[OPINI] Gus Dur dan Tren Politik Primordial

Isu primordial kini menjadi kendaraan politik

Gus Dur dan politik, apabila dilihat dari sudut pandang konteks tertentu, kedua hal ini hampir tidak dapat dipisahkan. Karena tidak terlepas dari langkah politik yang Gus Dur ambil kurang lebih 18 tahun lalu.

Bagi saya, langkah politik yang diambil Gus Dur beberapa tahun lalu, merupakan sebuah bentuk "penegasan" bahwa akan ada waktu di mana seorang ahli agama mendapatkan tempat untuk mengatur serta mengelola sebuah tatanan yang kompleks pada suatu negara. Secara konstitusional, dilantiknya Gus Dur menjadi presiden, tentu karena berdasarkan atas hasil pemilu yang dilakukan pada 20 oktober 1999 oleh MPR.

Namun, di samping konstistusi hukum yang bekerja, yang menjadikan Gus Dur sebagai presiden, ada fenomena sosial tersendiri yang mungkin secara implisit mengatakan bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia "dididik" secara langsung oleh guru bangsa mereka.

Ada satu quote menarik Gus Dur yang diucapkan pada saat beliau masih aktif berpolitik. Namun saya sendiri sempat tidak ingat hingga mas Guntur Romli kembali mengingatkan saya melalui video di YouTube akan quote tersebut, yang kurang lebih berbunyi

Politik adalah pekerjaan yang sangat mulia karena memperjuangkan nasib orang yang banyak.

Berangkat dari quote Gus Dur ini seolah membalikkan skeptisme saya kepada politikus-politikus hari ini. Seolah ada waktu di mana saya dapat memaafkan perilaku-perilaku korup mereka. Karena hasil dari kehusnudzan-an saya yang berlebihan terhadap mereka yang bekerja untuk melakukan pekerjaan mulia seperti apa yang gus dur katakan.

Namun, sayangnya anggapan saya yang semacam ini mudah dipatahkan dengan berbagai penangkapan yang dilakukan KPK. Sehingga menjadikan negara ini sebagai negara terkorup di dunia. Yang lebih mengherankan lagi ketika KPK melakukan penangkapan kasus korupsi terhadap kader PKB dan PPP, yang mana kedua partai ini merupakan dua sayap pergerakan NU dalam bidang politik. Lagi dan lagi anggapan saya dipatahkan KPK untuk kedua kalinya.

Mengenai quote Gus Dur satu ini, ada satu kata yang menarik. Sebuah diksi yang dipilih Gus Dur untuk menggambarkan sebuah wajah politik, yang mana pada kata-kata itu Gus Dur memilih kata "mulia" untuk menggambarkan wajah politik yang sesuai dengan sudut pandang Gus Dur sendiri.

Tentu ada beberapa orang yang tidak sepakat atas pernyataan semacam ini. Apalagi didukung dengan pelaku pelaku politik yang mereka lakukan, seakan menambah satu sikap skeptisme masyarakat pada dunia politik. Terlalu sulit untuk mengembalikan minat dan rasa kepercayaan masyarakat pada dunia politik.

Terlebih apabila kita refleksikan dunia politik pada hari ini, akan kita temui sebuah nuansa politik yang sama, yang sebelumnya pernah terjadi antara tahun 1999 sampai 2002, di mana politik primordial untuk pertama kali "diperkenalkan" di Indonesia.

Secara garis besar, primordial adalah sebuah pemahaman atau pandangan untuk memegang teguh hal hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, suku, agama dan ras. Sementara yang dimaksud dengan politik primordial, secara garis besar adalah sebuah strategi politik yang mana menjadikan aspek primordial sebagai aset untuk dapat memuluskan tujuan politik itu sendiri.

Dalam catatan sejarah, politik primordial secara tidak kita sadari berjalan dengan sendirinya. Ditandai dengan bagaimana pengambilan sikap seorang pemilih untuk memilih wakil rakyat yang sesuai agamanya. Secara konstitusi, tidak ada pasal yang memberatkan atas pengambilan sikap semacam ini.

Yang menjadikan politik primordial ini menjadi salah adalah pada saat menjadikan satu paham primordialisme sebagai sebuah kendaraan politik yang berlebihan, serta menggunakan "aset" untuk menyerang lawan politik. Hal ini tentu tidak dapat dibenarkan.

Karena satu paham politik primordial, secara tidak langsung akan memproduksi sentimen negatif untuk melakukan penolakan, atau bahkan penyerangan kepada seseorang atas dasar ketidaksamaan satu orang dengan orang lain berdasarkan atas suku, agama, ras, budaya, pilihan politik, mayoritas, dan minoritas.

Dalam paham politik primordialisme, sikap rasisme bisa jadi merupakan produk pengambilan sikap lazim, dilakukan seseorang untuk menyerang orang lain yang berbeda dengan mereka. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjamin atas persamaan hak setiap warga negaranya melalui Bhineka Tunggal Ikanya, tentu tidak akan lagi relevan dibicarakan apabila isu-isu politik primordial masih saja masif didiskusikan.

Sebagai produk sikap politik primordial, sikap rasisme merupakan suatu tindakan yang subjektif dan irasional yang tentunya ada dampak negatif bagi orang lain yang menjadi korbannya. Jika hal semacam ini dibiarkan, nilai demokrasi secara perlahan akan tereduksi dari substansinya.

Dalam praktiknya di Indonesia, isu primordial menjadi kendaraan politik, yang belakangan ini menjadi sebuah topik hangat untuk dibicarakan, terlebih oleh para elit politik bagi beberapa parpol. Hasil dari Pilkada DKI beberapa waktu lalu, harus disadari bahwa peristiwa ini menjadi sebuah contoh kongkrit akan betapa politik primordial ini bekerja secara masif dan efisien.

Tentu ambisi kuasa tiap parpol tidak akan berhenti pada "satu atau dua" pilkada saja, yang dikhawatirkan adalah apabila politik primordial bukan lagi sebuah isu, melainkan sebuah tradisi tetap, di mana tiap parpol akan menggunakan isu primordial sebagai sebuah kendaraan untuk hanya sekadar ambisi kekuasaan.

Tentu tidak dapat dibayangkan bagaimana nantinya era orde baru akan kembali terulang pada era reformasi, di mana etnis di Indonesia tidak mendapatkan panggung yang setara di negaranya sendiri.

Menanggapi akan isu politik yang semacam ini, tentu statement "politik mulia"-nya Gus Dur, terkadang tidak relevan dengan kenyataan, selama politik primordial dengan mulus berjalan. Namun ada hal yang jauh lebih penting dari sekadar politik primordial. Adalah bagaimana masyarakat Indonesia tidak termakan isu-isu politik primordial, dengan tetap berlaku baik pada sesama. Jika istilah Gus Dur berarti "memanusiakan manusia".

Jika pesan Gus Dur kali ini dilakukan, tentu gagasan "politik mulia" ala Gus Dur bukan lagi sebuah hal yang tidak relevan, namun sebuah hal yang harus diamalkan.

Karena Gus Dur sendiri sebagai guru bangsa, seakan tidak tega meninggalkan "murid"-nya berjalan sendirian. Oleh karenanya Gus Dur berpesan:

Tidak penting apapun agama atau suku mu, kalau kamu dapat melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tak pernah tanya apa agamamu.

Vitaro Hasbi Assidiqi Photo Writer Vitaro Hasbi Assidiqi

menulis adalah cara kita merayakan kesunyian

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya