Tragedi Lapas Tangerang, Gak Bakal Ada Hikmahnya

Kinerja buruk berlanjut

Jakarta, IDN Times – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly mengakui Lapas Kelas 1A Tangerang Banten kelebihan penghuni sampai 400 persen. “Penghuni ada 2.072 orang narapidana, yang terbakar ini blok C2 yaitu model paviliun-paviliun,” kata Yasonna, saat mengunjungi Lapas yang dilanda kebakaran hebat itu, Rabu (8/9/2021). Dini hari sebelumnya, api mengepung blok C2, 40 napi yang terkunci dalam sel terbakar hidup-hidup, satu meninggal setelah dievakuasi.

Yasonna, politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu juga mengatakan, kebakaran terjadi kemungkinan karena instalasi listrik. “Lapas dibangun 1972, sudah 49 tahun. Sejak itu kita tidak memperbaiki instalasi listriknya,” kata Yasonna.

Bagaimana perasaan Yasonna saat menyampaikan dua fakta itu? Hanya Tuhan dan dia yang tahu. Tapi, kalau saya dalam posisi dia, tentunya malu berat. Mengapa? Karena isu kelebihan penghuni dan perawatan instalasi listrik adalah tugas pemerintah, dalam hal ini kementerian yang dipimpin Yasonna. Kebakaran hebat yang menelan puluhan nyawa menunjukkan bahwa kementerian dan Yasonna gagal mencegah musibah yang masuk kategori “man made disaster”, bencana bikinan manusia itu.

Kelebihan penghuni di penjara Indonesia adalah masalah klasik yang tak pernah serius ditangani. Makanya terus terjadi. Ironi yang muncul di publik adalah para napi elite termasuk politisi bisa menikmati fasilitas istimewa termasuk menggunakan telepon seluler, sementara napi rakyat jelata, dari pelaku kriminal dan narkoba, harus berdesak-desakan di sel.

Baca Juga: Setya Novanto Terciduk Bawa 2 Buah Ponsel di Lapas Sukamiskin

Tragedi Lapas Tangerang, Gak Bakal Ada HikmahnyaInfografis over kapasitas Lapas di Indonesia. (IDN Times/Aditya Pratama)

Di depan sesi daring yang digelar Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) urusan Narkoba dan Kejahatan, Yasonna mengakui penjara Indonesia kelebihan penghuni. Per Februari 2021, ada 252.861 napi yang menghuni penjara dengan daya tampung maksimal 135.704 orang.

“Jadi, saya harus mengatakan bahwa 117.157 tahanan yang tersisa tidak ditampung dengan baik. Di beberapa lapas terutama di kota besar, tingkat hunian berlebihan berkisar antara 300-600,” ujar Yasonna, (11/3/2021). Tak heran, saat pandemik COVID-19 terjadi, penjara adalah tempat yang mengerikan, karena bisa menciptakan klaster. Pada bulan Februari tahun ini juga, ada 4.343 napi termasuk usia anak terinfeksi COVID-19. Dari yang terinfeksi 21 meninggal dunia. Di pihak petugas lapas, ada 1.872 positif virus corona dan 21 meninggal dunia.

Dalam sebuah diskusi daring, bulan Agustus 2021, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Silitonga mengatakan, 50,9 persen dari penghuni lapas adalah napi narkoba, dengan vonis antara lima sampai sembilan tahun penjara. Dia mengatakan, situasi ini diperburuk mudahnya pemenjaraan terhadap terpidana kasus narkoba. Jika tren ini berlanjut, maka jumlah penghuni bisa membengkak sampai 400 ribuan. Jauh lebih besar dari kapasitas yang sudah lebih dua kali lipat saat ini.

Lagi-lagi, membaca pernyataan pejabat yang seharusnya bertanggungjawab membereskan masalah ini, saya menangkap ironi besar. Apalagi sebelumnya Menteri Yasonna adalah politisi yang lama bercokol di parlemen, bahkan menjadi anggota Komisi III yang mengurusi masalah hukum, sempat juga menjadi Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI. Dia juga sudah masuk ke periode kedua sebagai menkumham di kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Mengapa belum ada perubahan mendasar untuk solusi masalah over penghuni penjara ini? Pandemik tidak boleh alasan, karena masalah ini sudah terjadi jauh sebelum pemerintahan ini. Artinya, tak ada perbaikan di masa kepemimpinan Jokowi.

Yang terekam kuat di benak publik, dan muncul lagi saat terjadi tragedi kebakaran hebat di Lapas Klas IA Tangerang adalah kontroversi Yasonna. Mulai dari revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan yang dianggap memberi kemudahan bagi syarat remisi, posisinya sebagai wakil pemerintah dalam meloloskan revisi UU KPK, UU Cipta Kerja alias Omnibus Law, RUU KUHP,  pernyataan Yasonna yang menuding aksi menolak revisi UU yang kuat kesan dipaksakan untuk disahkan saat pandemik sampai komentar terhadap aktris Dian Sastro. Dian mengkritisi revisi RUU KUHP, sebagaimana masyarakat sipil, dan Yasonna menanggapi dengan, “Dian Sastro tidak baca UU sebelum komen, jadi terlihat bodoh.”

Belum cukup, kontroversi berlanjut ke inkonsistensi pernyataan soal buronan KPK Harun Masiku dan kemarahan warga Tanjung Priok saat Yasonna membandingkan tingkat kriminalitas di Tanjung Priok versus Menteng yang dihuni banyak kalangan elite pengusaha maupun pejabat. Tapi, posisi menteri dari parpol pendukung utama Jokowi ini aman. Menurut saya, keberadaan Yasonna dianggap penting untuk mengamankan kepentingan Jokowi dalam pembahasan RUU yang krusial, termasuk RUU Ibu Kota Negara dan RUU terkait Pemilu.

Situasi HAM yang masuk dalam tugas pokok dan fungsi Kemenkumham juga memprihatinkan. Setara Institute mempublikasikan turunnya Indeks kinerja HAM selama satu tahun pemerintahan Presiden Jokowi di periode kedua, sejak awal menjabat. Kinerja tahun 2020 turun ke skor 2,9, dari 3,2 tahun 2019. Ada enam indikator hak sipil dan hak politik yang dinilai, mencakup hak hidup, kebebasan beragama/berkeyakinan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak turut serta dalam pemerintahan, dan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Bahkan bagi masyarakat umum, indeksnya turun. Bagaimana dengan mereka yang menghuni penjara?

Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Usman Hamid menilai, tragedi Lapas Tangerang, menunjukkan lapas adalah tempat yang sarat dengan pelanggaran HAM. Menurutnya, semua tahanan berhak mendapatkan perlakuan manusiawi, termasuk mendapatkan ruangan dengan ventilasi udara yang memadai.

“Seharusnya pemerintah menangani masalah ini adalah dengan mengubah orientasi politik dan kebijakan dalam menangani kejahatan ringan, termasuk yang terkait penggunaan narkotika,” kata Hamid. Pemenjaraan orang yang dijerat meggunakan pasal UU Informasi dan Transksi Elektronika (ITE) karena menyuarakan kritik dan pendapat, seharusnya dihentikan. Data SAFEnet, menunjukkan ada 324 terpidana UU ITE. Belakangan, aparat tampak makin sigap menjerat warga dengan UU ini. Situasi demokrasi menjadi sorotan publik.

Usman menyerukan agar Yasonna Laoly mundur dari jabatannya. “Sudah selayaknya Menhukham dan Dirjen Lapas mundur dari jabatan mereka,” ujar aktivis Reformasi 1998 itu.

Saya yakin ucapan Usman dan netizen yang senada, kecewa atas kinerja Menkumham, bakal hilang ditelan angin lalu. Penegakan HAM tidak pernah jadi prioritas pemerintahan Jokowi. Pembangunan infrastruktur lebih seksi, dan dipandang bisa menjadi warisan fisik. Minimal tanda tangannya terpatri di batu prasasti.

Bahwa korban-korban jiwa terus berjatuhan, merujuk judul sebuah film yang dibintangi Arnold Schwarzenegger, dianggap sebagai ‘collateral damage” saja. Sebuah kerusakan, yang niscaya dalam rutinitas pengelolaan pemerintahan. Lagi pula, dalam kasus kelebihan penghuni penjara, para napi tak kuasa perjuangkan nasibnya. Mereka tak punya pasukan siber di media sosial, tak kuasa melambungkan trending topic yang biasanya didengar penguasa yang sebagian orientasinya adalah pencitraan.

Apakah problem kelebihan penghuni dan instalasi listrik yang tua sehingga berpotensi memicu kebakaran bakal ditangani segera, jujur saya ragu. Di negeri ini, kita akhirnya  harus banyak berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Baik itu saat lapar tak punya makanan, kesakitan tanpa akses ke fasilitas kesehatan saat pandemik merajalela, atau saat menghitung hidup setiap hari di balik terali besi penjara. Dari tragedi ke tragedi, gak bakal diambil hikmahnya. Bagi keluarga korban, saya mengucapkan ikut berduka cita, semoga diberikan kekuatan dan kesabaran.

https://www.youtube.com/embed/m8BFPwK9f3k

Baca Juga: Anggota DPR: Jangan Tutup-Tutupi Penyebab Kebakaran Lapas Tangerang 

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya