Membela Politik Muda

Yang muda harus semangat, yang tua beristirahat

Oleh: Usep Hasan Sadikin*

Keterlibatan kaum muda berpolitik biasanya dipandang sebelah mata. Kaum tua menilai pemuda belum banyak pengalaman, belum mapan secara ekonomi, dan masih dalam pencarian jati diri sehingga labil. Pandangan sebelah mata ini menyertakan gambaran politik yang amat kompleks, tak jelas, bahkan cenderung buruk, sehingga pemuda tak akan mampu aktif berpolitik.

Kesimpulannya, selama ini pemuda hanya dijadikan objek pendulang suara kaum tua di kontestasi pemilu. Partisipasi memilih pemuda tak berdampak pengabulan aspirasi muda oleh pemerintahan terpilih. Pendidikan tinggi semakin mahal tapi kurang kualitas. Ruang publik terbuka dan kebebasan berekspresi semakin sempit. Tapi pemuda di setiap pemilu tetap memilih tanpa ruang partisipasi pencalonan dan keterpilihan berarti.

1. Belajar dari feminisme

Membela Politik MudaParade Hak Pilih Perempuan di New York, 6 Mei 1912 (Wikimedia/ United States Library of Congress's Prints and Photographs division)

Pemuda bisa belajar dari gerakan perempuan. Afirmasi perempuan di pemilu ada dan cukup berhasil diterapkan beserta kemajuan capaian representasi. Hal itu bisa dilihat dari persentase minimal dalam keanggotaan partai, pencalonan legislator, bahkan kuota kursi di parlemen.

Abad ke-19 merupakan masa awal gerakan perempuan (feminisme) terlibat di pemilu. Sebelumnya, perempuan tak dilibatkan sama sekali dalam pesta demokrasi. Padahal perempuan merupakan setengah dari total warga negara. Pergerakan perempuan di Eropa dan Amerika Serikat dimulai dengan memperjuangkan hak perempuan dalam bentuk hak pilih di pemilu.

Lalu berkembang menuntut keterwakilan perempuan di parlemen melalui pencalonan di pemilu. Feminis sadar, kebijakan tentang kesetaraan hak tak bisa dicapai hanya menggerakkan banyak perempuan ke tempat pemungutan suara atau TPS. Tubuh bervagina juga perlu dihadirkan di pencalonan pemilu untuk masuk ke parlemen sehingga kebijakan kesetaraan bisa dihasilkan.

Verdhi Adhanta pada Jurnal Perempuan 46 melaporkan telaah referensi gender dan politik (Community Agency of Social Enquiry, Debbie Budlender). Disimpulkan, eksistensi perempuan menyertai perspektif feminisme memang signifikan menghasilkan kebijakan sensitif gender.

Pada 1984, Australia menjadi negara pertama yang menerapkan audit gender terhadap anggaran nasional yang dilakukan feminis Partai Buruh. Pada 1997 sampai 2000, di Kanada, Bangladesh, Brasil, dan Vietnam, organisasi perempuan yang terhubung ke partai politik bisa mendorong aturan dan anggaran sensitif gender yang diintegrasikan pada semua lembaga pemerintahan.

Di Indonesia kebijakan mendukung keadilan perempuan dihasilkan anggota dewan perempuan berperspektif feminis. Parlemen 2004-2009 dengan sistem pemilu yang memprioritaskan caleg perempuan berkualitas, menghasilkan undang-undang KDRT, anti-trafficking, pembelaan buruh migran, perlindungan saksi/korban, juga status kewarganegaraan perempuan dan anak.

2. Usia sebagai identitas warga

Membela Politik MudaTeater generasi muda yang memberontak dari kebobrokan generasi sebelumnya (ANTARA FOTO/Wahyu Putro)

Tapi apakah usia yang begitu cair bisa dijadikan identitas warga? Seks (jenis kelamin) relatif ajek dibanding usia yang setiap tahun berganti. Jika pemuda diartikan sebagai warga 16 sampai 30 tahun (UU No.40/2009 dan PP No.41/2011) bukankah perjuangan identitasnya akan kehilangan relevansi saat usia para pejuangnya keluar dari pengertian “pemuda”? Dan, apa yang menjadi kekhususan kaum muda dibanding kaum tua jika semua orang bisa muda atau pernah muda?

Selain karena pemuda yang berjumlah 35 persen dari total pemilih tak terepresentasi di pemerintahan, jawaban dari pertanyaan itu adalah soal penegakan hak dan perlawanan terhadap diskriminasi. Adanya perjuangan identitas perempuan karena hilangnya hak asasi yang seharusnya terberi. Begitu pun dengan identitas kelas, kulit hitam, difabel, agama/suku minoritas, dan lainnya. Ada identitas yang tersubordinasi identitas yang superordinasi sehingga terjadi diskriminasi oleh dominasi.

Soal kecairan identitas pemuda, penting mengunci usia 16-30 tahun dengan konteks ruang dan waktu. Kita sekarang mengenal istilah generasi X, Y, dan Z dengan segala karakter masing-masing. Sehingga, jika ada kaum tua bilang, “saya juga pernah muda. Saya tahu kebutuhan anak muda,” pernyataan ini terputus dari kenyataan bahwa usia menyertakan konteks ruang dan waktu.

Pemuda saat ini berbeda dengan pemuda masa lalu. Permasalahan pemuda kini berbeda dengan pemuda lampau sehingga berbeda pula aspirasi dan solusinya. Misal, kebutuhan relasi setara pendidik dan peserta didik saat ini berkait dengan akses dan keterbukaan informasi. Karena tak ada monopoli sumber ilmu, rasa hormat kekinian bukan berdasar pada senioritas atau usia lebih tua tapi berdasar pada kualitas kata, sikap, dan kontribusi karya.

3. Soal kualitas

Membela Politik Mudaanakui.com

Afirmasi pemuda punya tantangan keraguan kualitas. Ini sama halnya dengan afirmasi perempuan yang dinilai aneh karena keraguan kualitas perempuan. Tertangkapnya anggota dewan seperti M Nazaruddin (kelahiran 1978), Angelina Sondakh (1977), Anas Urbaningrum (1969), dan Andi Mallarangeng (1963), disimpulkan dengan penilaian buruk kaum muda di parlemen.

Padahal, kesimpulan tersebut bisa diklarifikasi. Keempat orang anggota Partai Demokrat itu sudah melampaui rentang usia 16-30 tahun. Nazaruddin, Angie, Anas, dan Andi, saat terpilih di dewan, saat melakukan tindakan korup, dan saat tertangkap, keempatnya sudah tak muda lagi.

Klarifikasi kualitas pemuda pun bisa berupa pertanyaan balik. Jika pemuda dituntut berkualitas, kenapa tak ada tuntutan kualitas terhadap anggota dewan berusia tua yang justru mendominasi parlemen? Barometer Korupsi Global 2013 Transparency International yang menempatkan partai politik dan parlemen sebagai lembaga terkorup merupakan gambaran kelembagaan negara yang dikuasai kaum tua.

Beberapa tahun setelah Reformasi, wacana dukung dan pilih pemimpin muda beralasan karena kaum muda bebas dari keterkaitan pemerintahan korup Orde Baru. Orang tua berkuasa merupakan pelaku atau terlibat dalam rezim 30-an tahun yang otoriter (monopoli) tanpa transparansi dan akuntabiltas publik. Pemaknaan orang tua=koruptor merupakan kesimpulan dari Soeharto yang oleh Transparency International dinilai sebagai Presiden Terkorup di Dunia (2004).

Maka tak heran, ketika kita sudah melakukan empat kali pemilu nasional pasca-Reformasi, Indonesia masih dihadapkan pada pemerintahan korup. Orang-orang yang terpilih memimpin masih ada yang merupakan bagian kuasa Orde Baru. Hal ini membuat kita teringat, pernyataan Gerakan Kiri, yaitu Revolusi sampai mati! Potong satu generasi (tua)!

*Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

[Tulisan di atas merupakan pendapat/opini penulis dan IDN Times tidak bertanggung jawab atas keseluruhan isi tulisan yang bersangkutan]

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya