari negara di Selatan.

Rasa frustrasi dan kemarahan soal kesenjangan distribusi vaksin misalnya. Kemudian frustrasi dan marah soal pemulihan dari pandemik –dengan dukungan yang luar biasa terkonsentrasi kepada negara kaya yang dapat mencetak uang setiap saat–, frustrasi dan marah soal krisis iklim yang membuat negara-negara sengsara, padahal mereka justru kecil kontribusinya ke pemanasan global.

Frustrasi dan marah atas kebangkrutan moral sistem finansial, yang menciptakan kesenjangan sistemik dan hanya mendorong kesenjangan di masyarakat. Sistem yang yang secara terus-menerus menolak relaksasi utang dan pembiayaan berbiaya murah untuk negara berpendapatan menengah yang sedang sangat membutuhkan.

Sistem di mana kebanyakan negara miskin dunia melihat tingkat pembayaran utang mereka meroket sampai 35 persen pada tahun lalu. Kita perlu menjembatani semua perbedaan ini dan mengembalikan rasa percaya.

Bagaimana caranya?

Pertama, dengan mereformasi dan membangun keadilan atas sistem keuangan global.

Negara berkembang perlu akses keuangan untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Saya sudah meminta G20 untuk setujui Paket Stimulus global untuk SDGs, yang akan memberikan dukungan bagi negara-negara di Selatan termasuk negara berpendapatan menengah yang masih rawan posisinya.

Negara-negara ini membutuhkan likuiditas relaksasi utang dan restrukturisasi utang, sebagaimana juga butuh pinjaman jangka panjang agar dapat investasi di pembangunan berkelanjutan. Singkatnya, kita perlu arsitektur baru keuangan global.

Lembaga bank multilateral harus mengubah model bisnisnya lebih dari sekedar cara beroperasi. Mereka harus berkonsentrasi dalam meningkatkan keuangan swasta secara sisematis melalui jaminan yang cukup, menjadi pengambil risiko pertama dalam koalisi lembaga keuangan untuk mendukung negara berkembang.

Kedua, menjembatani perbedaan dan mengembalikan kepercayaan, artinya aksi bermakna untuk krisis iklim. Sekarang, pertempuran untuk menjaga suhu bumi 1,5 derajat Celsius bakal kita menangkan atau kita kalah, tergantung dalam dekade ini.

Teman-teman, saat ini sih kita nampaknya kalah. Kita harus bertindak bersama untuk menutup gap emisi. Untuk meninggalkan energi yang bersumber dari batu bara dan menjalankan revolusi energi terbarukan.

Kita harus mengakhiri ketergangtungan kepada bahan bakar fosil dan berhenti menghancurkan alam. Negara maju harus menyalurkan komitmen 100 miliar dolar AS pendanaan iklim yang mereka janjikan untuk mendukung negara berkembang. 

Pendanaan untuk adptasi iklim harus digandakan.

Para pembuat emisi terbesar, yakni negara G20, harus bersatu untuk Pakta Solidaritas Iklim, di mana mereka berjanji akan membuat upaya ekstra pada tahun 2020 lalu untuk menjaga target batasan suhu 1,5 derajat Celcius.

Negara maju harus menyediakan bantuan pendanaan dan teknis untuk membantu ekonomi negara berkembang mempercepat transisi energi ke terbarukan. Tapi, untuk perubahan iklim kita juga memerlukan keterlibatan kuat dari sektor swasta.

Sudah semakin banyak perusahaan membuat komitmen emisi nol. Namun parameter dan kriterianya seringkali tidak jelas. Ini membingungkan, bisa menipu konsumen, investor dan regulator dengan narasi yang salah. Ini bisa menciptakan kultur misinformasi dan kebingungan terkait iklim. Ini bisa membuka pintu lebar untuk "greenwashing".

Grup ahli PBB untuk komitmen Net Zero Emission baru-baru ini menerbitkan panduan bagaimana mengecek janji yang kredibel dan akuntabel bagi Net Zero.

Di sini, di Davos, Saya menyerukan para pemimpin korporasi agar bertindak. Mereka harus menunjukkan rencana yang transparan dan kredibel untuk transisi energi, mencapai Net Zero dan memasukkan rencana itu sebelum akhir tahun ini.  Transisi ke Net Zero harus berdasarkan kepada pemangkasan emisi yang nyata dan tidak kepada kredit karbon serta pasar gelap (shadow market).

Akhirnya, apa yang benar soal keterlibatan sektor swasta dalam iklim, juga berlaku ke semua tantangan. Aksi pemerintah sangat kritikal tapi tidak cukup. Kita harus menemukan jalan untuk mendorong kemampuan sektor swasta berperan secara penuh.

Dalam banyak hal, di mana sektor swasta memimpin, di sini pemerintah perlu menciptakan regulasi yang cukup dan lingkungan insentif yang mendukung itu.

Model bisnis dan praktisnya harus diformat ulang untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Tanpa menciptakan kondisi bagi keterlibatan yang masif di sektor swasta, akan tidak mungkin bagi miliaran bahkan triliunan yang memerlukan untuk mencapai SDGs.

Makin besar kepedulian dan kerja sama untuk keadilan vaksin, untuk ketahanan pangan global. Dan untuk semua itu, kita perlu kerja sama sektor swasta untuk memastikan bahwa pangan dan pupuk Ukraina dan Rusia mengalir dan terjangkau.  Bahkan di tengah perang, sektor asuransi harus mendukung pergerakan kapal dari Ukraina dan Rusia.

Kita sangat membutuhkan sektor swasta lainnya untuk terlibat, seperti sektor perbankan, perdagangan dan perkapalan. Lintas spektrum tantangan global, kita perlu sumber daya di sektor swasta dan kerjasamanya untuk mendatangkan perdamaian, pembangunan berkelanjutan serta hak-hak asasi manusia.

Temanku, tidak ada solusi yang sempurna dalam badai yang sempurna. Tapi kita bisa kerja sama untuk mengontrol kerusakan dan mendapatkan peluang.

Saat ini, lebih dari biasanya, adalah waktunya untuk menciptakan jalan bagi kerja sama di dunia yang terbelah. Dunia tidak bisa menunggu.

Guterres nampak kecewa dengan sikap hipokrisi banyak pihak.  Negara dan korporasi yang teriak-teriak peduli perubahan iklim.  Para produsen minyak dan batu bara yang justru menggebu-gebu ekspansi memanfaatkan situasi harga tinggi dan konflik berkepanjangan. Saya kok melihat rasa frustrasi Sekjen PBB menyahuti apa yang disuarakan penggiat iklim seperti Greta Thunberg yang mengecam pemimpin dunia dan korporasi cuma ngomong doang.

Perhelatan WEF sebenarnya adalah contoh belum beranjaknya keseriusan dalam mengurangi emisi. Lihat saja dari sesaknya Davos, dengan ribuan kendaraan mewah yang seliweran mengangkut peserta para elit ekonomi bisnis dunia. Termasuk ratusan yang datang ke tempat tetirah berselimut salju itu dengan pesawat pribadi atau sewaan.

Baca Juga: Fakta-Fakta soal Jambore Orang Kaya Sedunia di WEF Davos

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya