Parpol Harus Segera Berani Umumkan Capres dan Cawapres

Masa kampanye Pemilu 2024 ditetapkan 75 hari

Peraturan Komisi Pemiihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaran Pemilihan Umum 2024 telah resmi diundangkan pada tanggal 9 Juni 2022 dan ditandatangani Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Sebelum resmi diundangkan, PKPU ini sempat beberapa kali mengalami penundaan dalam pembahasannya di DPR.

Dengan adanya PKPU Nomor 3 Tahun 2022 ini, maka tahapan Pemilu 2024 akan dimulai tanggal 14 Juni 2022, yakni tahapan perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu sesuai yang tercantum di lampiran PKPU Nomor 3/2022.

Tahapan selanjutnya adalah pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu mulai 29 Juli hingga penetapan parpol peserta pemilu pada 14 Desember 2022. Selain itu, KPU juga melakukan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih mulai 14 Oktober 2022.

Salah satu tahapan pemilu 2024 yang kemarin krusial dan terjadi tarik menarik antara KPU, DPR dan Pemerintah adalah masa kampanye pemilu, yang akhirnya disepakati selama 75 hari, yakni mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Ini artinya, di saat capres dan cawapres melakukan kampanye, KPU juga harus bisa memastikan semua logistik pemilu telah siap karena akan dipakai saat hari pencoblosan 14 Februari 2024. Di Pemilu 2019 masa kampanye selama enam bulan tiga minggu, sedangkan di Pemilu 2014 masa kampanye 15 bulan.

Masa kampanye yang 75 hari ini, memang disebutkan bisa menghindari terjadinya suasana “panas” antara pendukung capres dan cawapres yang maju. Kita ingat, di pemilu 2019 lalu muncul sebutan “Kampret” dan “Kecebong” yang terus memanas, bahkan hingga pemilu usai dan Prabowo Subianto yang kalah, telah jadi Menteri Pertahanan di Kabinet Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Parpol Harus Segera Berani Umumkan Capres dan CawapresPanggung debat capres cawapres saat pilpres 2019 lalu. (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Rakyat jangan pilih capres-cawapres dalam karung

Saat ini rakyat sedang menyaksikan bagaimana survei-survei soal capres yang semakin sering muncul. Dari hasil survei itu, sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi kandidat kuat dan selalu muncul di tiga besar survei.

Selain hasil survei capres, rakyat juga melihat para petinggi partai politik yang semakin sering melakukan pertemuan-pertemuan politik untuk menjajaki pembentukan koalisi di pemilu 2024. Memang baru tiga parpol yakni Golkar, PAN dan PPP yang berani menyebut telah sepakat membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Meski begitu, KIB belum berani menyebutkan siapa capres yang akan diusung. Selain itu, ada juga pertemuan Ketum Nasdem Surya Paloh dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto, dan juga pertemuan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono yang didamping Susilo Bambang Yudhoyono dengan Surya Paloh di kantor DPP Nasdem.

Dalam Undang-Undang pemilu Nomor 7 tahun 2017 disebutkan, parpol atau koalisi parpol yang bisa mengusung capres dan cawapres haruslah memperoleh minimal suara nasional 25 persen atau 20 persen kursi di DPR. Dengan kondisi ini, memang hanya PDI Perjuangan saja yang bisa mencalonkan capres dan cawapres tanpa berkoalisi dengan parpol lain. Karena itu wajar, jika saat ini ketua umum parpol bergerilya mencari rekan koalisi.

Tahapan pendaftaran capres dan cawapres memang baru dimulai pada 19 Oktober 2023, namun agar rakyat “tak membeli kucing dalam karung” siapa capres dan cawapres yang akan mereka pilih 14 Februari 2024 mendatang, memang sudah selayaknya partai politik atau koalisi parpol berani mendeklarasikan capres – cawapres yang akan diusung. Mengapa? Karena jika parpol atau koalisi baru menetapkan capres-cawapres nya di detik-detik akhir jelang pendaftaran, bagiamana rakyat bisa memahami visi dan misi mereka untuk membawa bangsa ini lebih maju dan sejahtera.

Masa kampanye yang hanya 75 hari, tentu dirasa kurang bagi rakyat untuk mengetahui dan memahami visi dan misi capres-cawapres. Karena di masa kampanye, mereka pasti akan lebih sibuk keliling Indonesia dibanding menyampaikan gagasan bagi bangsa ini.

Kampanye-kampanye memang bisa dilakukan melalui media massa dan media sosial, atau debat capres-cawapres di TV, namun tetap saja rakyat akan sulit mengetahui cita-cita dan visi misi capres cawapres yang akan berkompetisi. Lihat saja di pemilu 2014 dan 2019 yang masa kampanyenya lebih lama, tetap saja ada rakyat tak paham apa visi dan misi capres – cawapres. Karena itu, jika ada partai politik atau koalisi parpol yang berani mendeklarasikan nama capres dan cawapresnya lebih cepat, minimal satu tahun sebelum pendaftaran capres di sekitar Oktober 2022 atau setelah KPU menetapkan parpol peserta pemilu 2024 pada Desember 2022 tentu akan baik bagi rakyat.

'Efek Ekor Jas' dari capres-cawapres

Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik (2012)  yang ditulis Profesor Miriam Budiardjo disebutkan, salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana rekrutmen politik yang berkaitan dengan seleksi pemimpin nasional. Karena itu, memang sudah sepatutnya partai politik berani melahirkan calon pemimpin (calon presiden). Capres dan cawapres janganlah ditentukan oleh broker-broker politik yang pasti lebih mendahulukan kepentingan kelompoknya daripada kepentingan bangsa.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, dalam tulisannya yang dimuat harian Kompas 28 Januari 2022, Pemilu Legistlatif 2024 nanti yang kembali dilaksanakan secara serentak dengan Pilpres, maka akan terdapat Efek Ekor Jas (coattail effect). Artinya, perolehan suara parpol antara lain dipengaruhi oleh siapa calon presiden yang akan diajukan atau didukungnya. Untuk mempertahankan atau meningkatkan perolehan suara, parpol harus mengajukan capres-cawapres yang bisa mendongkrak elektabilitasnya.

Efek Ekor Jas di pemilu Indonesia setidaknya pernah terlihat saat pemilu 2004 dan 2009 lalu, di mana Partai Demokrat perolehan kursinya melejit karena mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono di Pilpres. Hal yang mirip juga terjadi di pemilu 2014, saat perolehan kursi PDI Perjuangan di DPR naik siginifikan karena mencalonkan kadernya Joko Widodo sebagai calon presiden.

Dengan kondisi di atas, dimana rakyat akan diuntungkan karena mengetahui  visi dan misi capres dan cawapres yang akan dicalonkan, serta partai politik yang akan mendapatkan Efek Ekor Jas, maka sekali lagi, sudah sepatutnya partai politik berani mendeklrasikan segera calon presiden dan calon wakil presiden.

Akan adakah parpol atau koalisi parpol yang berani? Kita tunggu saja.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya